Oleh: Aracadia
Kala itu, langit malam
tak satu perasaan denganku. Ia menampakkan seluruh kecantikannya, beserta
bintang-bintang yang bersinar terang. Bulan purnama yang terlihat utuh, dan
lampu-lampu kota yang menyinari sekitarnya turut memperindah suasana malam.
Keadaan yang berbanding terbalik dengan keadaanku di saat depresi mencuri habis
semangat hidupku. Awan tipis malam seakan mengingatkanku hasil tes daring yang
iseng kulakukan: kemungkinan besar kamu adalah seorang Aspie.
“Lili, apa kau pernah
membalas senyuman bintang?” aku teringat pertanyaan yang Lala berikan kepadaku di
saat ia melihat wajahku yang muram. Apakah ia keberatan mempunyai saudara
kembar yang menjadi Aspie sepertiku?
“Aku tak menganggap itu
sebagai suatu kekurangan,” tutur Lala, seakan tahu apa yang ada di dalam
kepalaku. Ia mencubit batang hidungku tiba-tiba, agar wajahku tidak terlalu
muram.
Diagnosa yang diberikan
oleh tes daring tidak selalu akurat, akan tetapi nilai yang sangat tinggi bisa
menjadi salah satu tandanya. Siapa yang menyangka, Sindrom Asperger – autisme
ringan – alasan yang sering kupakai untuk berlindung dibalik ketidakmahiran
sosialku ternyata benar-benar terjadi padaku. Aku, seorang perempuan yang sudah
menginjak dewasa muda tidak tahu kapan jelasnya sindrom ini datang kepadaku.
Aku memeriksa cermat
tanda-tanda Sindrom Asperger yang melekat. Hal-hal yang kuanggap normal
ternyata menunjukkan sisi Asperger yang kuat. Aku seperti membaca
lembaran-lembaran kisah hidupku yang lalu, tanpa mengetahui keadaan yang
sebenarnya terjadi. Ternyata itu adalah jawaban mengapa aku sangat kesulitan
dengan dunia sosial.
Apakah ini adalah sesuatu
yang berbahaya? Mengapa aku terlahir berbeda?
“Selamat pagi Lili,” terdengar
suara Lala membuyarkan lamunanku. Aku membutuhkan waktu untuk menjawab sapaan
singkat yang hangat itu. Akankah orang-orang yang akan kutemui nanti akan
melakukan hal yang sama? Jika iya, itu adalah suatu hal yang melelahkan.
“Baik,” lagi-lagi aku
menjawab singkat demi menutupi kelelahan sosial yang mungkin saja terjadi
kepadaku nanti. Aku benci merangkai kalimat yang panjang.
Senyuman manis masih
terlukis di kedua sudut bibir Lala. Kami memang saudara kembar, tetapi ia tak
kesulitan dengan dunia sosial sepertiku.
“Sayang, selamat pagi,”
suara lembut ibu menggema di telingaku. “Sarapanmu sudah siap. Seperti biasa, roti
tawar, coklat putih dan teh hangat kesukaanmu.”
Aku hanya mengangguk
pelan, tak ingin mengeluarkan kata. Aku menyukai keteraturan ini, dan aku
berharap jangan ada yang merusaknya.
“Musim dingin telah tiba.
Ibu sudah menyiapkan jaket hangat untukmu,” ibu berpesan kepadaku sembari
menepuk-nepuk kain jaket tebal itu, upayanya memeriksa dan mengusir debu jika
saja ada debu yang menempel.
Seperti matahari, musim
dingin datang disiplin. Kadang, dedaunan berpamitan pada ranting yang dahulu
tempat ia bersinggah. Tak semua dedaunan tahan akan kehadiran musim dingin.
Malam memanjangkan dirinya, mendesak jatah siang untuk mempersempit bagiannya. Jika
aku boleh berkomentar, aku membenci musim dingin. Manusia terlahir dengan
fitrah hangat, bukan?
