Sejatinya, perjuangan hidup memang tidak pernah selesai hingga urat nadi dan nafas ini berhenti. Setiap hari individu dihadapkan pada masalah, bahkan sejak masih anak-anak sudah dituntut untuk menyelesaikan masalahnya mulai dari masalah sederhana sampai masalah yang kompleks. Pada masa sekarang ini permasalahan yang dihadapi manusia semakin complicated dan ruwet mulai dari permasalahan individu, keluarga, masyarakat sampai permasalahan dunia secara global. Di samping itu juga waktu timbulnya permasalahan sering tidak mampu diprediksi (unpredictable) dan tidak terduga sebelumnya. Era dewasa ini juga ditandai semakin ketatnya persaingan, siapa kuat dia yang menjadi pemenang, sebaliknya siapa yang tidak berdaya dialah yang kalah dan termarginalkan. Ujian dan cobaan adalah hal yang lekat dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sebagaimana
yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah [2]: 155-156. “Dan Kami pasti akan
menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya
kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” Dalam Tafsir Al-Misbah, Prof.
Quraisy Syihab juga menjelaskan bahwa ujian dan cobaan yang diberikan Allah pada
hakikatnya hanyalah sedikit. Betapapun beratnya sebuah cobaan, jika
dibandingkan dengan ganjaran yang akan diperoleh, maka cobaan itu menjadi
kecil. Selain itu, setiap musibah yang dialami manusia selalu memiliki
kemungkinan untuk menjadi lebih besar , sehingga apa yang terjadi seharusnya disyukuri.
Sebagai
hamba Allah SWT, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput
dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu
berlaku bagi setiap manusia di dunia ini. “Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada
kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya [21]:35) Al-Qu’ran menjelaskan bahwa
salah satu konsekuensi pernyataan iman adalah harus siap menghadapi ujian yang
diberikan Allah SWT kepada manusia untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan
kesungguhan iman yang dimilikinya. Apa bersumber dari keyakinan dan kemantapan
hati atau didorong oleh kepentingan sesaat ingin mendapatkan kemenangan dan
tidak mau menghadapi kesulitan, seperti yang tergambar pada ayat ini “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(Al-Ankabut [29]:2-3). Menurut penuturan Imam Nawawi Al-Bantani, sabar
menghadapi dan menjalani ujian juga menjadi tolak ukur keimanan seseorang. Iman
bukanlah kalimat yang hanya diucapkan, tetapi ia adalah kesabaran menghadapi
kesulitan dan kewajiban yang merupakan konsekuensi dari pengucapannya.
Serupa
juga dengan apa yang dijelaskan dalam dalam kitab As-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi,
Syekh Ibnu Abid Dunya yang membagi sabar menjadi tiga bagian, yaitu; kesabaran
dalam menghadapi musibah, kesabaran dalam menaati perintah Allah, dan kesabaran
untuk menghindari maksiat. Ketabahan sangat tergambar dalam pribadi yang sabar
menghadapi musibah, sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan (menurut
pandangan manusia). Karena sesungguhnya takdir Allah terhadap manusia itu ada
yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan. Takdir yang
bersifat menyenangkan butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri termasuk
dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang kedua yaitu
sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Adapun takdir yang bersifat
menyakitkan yaitu yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji
pada badannya dengan adanya rasa sakit, diuji pada hartanya yaitu kehilangan
harta, diuji pada keluarganya dengan kehilangan salah seorang keluarganya
ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya dengan difitnah, direndahkan
ataupun yang sejenisnya.
Semua
ujian hidup yang diberikan Allah kepada hambanya bukan hanya sebagai beban
semata. Tapi tanda cinta dan kasih sayang-Nya. Lebih dari itu, ujian itu juga
sebagai tanda bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah sehingga dia
membutuhkan sesuatu yang lebih kuat di luar dirinya untuk bersandar,
bergantung. Harapanya, manusia tidak hanya menjadikan ujian ini untuk berputus
asa, melainkan juga sebagai kesadaran diri kita untuk lebih bijaksana dan taat
kepada semua ketentuan Allah SWT.
1 Komentar
🔥
BalasHapus