Header Ads Widget

Jangan Bunuh Aku!

 

Oleh: Ihya’

 

Bismillahirrahmanirrahim

            Hasil dari (10 – 4y – y 2 ) – (4y 2 + 2) adalah?” Aduh … Ini pelajaran apa sih?

            Di dalam serambi hari, malam telah bersemayam. Dunia mulai lenggang, tanpa pelita, tersisa gelita. Rumah-rumah dibelai angin dingin. Orang-orang mulai meninggalkan kesibukan dan bergerak menuju ranjang peristirahatan, kecuali Caca. Gadis kecil itu dia tidak boleh tidur sebelum mengerjakan sebuah tugas. Pekerjaan Rumah (PR) adalah satu dari banyaknya tanggungan tugas yang harus ditunaikan oleh seorang murid sekolah. Ketika suara jangkrik dari kebun belakang rumahnya mengantarkan dunia untuk terlelap, Caca masih sedang berjuang untuk melawan banyak hal.

            Matematika, teman bagi segilintir murid, musuh bagi sisanya – atau mayoritasnya. Bagaimana dengan Caca? Apakah dia teman mata pelajaran ini atau musuhnya? Caca sama sekali tidak pernah mau punya musuh, dia terus berusaha menjadi teman bagi matematika, juga bagi semuanya di dunia. Soal-soal di buku tulis catatan tersanding, Caca menarik napas berat. Dia berusaha mengisi titik-titik yang tersedia, memaksa dirinya. Yang Caca hadapi bukan lagi soal penjumlahan atau pengurangan biasa. Sekarang ada hal-hal baru yang Caca tidak begitu mengerti, tapi dia terus paksa.

Lima menit, Caca masih berusaha bisa. Tak bisa dibohongi, kepalanya mulai pusing. Caca harus pintar matematika kalau mau menjadi dokter! Kalimat sang Papa selalu beredar di kepala Caca. Kamu harus ranking di kelas! Ucapan mamanya ikut muncul. Gadis kecil itu terus memaksa dirinya. Tangannya bergerak, dia menjawab pertanyaan yang ada, setelah berusaha berpikir sebisanya.

Tidak bisa dibohongi, isi hati Caca berisik ingin putus asa. Dia sudah mencoba terus, dan tetap saja tak kunjung menguasai pelajaran hitung-menghitung ini, apalagi benar-benar menyukainya. Setiap kali Guru Tuti menerangkan matematika, Caca tidak pernah abai dan terus memperhatikan. Caca bingung, kenapa semakin hari semakin banyak muncul rumus dan simbol-simbol baru. Bagaimana mungkin angka bisa dikali dengan huruf? Dia kesulitan untuk memahami dan mengikuti pelajaran. Tidak masalah, Caca pasti bisa. Dirinya terus ia paksa.

Menit-menit berlalu, pena hitam di tangannya sesekali dia genggam sesekali dia letakkan. Rambut poninya ia tiup-tiup. Setelah berpikir sebisanya (lagi), dia ragu dengan jawaban-jawaban yang telah ditulisnya. Caca mencoret-coret jawaban itu, dan seperti itu terus berkali-kali. Berjuang dengan bimbingan pusing di kepala, belajar ditemani oleh meja dan lampu.

Hampir satu jam berkutat dengan angka-angka dan simbol-simbol yang entah kapan akhirnya ini, kepalanya mulai pusing tidak karuan. Mungkin butuh istirahat sejenak. Jemari Caca bergerak ke arah laci meja. Ketika ditarik pegangan laci tersebut, di bagian ujung laci terlihat harta karun milik Caca: pensil dan buku gambar lengkap dengan pensil warna. Harta karun rahasia yang selalu dia sembunyikan dari orang tuanya. Terakhir kali Caca didapati menggambar, wajah masam yang merespon.

Caca melompat ke arah kasur, buku tulis matematika dia tinggal berduaan dengan pena. Di atas ranjang tidurnya, Caca membuka buku gambarnya dan mulai menggambar sesuatu. Kepalanya iseng bertanya, mau gambar apa ya? Sambil menggurat garis dan titik, gadis kecil itu senyam-senyum sendiri.

Meong ...

Saat sedang seru-serunya Caca menggambar, dia datang. Suaranya terdengar dari balik pintu kamar yang tertutup. Caca beranjak menuju pintu dan membukanya.

“Hai Cici, Kamu belum tidur?”

Meong ...

“Psst ... jangan berisik, ayo masuk.” Caca menengok ke arah luar memastikan keadaan aman, lalu menutup pintu kamar. Caca kembali ke kasur.

Kucing oren ini bertahun-tahun telah menjadi karib sejati bagi Caca. Sebagai anak semata wayang, Cici – kucing orennya yang entah jantan atau betina itu – adalah satu-satunya saudara baginya. Sahabat tempat Caca mencurahkan segala keresahan hatinya. Pelipur di kala lara, penghibur di kala gundah gulana. Memang terasa berlebihan, memang akan terlihat aneh ketika Caca bercerita panjang tentang ini dan itu ke kucing peliharaan yang seharusnya tidak mengerti apa yang diucapkannya. Tapi Caca bisa berceloteh seperti ini hanya ke Cici kesayangannya, memangnya ke mana lagi?

 “Aku jenuh dengan PR matematika, jadi aku mau menggambar-gambar sebentar. Kamu tahu kan aku suka sekali menggambar. Lihat, apa yang sedang kugambar.” Caca melihatkan sketsa gambarnya ke Cici – yang aslinya entah mengerti atau tidak.

Meong ...

“Lihat gambarnya bagus, kan? ini cita-citaku. Ya, aku sadar diri sih kalau matematika saja aku kesulitan hehehe. Aku yakin pasti bisa , Ci, pasti! Pasti bisa membanggakan orang tua. Keren kan?!”

Meong ...

Setiap kali Cici mengeong, Caca yakin dia mendengarkan dan paham apa yang dia ucap-ucapkan. Kucing itu hanya terduduk dan mengeong, Cici sudah tidak seaktif sebelumnya, mungkin karena sudah berumur.