Aku sudah selesai dengan
sarapanku. Mencoba keluar ruangan menikmati hawa baru. Tidak lupa akan pesan
ibu. Memakai jaket dengan benar, menyapa musim dingin yang kubenci. Mungkin
saja aku menemukan hal-hal yang mengurangi depresiku di luar sana.
Seperti biasa, matahari
memercikkan sinarnya. Langit musim dingin terlihat lebih pucat, entah apa
sebabnya. Kali ini, langit satu perasaan denganku, walaupun aku tak tahu,
pernyataan itu benar atau salah. Aku memang merasakan percikan matahari, tetapi
suhu dingin musim dingin mencekik kehangatan tubuhku. Aku mengeratkan syalku.
Angin musim dingin
membelai lembut pipiku yang tidak terbalut syal. Dari kelembutannya,
bolehkah aku bercerita? Lagi-lagi, aku teringat dengan tatapan teman-teman
sekelas kepadaku. Itu benar-benar hal yang melelahkan. Bisakah dunia sosial
dibuat ramah, sedikit saja?
Alih-alih mengurangi
depresi, bayangan gelap itu setia menemaniku. Bermula dari nilai tinggi dari
kuis website. Diagnosa yang diberikan oleh psikolog. Ciri-ciri yang
kuanggap normal ternyata tanda kuat sindrom itu. Tatapan teman-teman.
Kalimat-kalimat panjang. Mengapa semua hal itu terjadi padaku? Sepertinya, jika
aku berjalan lebih jauh lagi, mungkin saja aku menemukan hal-hal yang
mengurangi depresiku. Aku mempercepat langkahku.
Musim dingin membuat
kebanyakan orang tidak mau beraktivitas banyak di luar ruangan. Mereka lebih
memilih menyalakan penghangat ruangan di dalam rumah, atau bersahabat dengan
selimut tebal mereka. Ada beberapa yang tetap memilih beraktivitas di luar ruangan,
seperti menikmati minuman hangat favoritnya masing-masing, tak lupa dengan
pakaian hangat yang membalut mereka.
Aku melihat gerombolan
yang penuh dengan tawa. Orang-orang yang berkumpul, saling melemparkan candaan
satu sama lain. Aku merasa itu adalah hal yang melelahkan, di saat kesendirian
adalah pilihan yang lebih baik. Ah, lagi-lagi aku tak merasa itu adalah ciri-ciri
sindrom yang kuat.
Langkah kakiku terus saja
berjalan. Menghindari kerumunan orang-orang yang memilih beraktivitas di luar
ruangan. Memilih kesendirian sebagai bentuk ketenangan, bukan bentuk kesepian
yang biasa ditafsirkan manusia lain. Aku hanya ingin meyakinkan diriku, menjadi
seorang Aspie adalah suatu hal yang tidak berbahaya.
Tak terasa, pemandangan
air laut menyapaku. Matahari yang awal mulanya singgah di arah timur pada
langit, lambat laun membumbung tinggi. Uraian cahaya matahari membuat ombak
laut menari dengan percikan kilaunya. Menawarkan bau samudra. Lagi-lagi, angin
menyapaku kembali. Memainkan syal dan kain yang kupakai untuk menutupi
kepalaku. Seperti ada rasa sebuah pembebasan. Jauh dari tatapan menegangkan.
Jauh dari kalimat-kalimat panjang. Sebenarnya aku sensitif dengan cahaya –
mungkin ini adalah salah satu dari sebab dari sindrom yang kuidap. Tetapi tak apa,
ini jauh lebih baik. Dari semua kelembutan, kebebasan, dan kecantikan yang laut
miliki, bolehkah aku bersatu dengan laut? Aku hanya merasa tak ingin menjadi
beban kepada lebih banyak orang lagi karena sindrom yang kuidap, terlebih
kepada orang-orang yang kusayang.
