Teng ... Teng
... Teng ...
Dari gedung Yaqzhah, Sudan, Al-Azhar, Rabithah, dan yang terbesar ada di
depan balai pertemuan; dari lima titik ini, suara lonceng merambat ke setiap
sudut pondok. Gelombang dentangannya melaju cepat sambil memacu lari santri
yang belum sampai di ruang-ruang kelas atau ke balai pertemuan untuk kami
selaku kelas lima. Aku datang lebih awal pagi ini. Cukup awal untuk menyaksikan
jendela balai pertemuan bergetar karena dentangan lonceng. Ada hal yang harus
kusiapkan, karena pagi ini adalah jadwalku unjuk gigi seterang-terangnya.
Meja kelompokku relatif berantakkan. Kitab-kitab tergeletak mengelilingi
tanganku yang sedang berkutat dengan pena dan buku tulis, kamus persis
menontonku dari depan dalam posisi terbuka. Semuanya harus tersedia dalam jarak
yang dekat, sehingga tanganku mudah meraihnya tanpa berdiri. Mungkin memang
seperti ini gambaran meja para ilmuwan yang sibuk dengan dunia pustaka.
Aktivitas Fathul Kutub ke depannya tidak hanya terpusat di balai pertemuan.
Kehadiran kami saat pukul tujuh di tempat ini seperti untuk apel kehadiran
saja. Absen dan pengarahan singkat. Seterusnya setiap kelompok akan berpencar
ke berbagai titik di sekitar BPPM. Diskusi di tempat terbuka dengan udara yang
segar mengajak pikiran ikut terbuka dan kepala tetap segar.
Kali ini kelompok 26 mendapat tempat diskusi di bawah menara. Setelah
aba-aba diucapkan oleh Ustaz Arham, kami serombongan memborong isi kepala kami
ke lokasi itu. Sekali lagi, aku merasa perlu jarak dengan si anak kelas 5C itu.
Seakan menjadi dua kutub yang sejenis bersama Izza. Saling menolak dan tidak
mau bersatu. Aku juga tidak mengerti kenapa.
Menara yang menjulang di samping masjid ini adalah menara kami semua, para
santri. Setiap tahun santri mendapatkan giliran untuk naik ke puncaknya.
Melemparkan pandangan jauh ke sawah, bukit, dan pemukiman masyarakat Ponorogo.
Semuanya jadi terlihat kecil dari ketinggian 85 meter. Pemandangan halimun
lembut akan jadi tirai yang menyelimuti kampung damai saat pagi. Sedangkan saat
senja, siapapun yang sedang naik di puncak, hatinya akan dipenuhi rasa damai
sebab matanya memotret kilasan nuansa surgawi. Aku penasaran bagaimana
pemandangan yang akan terlihat dari atas saat malam, aku belum tahu. Mungkin
akan seperti mengambang di angkasa di mana lampu-lampu rumah warga sekitar
menjelma bintang-bintang.
Keindahan tidak hanya bertengger di bagian atas. Bagian bawah menara pun
punya keasriannya sendiri. Dia menjadi taman yang nyaman di bawah naungan
menara. Bangku-bangkunya selalu jadi favorit santri untuk belajar. Menuju
tempat itulah kami melangkah. Di atas salah satu bangku taman berwarna abu-abu,
pembimbing kelompok 26, Ustaz Nafi’ sudah menanti kami.
Bersama beberapa teman dari kelompok, kali ini aku mendapat giliran untuk
memimpin diskusi dalam disiplin ilmu fikih. Kami hanya perlu fokus pada topik
yang telah ditentukan pada setiap materi, dan sesuai ketentuan yang sudah
diatur, aku mendapatkan topik syarat qasar dalam salat dari kitab Kasyifatu
Saja. Apakah sulit? Bagiku tidak. Hampir genap lima tahun Aku jadi santri,
sehari-hari masuk kelas belajar teori bahasa Arab, lalu kembali ke asrama 24
jam langsung praktik berbicara bahasa Arab. Kemampuan berbahasa Arab adalah
kunci dasarnya. Lancar saja bagiku menemukan pembahasan itu, membacanya,
memahami, mencatat, sampai mempresentasikan hasilnya pada forum munaqasyah.