“Terima kasih, Cici, sudah selalu jadi temanku.” Cici mengelus bulu lembut kucing kesayangannya. Dan ternyata badannya panas. Caca menganggapnya sedikit janggal, tapi belum terlalu menghiraukan. Gadis kecil itu tenggelam menikmati momen bersama Cici di atas kasurnya. Sampai tiba-tiba ...

            Aduh, ketiduran!

            Niatnya hanya menggambar-gambar sebentar melepas jenuh, tapi malah ketiduran. Caca semalaman tertidur tengkurap dengan buku gambar di depannya dan pensil di sekitar tangannya. Bencana sesungguhnya adalah PR matematikanya yang belum selesai, dan suasana semakin mencekam ketika suara mamanya terdengar memanggil dari luar.

            “Caca ... bangun! Siap-siap ke sekolah!” Suara itu mendekat ke pintu kamar.

            Dengan dada yang berdegup kencang dia buru-buru membereskan peralatan gambarnya dan memasukannya ke laci rahasia di meja belajar. Melihat buku tulis matematikanya yang penuh coretan dan tugasnya belum selesai. Hatinya mengaduh bingung.

            “Iya, Ma, Caca sudah bangun ....” Caca terpikirkan sesuatu, jantungnya berdegup semakin kencang. Dia menyapu seluruh sudut kamar dengan pandangannya, sampai ke bawah kasur, seperti mencari sesuatu.

            Dari balik pintu yang setengah terbuka, mama Caca muncul, “Cepat, Caca, jangan lupa rapikan kasurnya!” Mimik dan suara galak ibunya menyambut pagi Caca, dan dia sudah terbiasa. “Itu kucing kamu sakit ya, dari tadi seperti diam saja di kandang.”

            Kabar baik dan kabar buruk; kabar baiknya Caca tidak ketahuan telah ‘menyelundupkan’ Cici ke kamar – itu pelanggaran berat, kalau ketahuan pasti Caca akan jadi bulan-bulanan omelan mamanya; kabar buruknya, firasat buruk tentang Cici yang sakit tadi malam semakin kuat. Kalau Cici sakit, memang aku harus bagaimana ya?

            Mandi, ganti baju, sarapan; Caca berangkat ke sekolah.

***

            Caca masih kelas satu SMP. Tidak mudah, perlu banyak penyesuaian di tahap baru ini, baik dari lingkungan, teman, sampai pelajaran. Ah, pelajaran, apa kabar PR matematika?

            Bel berbunyi, suara dentingnya berkunjung dari telinga ke telinga. Sinar matahari pagi merambat ke jendela-jendela. Para siswa merapat ke kelas-kelas, saling bertukar sapa dan senyum. Banyak yang terlihat sumringah, dan di antara yang sumringah itu pasti tidak ada Caca. Iya, karena masalah yang ‘itu’. Sambil menunggu guru datang, Caca masih berusaha mencoba menuntaskan PR-nya. Tapi tak kunjung bisa. Waktu yang mendesak membuatnya tidak tenang menyelesaikan PR, ditambah pikiran tentang Cici yang sakit membuatnya tidak fokus. Seketika Bu Tuti masuk ruangan. Pasrah saja siswi satu ini, tamat sudah riwayatnya.

            “Kita akan langsung membahas bersama tugas rumah yang sudah ibu berikan, sekarang yang ibu sebut namanya maju kerjakan di papan tulis.” Kabar baik, PR tidak dicek satu-satu, tapi sama saja kalau Caca yang disuruh maju. Semoga tidak.

Bu Tuti menyebut satu nama dari absen kelas, “Anfa Karim, ayo maju kerjakan di depan.” Caca menghembuskan napas lega, bukan dia yang dipanggil, tapi ini baru satu dari sepuluh soal.

            Siswa yang disebut maju. Setelah selesai menulis dan dibahas. Dia mendapatkan tepuk tangan karena jawabannya benar. Bu Tuti meminta para siswa untuk mengoreksi jawabannya masing-masing sesuai tulisan di papan tulis.

            Bu Tuti kembali memanggil “Sekarang ... Kevin Jaelani.” Caca masih aman. Tugas-tugas dibahas, papan tulis dipenuhi angka, huruf, simbol, dan garis. Nama-nama siswa disebut satu persatu. Ada yang benar, ada yang salah. Caca merasa aman saja.

            “Bergas Pamungkas.”

            “Puspa Aglonema.”

            “Ahmad Romea.”

            Sampai akhirnya, Bu Tuti menyebut nama, “Aca Selaksa Asa.”

            Aduh. Ternyata Caca tidak beruntung, namanya akhirnya ikut disebut juga. Dalam bingung ia berdiri gemetar.

            “Ayo, Nak, kerjakan nomor enam.”

            Caca masih terdiam di bangkunya. Dia hanya punya satu cara. “Maaf, saya belum menyelesaikan PR, Bu,” ucap Caca terus terang.

            Bu Tuti mengernyitkan dahi. “Kenapa belum?”

            “Saya belum paham penjelasan ibu minggu kemarin, saya kesulitan, Bu,” tanggap Caca dengan kepala tertunduk.

            “Masa begitu saja tidak paham, ini mudah lho. Yang lain, mudah atau tidak?” Guru matematika itu menanyai semua anggota kelas.

            “Mudah ...,” jawab semua siswa serempak.

            “Itu dengar, yang lainnya paham, berarti penjelasan ibu cukup jelas. Cuma kamu saja masa yang tidak paham, berarti kamu yang tidak memperhatikan. Padahal sebentar lagi sudah mau ujian, masa semudah ini saja belum paham.” Lebam hati Caca jadi bulan-bulanan gurunya di tengah semua murid. Caca berusaha tegar, dia sudah terbiasa.

            “Iya, Bu, maaf.”

            “Memangnya apa yang belum kamu pahami, Caca?”

            “Saya bingung, Bu, kenapa huruf itu dikurangi dan ditambah dengan angka, maksudnya apa? Kenapa seperti itu?”

            HAHAHAHAHA

Caca kaget. Bukannya dapat respon baik, satu kelas menertawai Caca, termasuk si guru. Gadis berambut poni itu terguncang, bukannya tadi dia diminta bertanya apa yang dia bingungkan, kenapa ia malah jadi bahan olok-olokan. Bendungan air matanya hampir saja jebol. Hati Caca ingin berteriak. Di mana salahku?