Aku menanggalkan kedua
belah sepatuku yang ternyata baru kusadari mereka adalah dua pasang yang
berbeda. Aku tak peduli – ingin abai saja dan menikmati kelembutan laut yang
sedang kurasakan. Membiarkan air laut menyapa ujung bawah pakaianku dengan
caranya. Jika aku berjalan untuk berusaha lebih dekat dengan laut, mungkin saja
aku menemukan banyak keindahan lagi di dalamnya.
“Lili!” suara samar yang
kukenal menyebut namaku. Dengan tangannya yang kuat, ia menarik tanganku dengan
lembut. Tetapi itu kejam, memisahkan keinginanku yang ingin bersatu dengan
keindahan laut.
“Ada banyak tempat yang
tak kalah cantik di sana!” suara Lala menjadi jelas karena jarak kita yang
berdekatan. Aku memalingkan pandanganku ke belakang, berusaha memastikan
pemilik suara.
Lala tersenyum.
Membersihkan sisa-sisa air tempias laut di wajahku. Membenahi kain yang
membalut kepalaku. Dan, seperti hafal dengan perangaiku, ia membawakan sepasang
sepatu yang sama. Lalu, ia berlutut di depanku, mencoba memakaikan sepasang
sepatu itu pada kedua kakiku.
“Ayo, kita jelajahi
tempat yang tak kalah cantik di sana!” Lala bersemangat, mengayun-ayunkan
kelima jariku. Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaimana bisa ia menemukanku di
sini?
“Kau tahu? Di malam hari,
bintang selalu tersenyum kepadamu. Apa kau pernah membalas senyumannya?” Lala mengulang
lagi pertanyaannya yang dulu. Ayunan kelima jarinya dengan kelima jariku masih
belum ingin ia lepaskan. Langkah kakinya mengajak langkah kakiku untuk menjauh
dari area laut. “Semesta tak memiliki bahasa. Tetapi mereka mempunyai caranya
sendiri untuk menyampaikan bahasa mereka. Apalagi hanya sekedar memuji
kecantikanmu,” Lala membenahi lagi kain yang tak pernah patuh membalut kepalaku
dengan benar.
Aku melihat bola mata
hitam legam Lala yang seperti bola mataku. Bentuk kepala beserta kain yang
membalutnya, warna matanya, bentuk hidung dan bibirnya, membuatku sedang merasa
bercermin karena ia memberikan pantulan wajahku. Bedanya, ia tak terjangkit sindrom
sialan yang kuidap. Tetapi, ia cukup sabar menghadapi seluruh perangaiku.
“Lili, apa kau tahu? Ada
banyak cara Tuhan mengirimkan cinta kepada kita,” Lala menghentikan kalimatnya
sejenak, memberi jeda. Ia tahu aku membenci kalimat yang panjang. “Kita membeli
makanan untuk mencukupkan kebutuhan kita. Tak seperti di tempat lain, mereka
menumbuhkan tumbuhan untuk mencukupi kebutuhan makan mereka dengan ladang
mereka sendiri.”
Ia mengajak langkah
kakiku untuk mendekat kepada mereka yang sedang sibuk memanen sayur dan
buah-buahan. “Tuhan yang telah menumbuhkannya. Ini adalah bentuk cinta-Nya
kepada hamba-Nya,” tutur Lala memberi jeda sekali lagi. “Lili, dari banyaknya
cinta yang telah Dia berikan, apa kau pernah membalas cinta-Nya?” Lala menekan
akhir kalimatnya.
“Kau boleh bercerita
kepadaku kapan saja. Kau punya aku,” ucap Lala sembari menuntunku agar aku tak
melakukan kecerobohan ketika berjalan. “Ayo, aku ingin menunjukkanmu ke suatu
tempat,” senyumnya sumringah, seperti sesuatu yang tak akan lepas dari dirinya.
Suhu musim dingin masih
mencekik kehangatan tubuhku. Cahaya temaram langitnya masih berpendar hangat,
walaupun kalah dengan suhu dinginnya. Lala seperti memiliki hobi baru, tak
ingin lepas dari mengayunkan kelima jarinya dengan kelima jariku.