Menurutku seharusnya begitu, tidak tahu yang lain.
Kacamata besar Uztaz Nafi’ terlihat memantulkan silau cahaya mentari pagi,
namun songkok, dasi, dan jasnya senantiasa gagah dengan hitamnya yang tetap
legam tak terpengaruh oleh kilauan sinar. Sang pembimbing membuka sesi pertama
kami dengan cerita. Kali ini ceritanya tentang sebuah mahligai ilmu yang sangat
berpengaruh untuk peradaban umat manusia, Baitul Hikmah.
Runtuhnya Dinasti Abasiyyah secara teoritis sudah kami pelajari sejak kelas
4 kemarin. Namun, selalu saja, Ustaz Nafi’ sanggup membawa kembali pelajaran
itu ke dalam kisah yang segar untuk didengar. Dengan artikulasi yang jelas dan
gaya yang teatrikal, kami seakan diajak meretas ruang dan waktu untuk
berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong perpustakaan Baitul Hikmah. Kata-katanya
seperti mantra yang dapat memunculkan tokoh-tokoh pada masa itu untuk
berceramah di hadapan kami. Kemudian suaranya seketika berubah bak suara derap
kaki kuda, dengan berbekal kalimat magis kini Ustaz Nafi’ membawa legiun bangsa
Tatar untuk menggempur Baghdad. Betapa berdarah, dingin, dan mencekamnya
suasana saat itu dapat kami rasakan lewat mimik guru kami.
Sepenggal kisah pertempuran selanjutnya menjadi penutup. Pertempuran Ain
Jalut dikenalkan pada kami. Saat kekuatan dari Dinasti Mamluk dapat menghadangi
buasnya pasukan Mongolia sehingga negeri Mesir dengan kekayaan ilmu yang
tersimpan di Azharnya tetap dijaga oleh Tuhan dari kebinasaan.
Kami bertepuk tangan antusias seperti penonton teater saat tirai di
panggung ditutup. Padahal kami tidak menonton teater atau sinema. Kami hanya
menyimak satu sosok guru di depan kami. Mungkin kunci supaya bisa jadi sehebat
itu, kepalaku harus sekaya perpusatakaan lalu tangan dan wajahku harus sekeren
teater. Karena itulah yang kudapati pada diri Ustaz Nafi’, selalu mengasyikkan
tapi tetap berisi. Bercerita adalah bagian wajib di kelompok 26. Sebuah bagian
yang bisa memantik semangat kami.
Mulailah aku menyampaikan topik pembahasan dari sepotong temuan di Kitab
Kasyifatu Saja. Kami yang mendapat jatah materi fikih membagi tugas. Firja
menjadi moderator, dan Umar menjadi notulis. Sisanya serahkan saja padaku.
Masalah presentasi aku sudah jago. Percayalah, bahasa Arabku fasih, sebelas dua
belas dengan Ustaz Sajid.
Siapa sangka bahwa mualif Safinatu Naja (fi ma yajibu ‘alal abdi
limaulah), Syekh Salim bin Abdillah bin Sumair Al-Hadhrami, meninggal dan
dimakamkan di Jawa. Syarahnya yang sedang menjadi rujukan kali ini, Kasyifatu
Saja, adalah karya ulama nusantara, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani. Artinya
tanah Nusantara selalu punya kedekatan dengan khazanah keilmuan Islam. Maka karya
ini seharusnya perlu dipandang tidak hanya sebagai kitab dengan kertas yang
berisi tulisan saja, tapi dia perlu dimaknai sebagai bukti bahwa ulama
Nusantara pernah punya kapasitas keilmuan yang mendunia. Kalau dulu bisa,
kenapa sekarang tidak, bukan?