            “Pertanyaan kamu ini aneh. Pasti cuma alasan karena belum mengerjakan. Ya sudah, kamu berdiri sampai akhir pelajaran.”

            Caca dihukum berdiri di kelas di tengah murid yang lain sendirian. Mungkin sejatinya hanya beberapa jam, tapi bagi Caca sendiri rasanya laksana tersiksa berabad-abad lamanya. Perasaan malu, bersalah, putus asa bercampur dengan pikiran tentang kesehatan kucing kesayangannya di rumah. Caca berusaha tegar karena memang ini kelalaiannya yang tidak menyelesaikan tugas, bukan? Di balik tunduk kepalanya beberapa tetes air mata menitik. Mirisnya, tiada yang peduli.

Jam pembelajaran selesai, setelah satu hari sekolah yang membuat lelah, dengan satu mata pelajaran yang berdurasi satu abad. Para siswa kembali ke rumah masing-masing. Tidak semudah menghilangkan murung dari wajah Caca. Buruk sekali hari ini.

Saat berjalan menyusuri lorong kelas, Caca menemukan sebuah poster lomba di mading. Ketika dilihat, ternyata itu lomba menggambar. Tema yang diangkat adalah cita-cita. Pas sekali. Mendung di perasaan Caca mulai pudar. Dia akan mengikuti lomba itu. Gambar yang tadi malam di sketsa bersama Cici akan diselesaikannya dan dikumpulkan untuk lomba ini. Ingin sekali Caca memperlihatkan hasil karyanya kepada orang tuanya, supaya dia punya sesuatu yang dibanggakan. Seringai akhirnya terbit di wajah Caca.

***

            Sepulang dari sekolah, Caca langsung menyampaikan kabar lomba menggambar itu kepada mamanya dengan antusias. Di dapur si mama sedang mencuci piring.

            “Mama.”

            “Ya?” Mama Caca fokus kepada setiap lingkar piring di hadapannya.

            “Tadi di sekolah ada pengumuman lomba, Ma.”

            “Hm ....”

            Caca masih melanjutkan ceritanya dengan antusias, “Caca mau ikut, Ma, Caca yakin bisa menang.” Mamanya masih mencurahkan segala perhatian kepada piring-piring kesayangannya. Caca masih menyembunyikan satu hal dari pengumuman ini, tapi mau tidak mau Caca harus menyampaikannya. “Ma, izinkan Caca ikut lomba ini ya ....”

            “Lomba apa?”

            “Lomba menggambar, Ma, Caca mau banget ikut, Caca suka banget, Ma. Please. Boleh kan, Ma. Gambar Caca bagus kok, Mama pasti bangga.” Caca memohon semelas mungkin.

            “Tadi bagaimana pelajaran sekolahmu?” tanya mama tanpa menoleh ke Caca.

            “Emm ... tidak terlalu baik, Ma.” Caca menjawab apa adanya, masih berharap semoga mama bisa sedikit mengerti sedihnya.

            “Pelajaran di sekolah saja masih tidak terlalu baik, masa mau ikut lomba. Lomba gambar lagi. Kamu Ganti baju dulu sana!” jawab Mamanya ketus. Tidak ada raut mendukung. Sudah tidak ada kompromi, mamanya tidak mendukung. Entah ada apa di balik kisah orang tuanya, kenapa Caca tidak pernah didukung untuk menyalurkan minatnya di seni rupa, padahal jiwa Caca potensial sekali bahkan di seni-seni yang lain juga. Caca punya jiwa seni. Caca sudah tahu sikap ini dari lama, dia berharap kali ini mungkin ada jawaban lain, karena Caca sendiri punya sesuatu untuk mereka berdua di balik gambarnya kali ini. Sudahlah, daripada sakit hati semakin menghitam, biar matanya saja yang berkaca-kaca. Pupus sudah harapannya. Sekarang Caca meninggalkan mamanya di dapur, menuju satu-satunya pelipur lara.  

            “Hai, Cici.”

            Meong ...

            “Aku sedih sekali. Aku tadi dihukum di kelas, ditertawakan juga. Gara-gara tidak selesaikan PR, kamu besok lagi bangunkan aku ya, jangan tahu-tahu menghilang, Ci.”

            Mmm ...

            “Kamu tahu, kan? Gambarku yang tadi malam itu, bagus, kan? Ya, tapi sama saja. Mama tidak suka. Papa juga nanti akan sama saja. Aku sedih, Ci.”

            Seketika dia melihat sesuatu yang aneh, dan mencium bau tak sedap. Ternyata Cici ‘mengompol’ di kandang. Seharusnya dia buang air kotak pasir. Astaga, kok bisa? Kalau mama tahu bisa kacau!

            Caca sigap membawanya ke kamar mandi secepat mungkin sebelum terendus oleh mama. Dia dan kandangnya harus dibersihkan. Benar, badannya panas, tangan Caca merasakannya. Cici diam saja anteng, tidak banyak memberontak seperti kucing biasanya. Janggal.

Di kamar mandi, Cici dibilas. Ketika diusap-usap bulunya, Caca mendapati hal janggal lain di kaki kanan kucingnya. Ada bengkak. Lupakan masalah lomba gambar yang tidak direstui. Ada yang lebih menyedihkan sekarang.

“Kamu kenapa, Ci? Kamu kok bisa ‘ngompol’ di kandang? Kakimu kenapa? Aduh kamu jangan sampai kenapa-napa, ya. Jangan diulangi lagi ya, nanti kalau ketahuan pasti mama marah besar.” Mata Caca tadi hanya berkaca-kaca, sekarang turun hujan dari sana. “Kalau kamu kenapa-napa aku punya siapa lagi, Ci?” Dengan penuh kasih Caca memandikan kucing kesayangannya, yang juga saudara dan karibnya.

Kepala Cici mendongak menatap ‘sahabat’-nya, sorot matanya ikut menyiratkan kesedihan. Tapi dia hanya bisa menyimak dan menuruti Caca sambil mengeong. Meong Meong Meong.

Usai membereskan si kucing, Caca segera mengurus kandang. Dia bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan Cici. Niat hati meminta mama untuk membawa Cici ke dokter hewan, tapi dia baru saja menerima sikap tidak mengenakan dari ibunya. Sedih apa lagi yang akan datang setelah ini pada Caca?

