“Duaarrr”
Suara
bom kembali terdengar, serangan itu membuat bangunan-bangunan retak, roboh, dan
runtuh tak lagi berdiri kokoh, jalanan rusak tak lagi berbentuk, puing-puing
berjatuhan hingga menewaskan banyak orang. Setiap hari banyak korban
berjatuhan, Tak ada waktu untuk membangun bangunan itu kembali, tak ada rumah
sakit untuk mengobati, hanya tenda-tenda yang mampu mereka bangun lagi.
Kini
suara bom tak asing lagi terdengar di telinga para relawan, jurnalis, serta
wartawan asing yang bertugas di sana. Melihat orang-orang yang terluka,
berdarah-darah, bahkan meninggal sudah menjadi asupan mata setiap harinya. Alfiya,
seorang relawan dan jurnalis yang ditugaskan di negeri palestina. Ia bukanlah
lulusan di bidang komunikasi, namun karena, memiliki skill komunikasi yang baik
ia akhirnya lolos menjadi jurnalis disana.
Dulu
ia sosok yang pendiam dan bercita-cita ingin menjadi jurnalis yang dapat
mengabarkan suatu peristiwa baik secara langsung live ataupun tulisan. Setelah
ia mengetahui bahwa jurnalis harus pandai dalam berkomunikasi ia berubah
sedikit demi sedikit untuk menutupi sifat pendiamnya. Sifat pendiam yang
dimilikinya tak lain dan tak bukan adalah karena faktor lingkungan sekitar,
khususnya yang ada di keluarga.
Ia
anak tunggal, besar dengan didikan yang keras dan kurangnya kasih sayang dari
kedua orang tuanya. Hidup dalam tekanan dan juga paksaan membuat ia menjadi
pribadi yang sangat tertutup, tidak percaya diri, susah berkomunikasi, dan
sulit mengendalikan diri. Sedari kecil ia memang sangat pendiam, namun, ketika
beranjak dewasa ia mulai belajar menerima diri dan terus mengasah kemampuan
yang tidak dimilikinya dan bertekad kelak suatu saat nanti ia harus mendidik
anak dengan parenting yang berlandaskan dasar Al-Qur’an juga Sunnah
serta penuh kasih sayang.
Cita-citanya
membawa Alfiya terbang ke palestina setelah 3 tahun bekerja sebagai jurnalis di
salah satu perusahaan yang berada di ibu kota. Karena etos kerjanya baik, ia
dan 19
rekan lainnya ditugaskan untuk terbang ke Palestina. Menjadi relawan sekaligus
jurnalis disana, untuk mengabarkan dunia bahwa Palestina sedang tidak baik-baik
saja.
Mereka
berangkat bersama dengan bus dari kantor menuju bandara Soekarno-Hatta,
sesampainya di bandara mereka berdoa bersama dan berpamitan dengan teman
kantor, saudara, dan juga keluarga. Akan tetapi berbeda dengan Alfiya, ketika
yang lain sibuk saling berpamitan dengan keluarganya masing-masing Alfiya hanya
terduduk sambil memegang dan memainkan handphonenya. Ia sudah terbiasa melewati
banyak pengalaman penting tanpa kehadiran ibu dan ayahnya.
Ketika
sedang fokus dengan hpnya, tiba-tiba ia merasakan kehadiran dua orang yang
tidak asing baginya. Ia mendengar ada suara yang memanggilnya, “Fiya…”, ia tidak
menyangka ibu dan ayahnya akan datang ke bandara, Alfiya yang melihat keduannya
langsung berdiri kemudian segera menjulurkan dan mengambil tangan ibu dan
ayahnya secara bergantian untuk berpamitan.
“Ibu,
ayah aku pamit, mohon doannya moga aku bisa kembali lagi nanti”.
“Fiya,
apa maksudmu itu?! kenapa kamu tidak memberi tahu ibu dan ayah bahwa kamu akan
pergi ke Palestina?! Untung saja pihak kantor memberi tahu ibu bahwa kamu
terpilih untuk bertugas disana, kenapa kamu tak memberi kabar kepada kami?”,
tanya ibu penasaran.
“Ibu,
ayah bagaimana mungkin bisa aku memberi kabar kepada kalian, sedangkan sedari
kecil saja aku selalu ingin bercerita banyak hal, namun kalian tak pernah
mendengarkan, kalian selalu berbicara banyak hal padaku, menuntutku untuk
selalu jadi yang kalian mau, namun kalian tak pernah memberikanku kesempatan
untuk menjadi apa yang aku mau”.