Matan Safina menjelaskan bahwa syarat qasar salat ada tujuh: bersafar jauh
sejauh dua ‘marhalah’, bersafar dengan tujuan yang mubah, mengetahui
hukum qasar, niat, salat-salat yang di-qasar adalah salat ruba’iyyah atau
empat rakaat, berlanjutnya safar hingga akhir salat, dan tidak bermakmum kepada
imam yang salat secara itmam (tidak qasar).
Pada syarah, Syekh Nawawi menjabarkan lebih detail poin-poin tadi: apa
maksud dari dua marhalah di atas; seperti apa maksud cakupan dari
tujuan mubah, bahkan demi memperjelas hal ini, beliau merincikan musafir ‘ashi
itu ada tiga kategorinya; bagaimana contoh dari orang yang qasar salat tapi
tidak tahu hukumnya; disebutkannya satu persatu salat ruba’iyyah, Zuhur, Asar, dan Isya;
seperti apa maksud dari ‘berlanjutnya safar’ di poin selanjutnya, dan
percontohan panjang untuk poin terakhir ini. Bahkan dalam syarah, penulis
menambahkan empat syarat lagi (jadi sebelas) untuk pelengkap. Kuringkas
semuanya dalam catatanku dan kupaparkan ke forum. Sekali lagi, percayalah,
bahasa Arabku fasih. Anggota kelompok yang lainnya pasti melongo, Izza salah
satunya. Aku unggul dari segi apapun. Pasti.
Tepat setelah kututup presentasiku, sesi diskusi dibuka. Kami akan saling
tanya-jawab seputar pembahasan guna memperdalam pemahaman, memperluas
pengetahuan, dan mempertajam daya kritis kami. Pun fungsi dialog adalah untuk
koreksi silang bilamana ada yang keliru. Pasti diskusi akan terasa agak melebar dan simpang siur seiring
jual-beli pandangan. Namun, di akhir akan selalu ada Ustaz Nafi’ yang
meluruskan dengan sumber kredibel kalau kami mulai tidak jelas arahnya. Dan
memang seperti itulah seharusnya peran seorang guru.
Semua jawaban dari teman-teman mudah saja kujawab. Bagaimana tidak,
sebagian besar menanyakan hal yang sudah kujelaskan, dan aku hanya perlu
mengulang dan sedikit merincikan. Mendadak mereka jadi seperti murid bagiku. Semuanya
berjalan biasa sampai Izza angkat tangan dan menggugat kenyamananku dengan
pertanyaannya.
“Terima kasih untuk kesempatannya. Apresiasi untuk teman-teman, tadi
penjelasannya cukup baik. Dan sekarang saya mau bertanya. Tadi di syarat
terakhir dijelaskan kalau qasar itu tidak boleh dilakukan jika sedang bermakmum
kepada imam yang tidak qasar. Mungkin akan jelas kalau misalnya yang jadi imam
itu memang penduduk sekitar dan bukan musafir. Nah, kalau posisinya kita
tidak tahu imamnya itu qasar atau itmam itu jadi bagaimana hukumnya, ya?”
Pertanyaannya kuakui sangat tajam. Kukira akan aman saja. Rupanya ada satu
sudut detail yang luput dari catatanku. Seharusnya pembahasan itu ada di kitab,
tapi kenapa juga tidak aku tulis. Aku harus segera merespons, sama sekali tidak
boleh terlihat kalah. Mau tidak mau pertanyaannya yang cermat, harus kutebas
dengan jawaban yang lebih lihai. Kenapa di detik-detik krusial seperti sekarang
tidak ada maklumat yang bisa kucatut? Tidak ada cara lain, Aku akan menjawab
apa saja, yang penting menjawab.
“Kan mudah saja. Kalau menurut saya ya lebih baik itmam saja, lebih
aman karena tidak tahu. Simple, begitu saja kok repot!”
Seluruh peserta forum mengangguk takzim menyaksikan betapa pertanyaan Izza
yang sok kritis itu bisa dipatahkan dengan mudah olehku. Aku tidak tahu
kebenaran dari pendapatku, karena aku membuat-buat saja. Seru sekali.
Diskusi berlanjut untuk tiga materi lainnya; akidah, tafsir, dan hadis.