Hitam yang dari menggumpal di hati Caca kini bermanifestasi menjadi malam yang menelan cahaya mentari. Papa pulang, makan malam kelurga digelar. Di meja makan, yang disantap bukan hanya hidangan masakan mama, obrolan-obrolan juga dilahap keluarga kecil beranggotakan tiga orang itu (Berempat dalam hitungan Caca dengan tambahan Cici sebagai saudaranya).

“Caca bagaimana sekolahnya?”

“Hmm ... baik, Pa.”

            “Papa, teman-temanku hampir semuanya sudah punya HP. Kemarin kan Papa pernah bilang mau belikan aku, Pa. Teman-teman semuanya sekarang membahas internet, kalau tidak dari HP dari warnet.”

“Kamu gak boleh ke warnet! Nanti gak fokus belajar!”

Caca mendengus, itu sudah pasti dia sudah tahu dia tidak boleh main ke warnet. “Terus HP-nya bagaimana, Pa?”

“Nanti gampang, Papa dulu gak perlu itu buat belajar, toh bisa saja.”

Caca terdiam.

“Kamu sebentar lagi ujian, kan? Bagaimana persiapan? Sudah menguasai semua, kan? Awas saja kalau nilainya jelek,” lanjut kepala keluarga itu.

“Iya, Pa.”

“Tadi katanya di sekolah Kamu ada masalah? Itu kenapa?” Tiba-tiba mama masuk ke obrolan dan membahas urusan sekolah Caca tadi pagi.

Caca tertegun. Hati kecil meronta dan tidak bisa berbohong. Hah? Perasaan tadi pagi aku hanya bilang ‘tidak terlalu baik’, siapa juga yang bilang ada masalah? Kenapa juga sih harus di depan Papa!

“Oh, ya? Kenapa, Ca?” Papanya ikut penasaran.

Caca mau tidak mau menjawab seaman mungkin, “Ini, Pa, Ee ... Caca tidak terlalu paham matematika, jadi Caca tidak bisa mengerjakan soal dari Bu Tuti tadi. Kenapa sih ada huruf yang ditambah sama dikurangi sama angka? Itu maksudnya seperti apa?”

“Matematika SMP itu masih mudah, Ca, masa Kamu begitu saja tidak bisa. Makanya, belajar yang rajin. Siapa anaknya Pak Akram itu, Ma?”

“Karim.”

“Nah, itu lihat dia, pintar sekali sering juara sejak SD, kamu tahu dia, kan?”

“Iya, Pa.” Caca tertunduk. Dia tidak sabar makan malam ini selesai, supaya bisa langsung bermain-main dengan Cici. Oh, iya Cici! dia harus bilang sesuatu.

 Piring-piring penuh ayam goreng dan tempe bacem yang dilengkapi oleh sambal perlahan tandas. Terlihat lezat, tapi pikiran dan perasaan Caca tidak bisa mengecap semua nikmat itu. Dari tadi dia memikirkan bagaimana dia meminta orang tuanya untuk membawa kucing kesayangannya yang sedang sakit ke dokter hewan. Setelah semua yang dia lewati, dia punya jutaan alasan untuk ketakutan meminta ini. Namun, kali ini demi cintanya kepada Cici, Caca harus bersuara.

“Pa, Ma ..., Cici sakit. Badannya panas, sepertinya kakinya bengkak.”

Papanya merespon, “Nanti juga sembuh sendiri, biasa itu.”

“Minta tolong temani Caca bawa Cici ke dokter hewan, Pa, Ma.” Akhirnya permintaan itu terucap.

“Kucing-kucing terus, kucing terus, pikirkanmu itu kucing saja. Jangan-jangan malah gara-gara dia kamu jadi tidak rajin belajar,” ucap mama. Menyesakkan sekali.

“Ma, sekali ini saja. Kasihan Cici, Ma. Justru, Caca tidak bisa belajar karena ingat terus kalau Cici. Ayo, Ma. Caca mohon.” Semakin memelas wajah Caca. Dia bersikukuh, walau sudah tahu bagaimana kedua orang tua akan meresponnya.

Papa dan mamanya menyimak rengekan anaknya. Mereka masih sibuk mengunyah, sambil berpikir dan saling tatap.

“Nanti Caca takut tidak fokus ujian kalau Cici masih sakit, Pa, Ma.” Sekali lagi Caca memohon dilengkapi dengan gesture tangannya.

Papa menarik napas panjang. “Baiklah. Nanti kalau libur sekolah kita ke dokter hewan. Syaratnya, nilai ujian nanti harus bagus! Kalau tidak kamu harus ikut les tambahan!”

Keajaiban apa ini? Permintaanku diterima. Caca menangguk.

Setelah makan malam keluarga bubar, Caca mendekat ke Cici, menyampaikan kabar tadi dengan antusias, “Hai, Cici, ada kabar baik buat kamu, papa setuju lho bawa kamu ke dokter. Wah, akhirnya ya .... Tenang kamu pasti sembuh.” Tangan mungil Caca meraih kepala Cici dengan mengelus bulu-bulunya.

Meong ...

***

            Libur akhir pekan datang. Pagi-pagi sekali mereka bersiap-siap. Seperti janji yang telah terucap, keluarga kecil itu berangkat ke dokter; papa, mama, anak kandung mereka Caca, untuk mengobati saudara tirinya yang tak teranggap: Cici si kucing oren.

            Caca membayangkan seperti apa rupanya klinik hewan itu. Biasanya Caca bisa melihat banyak pasien duduk untuk mengantre pemeriksaan, pembayaran, juga pengambilan obat kalau di rumah sakit, puskesmas, atau klinik. Sekarang seperti apa? Imajinasinya melayang membayangkan bahwa antrean di klinik hewan mungkin tidak jauh berbeda, hanya pasiennya saja yang tidak sama.

            Klinik terlihat. Tergantung di pintunya tulisan ‘buka’. Kaca bening hampir meliputi seluruh dinding, menyisakan sedikit bagian dengan cat biru. Papa yang pertama kali masuk disusul Caca yang menjinjing kandang kucing dan mama di belakangnya. Ternyata klinik itu sepi, tidak ada antrean seperti yang dibayangkan Caca. Mungkin ‘pasien-pasien’ milik klinik ini memang jarang dan tidak sebanyak pasien-pasien rumah sakit umum.