Ibu
dan ayah yang mendengarnya seketika langsung terlihat memasang wajah kecewanya,
ayah meletakkan tangan di wajahnya untuk
menutupi air mata yang terbendung semenjak Alfiya memberi alasan ia tidak
mengabari keduannya, ibu yang tidak bisa menahan tangisnya langsung memeluk Alfiya
dan meminta maaf atas perbuatannya di masa lalu.
“Fiya,
maafkan ibu ya nak, ibu dan ayah terlalu keras menuntut dirimu untuk menjadi
apa yang kita mau, ibu harap kamu memaafkan kami. Ibu melakukan itu tak lain
sebenarnya ingin agar kamu menjadi anak yang hebat. Tapi mungkin cara kami
kurang tepat. Kami terlalu berlebihan, sehingga membuatmu tertekan.”
Sedikit
demi sedikit dengan lembut Alfiya melepaskan pelukan ibunya, kemudian mengambil
dan memegang tangan ibu dan ayahnya.
“Ibu,
ayah aku sudah memaafkan kalian. Tapi sulit bagiku untuk selalu berkabar
kedepannya. Aku butuh sedikit waktu untuk ini, dan mungkin ketika aku sudah
sampai di Palestina aku tidak tahu apakah jaringan koneksi disana baik-baik
saja atau tidak, jika memang baik aku akan berusaha untuk mengabari kalian,
pesanku sebelum aku pergi tolong doakan aku selalu ya, ibu ayah”.
“Iya,
Fiya kami akan selalu mendoakanmu, jaga diri baik-baik disana, ya”.
Ayah
dan Ibu memeluk Alfiya secara bersamaan, Alfiya merasakan sebuah kenyamanan dan
kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia pun membatin dalam
hatinya, “Akhirnya aku merasakan pelukan kalian berdua, rasanya aku tak ingin
untuk melepaskannya, aku ingin terus berada dalam posisi ini ya Allah, aku
sangat menyayangi kalian”.
“Ayah
dan ibu, sangat bangga padamu, nak,” kata ayah sambil meletakkan tangannya di
atas kepala Alfiya.
Tak
lama setelah saling berpelukan Alfiya bergabung dengan rekan-rekannya menuju
tempat pesawat yang mereka gunakan. Mereka terbang pada musim dingin tepatnya
di bulan Desember, baginya pergi di bulan desember adalah waktu yang tepat
karena desember adalah bulan terakhir sebelum menyambut tahun baru. Dengan
banyak harapan moga ia bisa berkontribusi menyalurkan bantuan warga Indonesia
kepada penduduk Palestina.
Sesampainya
mereka di Palestina, mereka disambut dengan hangat oleh para penduduk. Mereka
diberikan pengarahan oleh para relawan dan jurnalis senior disana, mengenai apa
saja tugas masing-masing dari mereka. Setelah diberikan arahan dan tugasnya
masing-masing mereka pun memulai untuk melaksanakannya.
Di
malam hari, seperti biasa sebelum beristirahat, Alfiya berkeliling tenda
memastikan para pengungsi baik-baik saja. Hingga sampai di satu titik, nampak
dari kejauhan ia melihat seorang gadis yang sedang duduk sambil menangis, posisinya
membelakangi Alfiya di samping salah satu tenda yang letaknya tidak jauh darinya.
Seketika ia ingin sekali mendekatinya, tapi belum sempat didekati tiba-tiba ada
gadis lain yang keluar dari tenda duduk disampingnya kemudian memeluk gadis
yang sedang menangis itu.
Alfiya
pun segera menghentikan langkahnya, karena sudah ada gadis lain yang datang. Kemudian
Alfiya terdiam sebentar berdiri melihat mereka berdua, salah satunya menangis
dan yang satu lagi menenangkan. Alfiya kembali merasakan sebuah kehangatan
walau tidak sedang berpelukan karena ia melihat mereka saling menguatkan,
sebelum ia pergi kembali ke tenda tempat ia tinggal terdengar sedikit perkataan
yang dilontarkan salah satu dari mereka “Ayse, laa tahzan…laa taqlaq…
Innallaha ma’ana”.
Entah
mengapa perkataan innallaha maana menggetarkan hati Alfiya, yang awalnya
biasa saja dengan cepat hatinya berdegup kencang. Ia semakin teringat kembali
dengan masa lalunya, bahwa Allah SWT tak pernah meninggalkannya, Allah SWT
selalu bersamanya ketika orang lain meninggalkannya karena kekurangan yang ia
miliki. Allah SWT lah yang membuat ia tak berputus asa untuk berusaha menerima
diri dan merubah dirinya jauh lebih baik lagi, tak lama dari itu ia segera
memutar badannya dan memutuskan untuk kembali ke tenda.