Kini aku disodorkan
dengan pemandangan yang sederhana. Aku memang tak melihat gedung-gedung yang
mencakar langit, tetapi teras yang berbalut dengan semen. Di setiap sudutnya,
terdapat meja kecil lengkap dengan pot bunga cantik yang duduk di atasnya. Lampu-lampu
menggantung sederhana, tetapi akan memberikan kesan cantik jika ia dinyalakan
di malam hari. Beberapa orang berkumpul di sana, merakit manik-manik atau
sekedar membaca buku. Dari ciri-ciri yang kulihat, sepertinya sebuah rumah
asuh.
“Selamat datang,” sapaan
hangat diberikan oleh perempuan paruh baya. Sepertinya, pemilik rumah asuhan
ini.
“Terima kasih!” Lala
menjawab sapaan hangat dan uluran tangannya. Ia langsung mengambil tempat untuk
bersila, dan memintaku untuk melakukan hal yang sama.
Kesederhanaan ini
membuatku tenang. Terlepas dari menyebut apakah sindrom ini adalah autisme
ringan atau bukan, aku rasa kami bisa saling memahami. Terlebih pada kehadiran
Lala. Aku hanya ingin memahami, apakah ia bentuk nyata cinta Tuhan yang
diberikan kepadaku? Beserta teman-teman baru yang kutemui di rumah asuh. Meski
aku masih sering melakukan kesalahan dalam komunikasi sederhana sehari-hari. Aku
rasa, ini lebih dari cukup. Mungkin, itulah sebabnya Lala mengajakku kemari.
Bertemu dengan orang-orang yang mempunyai satu kesulitan sama denganku. Tuhan selalu lebih tahu apa yang dibutuhkan
oleh hamba-Nya. Kita dibentuk oleh orang-orang yang kita temui, bukan?
Matahari menenggelamkan
dirinya. Ketika ia tenggelam, sinarnya yang biasa menyinari dunia menjadi
redup, menghasilkan gradasi merah dan jingga pada langit. Lambat laun,
menjadikan langit gelap sempurna. Sesampainya di rumah, aku teringat akan
kalimat Lala yang mengiang di benakku. “Apa kau pernah membalas senyuman
bintang?” aku melihat binar senyuman bintang. Kali ini, mereka terasa lebih
dekat. Mengingatkanku kepada Lala. Sapaan hangat ibu setiap pagi. Atau suara
lembut ayah ketika beliau mencoba menolongku dari hasil kecerobohanku
berjalan.
Aku memeluk buku
catatanku erat-erat. Mencari alat tulis yang biasa kusimpan di kolong meja.
Lalu menorehkan tinta di atas kertas putih di dalamnya, “Hari ini aku tidak
menutup telinga di perkumpulan kecil.”
Aku mencoba kembali
mengingat dan menggali memori yang terjadi hari ini. Apakah hari ini aku sudah
mengeluarkan kalimat yang banyak? Apakah aku masih membenci kalimat panjang?
Apakah untuk ke depannya aku sadar memakai sepatu dengan sepasang yang sama?
“Hari ini aku memulai
pembicaraan kepada teman. Dan itu... membuatku merasa diterima,” aku menuliskan
kalimat terakhir sebagai penutup di catatanku untuk malam ini. Ini lebih dari
cukup. Dunia akan selalu terasa indah, jika tak ada unsur paksaan di dalamnya.
Aku kembali menatap binar
bintang sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat tidur. Dalam binarnya, selalu
tersirat senyuman orang-orang yang kusayang. Senyuman itu seperti ingin memberi
tahuku, kau tidak sendiri dalam dunia ini. Menerima apa yang diberikan oleh-Nya
– termasuk menerima diriku sendiri. Mencoba memahami kembali bentuk-bentuk
cinta Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya. Membalas senyuman bintang.
Sekarang aku ingin bertanya kepada kalian: Apakah kalian sudah membalas
cinta-Nya? Apakah kalian sudah membalas senyuman bintang?
0 Komentar