            “Silakan, ada yang bisa kami bantu?” Seorang resepsionis menyambut.

            Papa langsung meminta Caca menjelaskan. Gadis kecil berambut poni menunjukkan kucing malang yang sedang merana di kandang. “Cicinya sakit, harus diobati ....”

            “Wah, sakit ya .... Kalau begitu, langsung dibawa masuk saja, Dek, ke ruang dokter.” Resepsionis itu mengantarkan Caca dan keluarga. “Mari kesini.”

            Ada beberapa ruangan berjejer. Ruang konsultasi, ruang operasi, ruangan apotek grooming, ruangan hotel dan rawat inap ‘pasien’ – berupa kandang-kandang steril, ruang gawat darurat, sampai laboratorium.  Resepsionis mengarahkan Caca dan keluarga ke ruang konsultasi. Ruangan itu seluas 5x6 meter. Isi perabotan di dalamnya tidak jauh berbeda dengan ruang perawatan pasien ‘manusia’. Meja dokter penuh dengan kertas-kertas catatan, lemari obat-obat dan meja periksa telah menunggu mereka.

            “Mari duduk,” ucap seorang laki-laki muda berkaca mata. Tidak salah lagi, dia adalah dokter di sini. Pakaian dan masker yang ia kenakan mempertegas identitasnya. Caca langsung menyerahkan kandang kucing kesayangannya. “Wah, lucu sekali kucingnya, siapa namanya?” lanjut si dokter.

            “Cici.”

            “Kenapa kucingnya?”

            Caca menelan ludah, “Badannya panas, Dok, terus dia tidak bisa jalan ke mana-mana, sepertinya kakinya bengkak. Setiap hari Cici diam terus, padahal biasanya suka lari-lari, suka mainan sama aku, Dok.”

            “Ayo dibawa kucingnya.” Setelah menulis satu dua hal, sang dokter beranjak dari mejanya menuju meja periksa.

Caca ikut sambil membawa Cici ke arah dokter. Ditaruhnya ‘rumah’ kucing itu, sang dokter mengenakan sarung tangan dan pelan-pelan mengeluarkan Cici. Papa dan mama menetap di depan meja dokter sambil terlihat mengobrolkan satu dua hal.

Kucing oren itu diam saja, tidak banyak bergerak, seperti memang sudah tidak punya semangat hidup. Mengeong lemas satu dua kali, membiarkan tangan dokter mengecek sekujur tubuhnya. Matanya, mulutnya, tubuhnya, sampai kakinya. Mata dokter jeli mengecek kaki Cici dengan jeli. Di tengah proses pemeriksaan itu, Caca mengingat momen pertama kali dia bertemu dengan Cici.

Delapan tahun sudah berlalu. Tubuh mungil Caca basah terkena satu-dua ciprat hujan saat itu. Mama awalnya mengajak Caca berbelanja keperluan ke pasar. Sayang hujan turun deras dan mengharuskan mereka menepi ke sebuah latar toko. Seiring dengan suara melodi pertemuan hujan dan tanah, Caca seperti mendengar suara yang lain di tengah gemercik rintik. Caca umur lima tahun tahun menoleh ke sana ke mari mencari-cari suara yang terdengar seperti cicitan itu. Beberapa menit berlalu, hujan reda, suara hujan pudar, suara cicitan itu semakin jelas. Caca mencari suara itu, seperti ada dorongan di dadanya, ada rasa penasaran di kepalanya. Seperti suara tikus, tapi berbeda.

Suara itu semakin jelas. Caca menghiraukan mamanya yang menahannya dan menyuruhnya jangan pergi sendiri. Entah kenapa dia penasaran sekali dengan suara itu. Sumber suara ditemukan di sebuah sudut pasar yang tidak jauh dari tempatnya. Tergeletak di hadapannya sebuah kardus lusuh yang kalah oleh basah, termakan tetesan hujan. Tidak salah lagi dari dalam situlah suara berasal.

            Caca takut, tapi rasa penasarannya mengalahkan semua takut. Dia jongkok untuk memastikan, dibukanya kardus tadi. Ternyata ada seekor kucing kecil yang basah kuyup dan merintih-rintih, badannya masih terlalu kecil, suaranya belum sempurna layaknya kucing pada umumnya, dia mencicit. Pupil mata Caca membesar. Dibuatnya jatuh cinta oleh anak kucing itu. Sigap, tangan mungil perempuan  kecul langsung meraih tubuh kecil kucing itu. Rasa empati dalam dirinya tumbuh alami – memang seharusnya selalu seperti itu.

            “HEH, APA ITU? JANGAN DIPEGANG!” teriak mama Caca dari arah belakangnya.

            Caca terkaget, tapi dia sudah terlanjur jatuh hati ke kucing di hadapannya. Caca memohon kepada mamanya untuk boleh membawa pulang kucing itu, walaupun pasti jawabannya tidak boleh. Mamanya membentak-bentak melarang. Berkali-kali Caca memohon, ditambah rengekan, aksi mogok pulang, dan antraksi reog. Setelah negosiasi panjang, mamanya akhirnya mengiyakan tidak mau lagi menggelar panggung drama berkepanjangan. Akhirnya kucing itu dibawa pulang.

            Lihatlah kucing kecil ini, bagi Caca dia tidak lain adalah dirinya. Sama-sama kecil, sama-sama basah, dan sama-sama kesepian. Hangat rasa hati Caca saat membawanya di tangan, walau aslinya badan mereka berdua sedang basah. Akhirnya, dia punya teman, dia punya saudara yang bisa dia sayangi – hal yang tidak dipunyai Caca selama ini. Karena suara cicitannya, Caca memutuskan untuk menyematkan nama pada kucing ini, nama yang tidak jauh dari namanya sendiri. Saudara baru ini diberinya nama: Cici.

Lihatlah kucing kesayangan ini, bagi Caca dia adalah segalanya. Caca besar bersama Cici. Dari sejak badan mereka berdua masih kecil, sampai tumbuh besar. Dulu Cici sangat pecicilan. Bisa menjadi teman bermain Caca. Seiring bertambah umur, seiring bertambah berat suara ngeong­-nya, Cici mulai menjadi pendiam, tidak segesit sebelumnya.