Semuanya berjalan normal seperti sebagaimana seharusnya berjalan. Prensentasi,
diskusi tanya-jawab, klarifikasi oleh Ustaz Nafi’. Pada setiap materi aku
berhasil menampilkan keunggulanku. Peserta lain hanya bisa melongo saat aku
bertanya dan mengangguk-angguk saja setiap kali aku memberi pandangan. Namun,
satu-satunya yang kunanti adalah gilirannya Izza di materi hadis.
Dia mendapatkan bagian untuk menjelaskan salah satu hadis dalam Al-Arba’in.
Hadis yang dipaparkannya diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda: “Ma nahaitukum ‘anhu fajtanibuuhu, wa ma amartukum bihi faf’aluu
mastatha’tum; fainnama ahlakalladzina min qablikum katsratu masailihim,
waikhtilafuhum ‘ala anbiyaihim”.
Secara letterlijk, sekilas kami semua bisa mengerti artinya. Namun,
teman-teman yang bertugas tentu menjelaskannya sesuai apa yang mereka dapati di
referensi. Aku simak saja celoteh Izza sambil mencari celah. Aku akan
melemparkan pertanyaan yang paling sulit. Saat presentasi sudah usai dan sesi
diskusi dibuka, pertanyaanku sudah siap.
“Dari hadis ini, saudara Izza cuma menjelaskan saja bahwa banyak bertanya
itu bahaya. Seakan kita sebagai muslim ini tidak boleh kritis sama sekali. Kan
menurut saya itu tidak tepat, pasti seharusnya ada penjelasan tentang larangan
itu tanpa mengurangi pintu pikiran kritis kita.”
Izza tersenyum polos, terdiam beberapa saat, lalu menjawab, “Kalau itu saya
tidak tahu, belum bisa beri jawaban apa-apa.”
Lihat, sekarang jelas siapa yang unggul dan pantas jadi yang terbaik. Aku
terus merasakan aura kemenangan ini, karena di hari-hari selanjutnya polanya
sama: Saat presentasi, Aku selalu bisa menjawab semua pertanyaan. Lalu saat
datang giliran Izza, pertanyaanku selalu dijawabnya ‘tidak tahu!’
***
Fathul Kutub At-Turast adalah kegiatan yang tidak hanya penting, tapi juga
memberikan pengalaman yang mengasyikkan. Ia diadakan dua kali setiap tahun,
awal tahun untuk siswa akhir, dan di akhir tahun untuk adik kelasnya. Artinya,
setiap santri akan mengalami dua kali Fathul Kutub sebelum lulus menjadi
alumnus.
Ada banyak nilai pendidikan yang secara khusus disiapkan untuk santri yang
telah masuk ke kelas 5. Perkataan kakak-kakak kelas tampak ada benarnya. Di
Gontor, seseorang baru benar-benar sah disebut santri setelah merasakan masa
kelas 5. Kepengurusan di rayon alias asrama, peran jadi pembina di pramuka, dan
banyak lainnya, salah satu yang paling penting adalah Fathul Kutub. Komponen
vital yang akan melengkapi puzzle bekal keilmuan santri Pondok Modern.
Sekali lagi kami, kelas 5, menggunakan kemeja putih hari ini. Rentetan
panjang Fathul Kutub akan ditutup, kegiatan akademik akan berjalan seperti
biasa setelahnya. Suara decitan klakson dan gerungan knalpot motor Ustaz Arham
adalah penyambutan yang sudah terlalu akrab bagi telinga dan mata kami. Balai
pertemuan telah kembali kepada bentuk fitrahnya. Mode perpustakaannya telah
kami tertibkan.
Lonceng berdentang seperti di hari-hari normal. Pagi ini aku sedikit
terlambat. Di atas bangku deretan belakang, aku duduk bersama rasa gugup. Tanpa
disuruh, kepalaku membenak sebuah bayangan bahwa aku akan dipanggil untuk
diberi penghargaan nanti. Bagaimana aku mengangkat tangan, berdiri, lalu
berlarian kecil naik ke panggung diiringi suara tepuk tangan. Jantungku
berdebar-debar, tanpa diperintah.