Lihatlah kucing yang sudah tidak kecil ini, kini terbaring sakit di atas meja periksa. Lumpuh kakinya sampai untuk pergi membuang hajat saja tidak bisa. Badannya panas, matanya lemas. Caca yang menyaksikannya dirundung khawatir atas banyak kemungkinan. Dia sudah cukup besar untuk membaca kemungkinan terburuk. Memang berapa panjang umur kucing?

“Kamu pasti sembuh, kan, Ci?” Caca menyuratkan suara kasihnya kepada Cici ketika dia masih terbaring diperiksa. “Ayo, kamu bisa sembuh, kita nanti main bareng-bareng lagi. Kalau kamu kenapa-napa aku main sama siapa, Ci?”

Meong .... Cici menjawab, matanya melirik ke Caca. Tidak ada yang pernah tahu apakah itu benar-benar jawaban untuk Caca, atau itu hanya suara alami saja. Tapi setiap kali mendengar itu, Caca merasa punya teman, dan kali ini kaca-kaca bening kembali muncul di matanya.

“Cici-nya sakit sejak kapan?” tanya dokter kepada Caca.

“Satu minggu yang lalu, dok. Badannya panas, dan juga ... tidak bisa jalan.” Mata Caca semakin berair. “Cici baik-baik saja kan, dok? Pasti bisa sembuh?”

“Iya, semoga ya.”

Pemeriksaan selesai. Dokter memasukkan kembali Cici ke ‘mahligai’-nya. Mengajak Caca kembali ke meja dokter untuk menyampaikan hasil. Di hadapan kedua orang tua Caca dan Cici, dokter menjelaskan banyak hal. Caca berusaha serius memahami, walau banyak yang tidak paham. Mungkin orang dewasa sengaja menggunakan bahasa yang tinggi supaya tidak dipahami anak kecil.

“Dok, kucing anak saya ini kan seperti penjelasan dokter barusan lumayan sulit pengobatannya. Sudah lumayan parah. Pastinya juga tersiksa kalau terus-terusan seperti ini. Mungkin untuk meringankan, dan menyudahi rasa sakit kucingnya, walau mahal dan berat tapi bagaimana dengan eutanasia?” papar Papa Caca.

Dokter termangu. Beberapa detik senyap. “Untuk itu ....”

“Kami tidak masalah kalau harus membayar mahal, mungkin ini jalan keluar supaya si kucing tidak terus-terusan tersiksa, bukan?”

“Bisa dipikirkan lagi, Pak, kita lihat juga perkembangannya bagaimana nanti. Untuk sekarang saya berikan obat dulu saja, semoga ada dampak baik.” Dokter memberikan resep obat untuk diambil di apotek.

“Kalau semakin parah atau kenapa-napa, dokter bisa kami minta datang ke rumah, kan?” Sekarang mama yang bertanya.

 “Kalau mendesak bisa, Bu. Ini nomor saya.” Dokter menyerahkan kartu namanya.

Caca berbinar-binar, belum pernah dia melihat papa dan mamanya sepeduli itu pada kucingnya. Dia senang sekali. Bisa sedikit meringankan rasa khawatirnya pada Cici. Caca lega dan tersenyum tipis. Tapi satu yang dia bingung, kenapa orang dewasa ini selalu menggunakan bahasa yang asing, atau mungkin supaya tidak dipahami anak kecil. Eutanasia itu apa? Pengobatan seperti apa? Ah, apapun itu, semoga Cici bisa sembuh.

***

Untaian jam menenun hari, dan lembaran-lembaran hari menyatu menjelma pekan-pekan. Waktu ujian datang. Meski Cici belum pulih dan hampir terlihat tidak ada perkembangan, tapi janji Caca untuk mendapatkan nilai bagus harus dia penuhi. Caca harus memenuhi ekspektasi orang tuanya. Setiap hari dia harus berperang dengan rasa malasnya, kekhawatirannya, dan semua pikirannya untuk fokus belajar. Lumayan memusingkan.

Hiburan Caca di masa-masa ini ada dua; pertama menggambar coretan lamanya, walau dia tidak jadi ikut lomba dia masih tetap mau menyelesaikan gambar itu dan menunjukkannya ke orang tua; kedua bermain dengan cici, apalagi? Walau Cici cuma bisa tiduran di kandang, tapi cukup mendengar ngeong-nya saja Caca bisa terhibur. Setiap hari Caca tidak pernah lupa untuk memberikan Cici obat melalui larutan minum. Dia telaten mengurus Cici yang tidak bisa berjalan, dari makan, minum, tidak luput buang air. Waktu berjalan, dan Caca tidak mendapati ada perkembangan di kesehatan cici, sedih memang, tapi dia bisa apa selain memberi obat dan mengayomi. Ya, dia berusaha tenang dan santai, karena kalaupun Cici tidak kunjung sembuh dengan obat biasa, masih ada cara ampuh yang disampaikan papanya untuk menyembuhkan kucing kesayangannya itu, yaitu eutanasia, entah apapun itu artinya.

Pekan dan pekan pun merajut bulan. Setelah timbul tenggelam Caca dalam pertempuran, ujian sekolah berlalu. Hari ini adalah hari yang menegangkan. Hari yang pasti akan datang juga. Caca duduk di kelas dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang, wali kelasnya akan mengumumkan hasil ujian yang lalu. Bagaimana ya hasil nilaiku?

Satu persatu siswa dipanggil. Urutan pemanggilan diatur oleh wali kelas sesuai ranking. Siswa-siswa yang paling unggul maju lebih awal. Caca tidak berharap banyak, tidak harus ranking, yang penting nilainya tidak jelek, sudah cukup. Satu, dua, tiga. Teman sekelasnya berlalu lintas di sekitarnya. Maju mengambil rapor nilai, dan kembali ke bangku. Namanya tidak juga disebut. Pikirannya pun mendung. Di tengah-tengah, Caca masih menunggu dengan hati yang macet. Buruk sekali, sudah hampir satu kelas sudah dipanggil, hingga akhirnya dia harus menerima kenyataan kalau nilainya paling rendah di kelas. Nilainya sangat rendah membuat rata-rata kelasnya turun. Dia yang terakhir maju ke depan kelas, bayangkan saja seberapa intimidatif sorot mata semua orang yang ada di kelas saat dia maju.

Kelas bubar, waktunya semua kembali. Dengan kepala tertunduk dia melangkah keluar kelas. Tidak sabar dia ingin pulang bertemu Cici, atau tidur sajalah di rumah, apapun asal tidak menyedihkan. Meski dia tahu yang akan menyambutnya adalah amarah dari orang tuanya. Suasana semesta tidak senada dengan perasaanya, siang itu hari cerah, tapi sanubari Caca gelap gulita karena badai. Di tengah badai itu, bencana puting beliung datang menambah kekacauan.

“Padahal pelajarannya masih mudah, nilainya rendah banget sih. Buat nilai kelas turun saja. Dasar pemalas!” Seseorang mengumpatnya dari belakang. Terdengar satu dua gunjingan menyusul menancapkan sembilu ke hatinya. Getar dada Caca mengirimkan duka ke matanya. Ditahannya deras air mata, dia tidak sanggup menoleh ke belakang. Dia langsung melangkah pulang ke tempat yang mungin tidak bisa disebut rumah. Apa ada lagi yang lebih buruk dari ini? Semoga ini yang terakhir.

Caca tidak mungkin menutupi semua ini. Pasti mama dan papanya bagaimana pun akan tahu. Caca harus menerima konsekuensi dari ‘rasa malas’-nya, dia harus ikut les tambahan. Setidaknya di rumah masih ada satu pelipur lara untuknya, semoga begitu. Sesampainya di rumah, mama pasti akan marah-marah, Caca sudah siap mendengarkan. Itu sebuah keniscayaan. Benar saja, baru beberapa langkah masuk rumah, belum juga Caca mengabari kabar buruknya dari sekolah, mama sudah berteriak dengan nada emosi, “CACA!!! KUCINGMU!!!”

Caca berlari sekencang mungkin ke arah suara mamanya, pikiran buruk menghantuinya. Ternyata Cici ...

“Pokoknya kamu bersihkan kucingmu itu sama kandangnya! Mama tidak mau bersihkan, menjijikkan. Kalau sampai begitu lagi awas saja ya!”

Caca hanya bisa terpatung. Ekspresi seperti apa memangnya yang bisa dia ungkapkan setelah semua ini. Setelah mama pergi, Caca mendekat ke kucingnya. Mereka saling tatap. Sudah kubilang jangan diulangi, Ci, nanti takut ketahuan mama, kan? Melalui tatapannya Cici ingin mengungkapkan iba, dia seperti ingin minta maaf sedalam-dalamnya. Tapi seperti biasa, Cici hanya bisa mengeong. Meong ....

***

            Normalnya setelah ujian para siswa akan menikmati liburan, tapi tidak dengan Caca; dia justru harus mengenyam les tambahan. Hukuman dari papa dan mama tidak bisa diganggu gugat. Setelah tahu hasil ujian Caca, papa dan mamanya menceramahi anak semata wayangnya itu dengan nada tinggi. Masih saja Caca berusaha tegar walau babak belur hatinya. Memang aku harus kuat untuk bisa membanggakan orang tua!

            Dari siang menuju sore, les-les itu diikutinya dengan rajin. Mengusir semua awan hitam yang menghampiri pikiran dan perasaannya. Rasa khawatir akan Cici yang tidak kunjung sembuh adalah yang paling mengganggu, ditambah ada rasa takut kalau saat ditinggal kucing kesayangannya itu akan mengulangi ‘kesalahannya’ dan ketahuan mama. Semua rundungan dunia ini berat sekali bagi Caca.

Memang kegiatan les ini menyibukannya di waktu liburan, tapi tetap saja waktu-waktu berjalan dengan lebih longgar. Dia jadi sering keluar rumah. Gelisah akan Cici ingin diselesaikannya. Dia akhirnya memutuskan, seusai les dia akan mencari tahu apa itu ‘eutanasia’. Hari-hari liburan tidak masalah bukan kalau pergi ke warnet.

Warung internet, sebuah tempat yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat umum yang belum punya akses sendiri ke internet. Penggunaan komputer yang ada di bilik-bilik warnet sebenarnya banyak peruntukkannya; untuk browsing, untuk menonton video, untuk membaca artikel; tapi anak-anak seumuran Caca yang ke sini lebih sering menyerahkan uangnya untuk bermain game. Itulah kenapa tidak mungkin Caca diperbolehkan main ke tempat ini, haram sekali oleh orang tuanya. Rasa penasaran Caca kuat mendorongnya, tidak masalah kalau uang sakunya harus terpakai untuk ini.  Eutanasia itu apa sih?

            Ini kali pertama Caca ke warnet, setelah melewati beberapa momen canggung dan bingung, Caca sekarang sudah duduk di depan komputer. Dia mencoba-coba banyak cara, hingga akhirnya dia menemukan mesin pencarian. Dengan ‘sebelas jari’ dimasukkannya kata kunci itu huruf demi huruf. Eutanasia. Mesin pencarian di layar memberikan jawaban.

            Bayangkan saja bagaimana reaksi Caca. Kebenaran ini membuatnya meledak tapi membeku di wakttu yang samanya, gemetar jemarinya, matanya terbelalak tidak percaya, dan saat itu tidak ada yang bisa menahan deras air matanya. Sayatan-sayatan di hatinya semakin menganga. Dia memilih bangun dan segera pulang. Ternyata papa dan mama setega itu! Ternyata mereka sekejam itu! Terny ...

            Kali ini semesta mau senada dengan perasaannya. Langit sedang murung, desau maruta hinggap dari telinga ke telinga, kicau guruh menjelmakan atmosfer seperti akan runtuh. Biar saja langit runtuh, bintang-bintang berguguran, bulan remuk, bahkan matahari sampai layu sekalipun Caca tidak peduli. Caca bergegas pulang dan di pikirannya hanya satu. Dia berlari-larian sambil membiarkan angin mengusap air matanya. Saat ini benak Caca ramai oleh gambaran-gambaran buruk bahwa dia akan kehilangan satu-satunya teman dalam hidupnya. Gerimis mulai ikut menangis.