Sekilas terbenak kalau yang dipanggil adalah Izza, bukan aku. Barang kali
itu bayangan yang membuatku tidak tenang. Aku tidak mengerti ada apa sebenarnya
di hatiku. Sejenak aku insaf kalau di sana ada setitik khilaf. Namun, aku
kesulitan membuangnya. Aku hanya bisa menimbunnya dengan perasaan berharap
bahwa aku yang akan mendapatkan penghargaan.
Kualihkan liarnya bayangan di kepala dengan menyempurnaankan inthiba’at yang
sudah kususun sejak semalam. Penulisan inthiba’at sudah menjadi
rutinitas penutupan kegiatan semacam ini .
Kami kelas lima diminta menuliskan kesan-kesan kami setelah mengikuti acara ini
di atas kertas yang sudah dibagikan sejak kemarin. Tentunya kami menulis
menggunakan bahasa Arab. Aku menulis semua kesanku dengan gaya bahasa paling
indah yang pernah kupelajari, karena mungkin nanti aku akan diminta maju ke
depan untuk membacakannya di hadapan seluruh kelas 5. Jadi harus keren.
Salam dari Bapak Direktur menggema dari instalasi pengeras suara yang
terpasang di sudut-sudut balai pertemuan. Acara dimulai. Setelah beberapa rentetan,
Bapak Pimpinan pun naik ke mimbarnya setelah dipersilakan Bapak Direktur.
Menyampaikan apresiasi untuk kelas lima yang telah menjalankan kegiatan Fathul
Kutub. Nasihat dan cerita tidak pernah luput.
Aku sulit fokus, tidak mengerti mengapa. Saat ini kenapa petuah dari beliau
kali ini tidak dapat kusimak dengan damai. Tanganku terus bergerak
mencorat-coret sesuatu tidak jelas, kakiku ikut tidak bisa diam, apalagi hati –
masih berdegup tak karuan, dan degupan bertambah kencang saat Bapak Direktur
kembali mengambil alih jalannya acara.
“Ya, setelah ini. Kita akan mendengar bersama kesan-kesan (inthiba’at) dari
beberapa nama terpilih dari teman-teman kelas 5. Silakan maju yang pertama,
ananda Izzatullah Habibi....”
Apa?
Dalam diam ada rasa cemburu yang mendidih di dadaku. Betapa mataku
terperanjat ketika Izza naik ke podium, dan bagaimana seluruh balai pertemuan
hening dan terpaku hanya demi memperhatikannya bicara, apalagi tepuk tangan
menyeruak tepat setelah dia mengucapkan salam. Beberapa nama selanjutnya naik
ke panggung dan mendapat tepuk tangan juga. Namaku, sampai akhir sesi inthiba’at,
tidak kunjung dipanggil. Kenapa dia yang mendapatkan semua itu? Kenapa mereka?
Kenapa bukan aku?
“Kita sudah sampai pada penghujung kegiatan ini. Namun, sebelum kita tutup
Fathul Kutub, kita akan panggil nama-nama peserta terbaik dari seluruh
kelompok.” Mulailah Bapak Direktur menyebut mereka satu persatu. Aku semakin
sulit mengendalikan detak jantung dan kilasan bayangan di kepalaku. Anak kelas
5 yang dipanggil berlari (atau terbang) ke atas panggung. Kuperhatikan
wajah-wajah yang berlari sambil menekan perasaan harap-harap cemas. Dan, apa
yang akan terjadi, terjadilah. Seketika aku seperti membeku, nama itu disebut
(lagi) “Izzatullah Habibi”.
Dia berlari dengan senyum mengembang, membiarkanku membisu dengan raut
wajah muram tak mengerti. Tapi kenapa? Kenapa dia yang selalu menjawab “tidak
tahu” malah mendapat penghargaan? Dan Aku? Aku yang punya lebih banyak jawaban
tidak dianggap? Memangnya aku tidak aktif? Memangnya si Izza bisa berbicara
lebih fasih dariku? Tidak mengerti, dadaku seperti mengurung gunung berapi yang
enggan meledak dan hanya bisa menggerutu. Fathul Kutub berakhir dengan mataku
yang mematri prasasti si Izza yang tersenyum menerima piagam dari Bapak
Direktur KMI.
***
Pusat
kedamaian lebih berkesan, saat kau beranjak meninggalkan
Di sini
paksalah diri bahagia hingga ikhlas terima kenyataan,
ternyata di sini indah.
Iya, benar. Tempat ini memang indah. Kabut lembut yang menyelimuti pagi
disiram cahaya keemasan dari terbit mentari. Angin lembut membelai daun pohon
asem di depan rumah pimpinan dan daun pohon kelapa di depan gedung Tunis.
Embun-embun yang menggelantung di lembarannya malu-malu untuk jatuh. Para
anggota asrama sudah berpencar ke titik kesibukannya masing-masing, dan masih
aku berdiri termangu menyandar ke pagar rayon Saudi 1 lantai 2. Mataku
memandang jauh ke lantai satu, bergerak mengikuti simfoni ikan-ikan koi yang
sedang menari dan menyanyikan lagu nasyid di kolam milik Ustaz Herman.
Namun, apa yang di mata tidak sama dengan yang di hati. Ada gumpalan hitam
di relungnya yang membatalkan semua keindahan yang dipotret mata. Segumpal
hitam membuat setiap tarikan napas tidak lagi melegakan. Mula-mula ia berupa
gugatan berbunyi, “Kenapa dia?” lalu semakin hari ia menjelma lebih reflektif
berujar, “Sebenarnya, apa lagi yang kurang dariku?”
Setelah Fathul Kutub semua aktivitas belajar-mengajar yamsyi kal mu’tad.
Bertemu setiap hari dengan Ustaz Sajid, saat pagi di kelas dan saat belajar
malam hari. Mengurus anggota asrama dengan berbagai masalahnya. Tangan, kaki,
mata, telinga semua berkegiatan seperti biasa, dan satu-satunya yang tidak
biasa adalah perasaan hati.
Kalau dibiarkan, perasaan itu tidak akan berhenti meronta pagi ini. Aku
perlu mengalihkannya. Maka masuklah aku ke bilik mudabbir, ruang sempit
memanjang di dalam kamar anggota rayon yang disekat dengan kotak lemari mereka.
Pakaian koko, jas, songkok hitam, dan bawahan sarung untuk salat ini kuganti
dengan busana santai, kaos dan celana training. Sepasang sandal Nico
kucabut dari kantongnya. Mau ke mana aku? Saat bulan baru saja berganti
dan dompet sudah kempes, tujuanku tidak lain adalah warung telepon.
Waktu luang pagi ini kugunakan untuk menelepon orang tua, sedikit bercerita
basa-basi dan meminta uang saku bulanan. Aku punya kesempatan sampai 06.30
untuk mandi dan bersiap masuk kelas. Seharusnya di sini indah. Pemandangan pagi
semestinya tidak pernah gagal memukau. Sayangnya tidak terlalu banyak yang bisa
kunikmati saat ini akibat ulah si gumpalan hitam.
Tiba aku di gedung Satelit. Bukan, gedung Satelit tidak mengambang di
angkasa. Gedung ini disebut demikian karena letaknya menyendiri di satu sudut
yang berjarak dari pusat pondok, sehingga dulu diibaratkan seperti satelit yang
mengorbit jauh di atas planet. Selain berfungsi sebagai penginapan tamu, gedung
satelit juga tempat pulang bagi lidah-lidah yang mendamba terong balado Kantin
Satelit, dan tempat kembali para santri ke orangtuanya sejenak lewat
bilik-bilik wartelnya.
Mekanisme wartel tidak selalu sama pada setiap masanya. Pernah satu masa
antre di wartel dilakukan langsung dengan badan, lalu berubah dengan penulisan
nama, dan kiwari ini kami antre lewat medium papan nama. Papan nama kami dengan
berbagai warnanya dibuat berbaris dan akan dipanggil satu-satu saat sudah tiba
gilirannya.