            Beberapa gang lagi dia sampai di rumah. Sampai dia berpapasan dengan seorang lelaki dewasa berkacamata sedang berjalan di bawah lindungan payung. Sosok yang tidak asing.

            “Dokter?”

            “Eh ... Dek Caca, ya?”

            Dengan napas yang menderu dan mata merah berkaca-kaca, walau suaranya tertahan, Caca memaksakan diri untuk bertanya, “Dokter dari rumahku?”

            Dokter itu menjawab dengan gugup, “I ... yyaa ....” Aneh sekali seorang dewasa dibuat gugup oleh anak kecil bukan?

            “Dokter dipanggil orang tuaku? Kenapa? Mengobati Cici? Bagaimana? Apa ada perkembangan, Dok?” Pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal itu akhirnya keluar, tidak ada lagi mulut tersumpal.

            “Memangnya kamu tidak diberi tahu apa-apa?” Raut cemas tidak bisa ditutupi oleh wajah dokter hewan berkacamata itu. Mendengar itu Caca langsung tahu apa yang terjadi. Tidak dihiraukannya sang dokter, dia langsung berlari sejadi-jadinya. Sang dokter ikut bingung, dia hanya melaksanakan permintaan, dan menerima bayaran.

            Hujan turun deras, Caca sampai di rumah dengan keadaan basah kuyup. Tidak peduli lagi peraturan rumah masalah baju basah atau apalah, dia langsung masuk dengan krakatau yang meledak di dadanya, dengan lahar merapi yang mendidih di kepalanya. Segera melangkah ke tempat Cici, di sana ada mama yang sedang membereskan kandang dengan kain pel.

            “Kok, kamu basah kuyup begitu langsung masuk rumah, lihat lantainya jadi basah!” Sambutan hangat dari mama.

            “Mama, Cici mana?”

            “Ganti baju dulu sana!

            “Cici ... Cici ... Cici ...!” Caca memanggil-manggil sosok yang entah masih hidup atau tidak. Mengais-ngais setetes harapan di tengah samudera kemungkinan.

            “Kamu kok gak mau dengerin Mama, Ya?”

            “Cici di mana, Ma?” Caca abai pada permintaan mamanya, pun mamanya seperti tidak mau menjelaskan dan mepedulikan kalut hati anaknya. Meledaklah, meledak semua yang tertahan selama ini. “MAMA, CICI DI MANA?!”

            “KOK KAMU BERANI BENTAK MAMA!”

            Di tengah drama ini, papa masuk rumah dari pintu belakang. Celana papa dilipat, sandalnya dipenuhi tanah dan air yang menjelma lumpur, dan cangkul kecil digenggam oleh tangannya. Terjawab sudah, terjawab sudah semuanya. Air mata Caca berlinang-linang.

            “Papa dari mana? Habis mencangkul tanah untuk apa, Pa?”

            “Papa jelasin ya, kamu harus paham. Jadi ....”

            “KEJAM! PEMBUNUH!!!” Tepat di akhir teriakan itu Caca berlari sekencang mungkin ke arah kebun belakang rumah tempat papanya datang.

            Hujan semakin deras. Caca mengelilingi kebun, dengan terisak memanggil-manggil Cici, walau tahu panggilan itu tidak akan dibalas oleh ngeong-nya. Caca merintih saat hujan merintik. “Cici ... Cici ... Ci ... Ci ....”

            Di dekat salah satu pohon, akhirnya ditemukan sebuah gundukan tanah baru yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Tidak salah lagi. Tidak salah lagi. Caca langsung mendekat dan tersimpuh di atas tanah basah. Persetan dengan noda di bajunya, persetan dengan basah isi tasnya. Caca menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Hujan kesulitan menandingi deras air mata Caca, guntur kesusahan menandingi pekik teriakannya. Semuanya seperti bersahut-sahutan, sampai sulit membedakan mana yang linang air mata, mana yang tetesan hujan; entah mana yang jeritan mana yang petir. Bahkan besok jika hari kembali cerah, matahari mungkin tidak terbit lagi di gelap hati Caca. Dia ambil secarik kertas dari tasnya. Adalah kertas dengan gambar orang tuanya bersama dia di tengah mereka menggunakan pakaian dokter. Gambar itu seharusnya penuh warna, tapi sedih yang melangit menjadikannya kini luntur, kini lusuh. Gambar yang dia usahakan dengan kerja keras itu kini dia sobek-sobek hingga menjadi sama seperti hatinya.

            Diusap-usapnya tanah menggunduk itu. Dengan telapak tangannya, dengan pipinya, dengan dahinya. Di setiap tetesan hujan yang mengenai kulitnya, muncul kilasan-kilasan adegan bersama antara mereka berdua. Saat bermain, saat berlari-larian, saat hanya duduk saling menemani, mengobrol dengan dua bahasa yang tidak saling dimengerti, tapi mereka saling memahami lewat sorotan mata. Kilasan-kilasan momen bersama dari kecil bersama, saat Caca masih belum sekolah, saat Cici masih sangat kecil dan mencicit. Sekarang semuanya hanya bayang-bayang fana. Mereka bahkan tidak sempat berpamitan. Hujan menjadi saksi atas pertemuan dan perpisahan mereka.

            Caca mulai bergumam, dengan tersengal-sengal dia berdialog dengan tanah, dia mengobrol dengan yang sudah mati, “Cici ... aku senang kok, tapi aku juga sedih. Aku senang, kan kamu sudah tidak sakit lagi, kamu tidak tersiksa lagi, kamu tidak harus disalah-salahkan mama lagi. Kamu masih hidup kok, cuma tubuh kamu saja yang sudah ... mati, tapi tenang kamu buatku akan selalu di hati.

“Aku sedih, aku selalu kesepian dan tidak punya teman, Ci. Aku harus bagaimana? Kalau sedih, putus asa, kecewa, sakit hati aku besok harus ke siapa? Cici, kamu tahu? Yang sebenarnya dibunuh itu aku. Bahkan dengan cara yang lebih kejam. Jantungku memang masih berdetak, nadiku masih berdenyut, darahku masih mengalir, tubuhku sepenuhnya masih hidup, tapi oleh semua yang terjadi, setiap asa di jiwakulah yang telah sempurna disuntik mati[1].”



[1] Suntik mati: eutanasia

Posting Komentar

1 Komentar