“Fatih Nashrillah!” Aku beranjak dari tempat duduk dan mengambil ponsel
kentang dari tangan Ustaz Staf wartel. Syukurlah. Antre tidak lama kali ini. Suara
khas ‘menghubungi’ bergetar sesudah kumasukkan nomor telepon orangtuaku. Panggilanku
diangkat dari sana. Obrolan saling merambat di bentangan jarak ratusan
kilometer lewat gelombang elektromagnetik.
“Assalamualaikum ... ini Fatih, Bu.”
Suara yang menyambut dari sisi lain telepon ini terdengar antusias.
“Wa’alaikumussalam. Iya, Nak. Apa kabar?”
Berceritalah aku tentang rutinitas yang begini-gini saja. Tidak kutuangkan
sisi lain hidupku di pondok yang sebenarnya tidak selalu begitu-begitu saja. Cerita
masalah keseharian terkadang hanya formalitas penghormatan untuk orangtua saja.
Terasa tidak beradab sekali kalau menelepon hanya untuk meminta saku semata. Tujuan
utama itu akan kuucap di akhir. Bulan baru, sama-sama tahu.
Sayangnya hidup tidak selalu berjalan sebagaimana yang direncanakan
manusia. Suara dari rumah berganti. Siapa lagi kalau bukan ayah. Aku kira ayah
akan banyak bernasihat seperti biasa, tapi tidak kali ini. Ayah menceritakan
bahwa kemarin dia baru saja menjalani perjalanan dinas ke ibukota yang jaraknya
tidak terlalu jauh dari rumah. “Kan ada keringanan untuk qasar salat ya, Nak?
Itu sebenarnya jarak minimalnya berapa, ya?”
Waktu berhenti menjalankan detiknya. Aku hanya membisu dan tidak tahu akan
menjawab apa. Kukerahkan seluruh kekuatan otak untuk membawa kembali salinan
isi buku Kasyifatu Saja kemarin, atau referensi apa sajalah yang penting ada. Sia-sia.
Aku lupa, aku tidak tahu, dan aku tidak mungkin mengada-ada untuk pertanyaan
yang ini.
“Fatih tidak tahu, Yah ....” Jawaban yang sangat-sangat memalukan, tapi mau
bagaimana lagi.
“Oh, tidak apa kalau begitu. Nanti kalau sudah tahu, minta tolong kabari
ayah ya. Bisa kan, Nak? Pasti bisalah. Anak ayah kan pintar, langganan prestasi
kok di pondok.” Seakan tidak ada keraguan sedikit pun di suaranya. Yakin sekali
bahwa anaknya adalah sosok anak yang bisa diandalkan keilmuannya. Ayah tidak
tahu bagaimana mimik bekuku, apalagi bagaimana sebenarnya aku sedang teramat
kecewa kepada diri sendiri.
Sejatinya aku tidak perlu untuk menjadi mufti atau ulama untuk bisa
menjawab pertanyaan ayah, aku hanya perlu menjadi santri yang bisa menyebut
kembali pengetahuan yang telah dipelajarinya. Telepon berakhir, dan siapa
sangka gumpalan hitam di hati malah luntur karena menyadari sesuatu.
Memang aku tidak bisa menjawab pertanyaan ayah, tapi aku akhirnya mendapatkan
jawaban dari gugatan gumpalan hitam di hatiku. “Kenapa Izza yang mendapat
penghargaan?” dan “Apa lagi yang kurang dariku?”.
Selama ini, aku merasa harus selalu bisa menjawab semua pertanyaan untuk
jadi yang terbaik. Sikap itu justru menjerumuskanku ke ilmu yang semu. Padahal
berani mengakui ketidaktahuan adalah perangai orang berilmu yang sesungguhnya –
yang bijasana lagi bertanggung jawab. Aku dibuat sadar, bahwa hakikatnya aku
tidak tahu apa-apa!
– Bersambung ke Epilog
0 Komentar