Di
sepanjang perjalanan pulang Alfiya tak henti-hentinya mengucapkan hamdallah
karena sudah Allah SWT pertemukan dengan pemandangan yang hangat di malam musim
dingin. Ia berharap agar suatu hari nanti ia dapat bertemu dan berkenalan
dengan dua gadis itu. Dua gadis yang saling menguatkan satu sama lain, dengan
ayat Al-Qur’an dan meyakinkan untuk tidak perlu khawatir bahwa Allah SWT selalu
bersama.
Setiap
pagi ia melaksankan tugas yang diberikan oleh negeri yakni menyalurkan amanah
dan bantuan seperti makanan, kebutuhan pokok, dan lain-lain. Ia juga kerap kali
belajar dan bermain bersama anak-anak disana. Hingga suatu waktu ia melihat dua
gadis yang sama dengan dua gadis yang ia lihat pada malam hari, ia pun
mendekati dua gadis itu dan mengajaknya bercengkrama, “Ismak eih? Wa kam
umrik?”
“Saya
Ayse Badr, umur lima belas tahun tahun, wa enti”
“Wah,
ternyata kamu bisa menggunakan bahasa Indonesia, ismi Alfiya Nur Syamsa”
"MaasyaaAllah,
namanya indah sekali, Alfu Nurusyams, seribu Cahaya matahari, matahari
bola besar yang bersinar terang, menyinari dan menghidupi bumi, walaupun
jaraknya jauh namun manfaatnya besar, Kini kaka seperti cahaya matahari itu
disini, walaupun kaka jauh dari keluarga namun, kaka sangat berjasa dan
bermanfaat bagi kami, terimakasih kak sudah membantu kami, mulai dari
menyiapkan kebutuhan-kebutuhan kami, hingga belajar dan
bermain bersama kami”, Alfiya yang mendengarnya terharu dengan
penjabaran arti nama yang ia dengar dari
gadis palestina itu, “Wah, kamu pandai sekali berbahasa Indonesia, Ayse”,
“Alhamdulillah
bini’matihi tatimmu sholihat, oh iya kak, kenalkan ini khadeeja, kami
berteman cukup lama dari kecil hingga sekarang alhamdulillah”,
“Assalamu’alaikum,
ana khadeeja mohammed” kata khadeeja sambil mengulurkan tangan untuk
saling berkenalan, Alfiya pun segera membalas uluran tangannya, ia merasakan
dingin dan lembutnya tangan Khadeeja, selembut senyuman yang diberikan
kepadanya.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh, salam kenal khadeeja, aku Alfiya Nur Syamsa”,
Ayse
yang mendengar jawaban Alfiya menggunakan bahasa Indonesia, segera mengingatkan
Alfiya bahwa khadeeja belum menguasai bahasa Indonesia,
“Kak,
Khadeeja belum lancar berbahasa Indonesia, hehehe”,
“Oalah,
terimakasih atas infonya, Ayse”,
Alfiya
pun mengulangi kembali perkenalannya dengan khadeeja menggunakan bahasa Arab
agar ia lebih mengerti,
“Ismi
Alfiya Nur Syamsa, indunisiyyun”,
(Namaku
Alfiya Nur Syamsa, warga Indonesia)
“MaasyaaAllah
ismak jameelah, ahlan wa sahlan fii ardhina”,
(MaasyaaAllah
namamu indah, selamat datang di tanah kami (Palestina))
“Syukran,
wa enti ajmal yaa khadeeja”, jawab Alfiya dengan penuh bahagia.
(Terimakasih, namamu juga lebih indah wahai khadeeja)
Pertemuan singkat itu adalah awal dari kedekatan Ayse dan Alfiya, dengan memperkenalkan khadeeja, Alfiya jadi tahu nama dua gadis yang ia lihat di malam hari samping tenda ternyata adalah mereka berdua. Ayse gadis yang menangis itu dan khadeeja yang datang menenangkannya. Alfiya pun membatin dalam hatinya, “Alhamdulillah, rasanya kemarin aku hanya sekedar berharap dalam hati, tanpa aku ucapkan sudah Allah SWT kabulkan, sungguh aku bahagia ya Allah”.
Keesokan harinya pada waktu sore hari ketika Ayse pulang dari tempat bantuan berada, setelah mengambil beberapa kebutuhan-kebutuhan pokok yang mereka butuhkan, tepat beberapa langkah lagi sampai di tempat pengungsian, tiba-tiba ia melihat dari atas langit rudal yang sebentar lagi terjatuh tepat di tempat pengungsian itu berada, Ayse yang melihatnya segera berlari menuju tenda yang ia tinggali untuk memberi kabar orang-orang.
Namun sayang, usahanya tak membuahkan hasil, ia tak bisa mendahului rudal yang kecepatannya tidak bisa dikalahkan cukup dengan berlari, posisinya yang berada dalam wilayah berbahaya membuat dirinya terhempas, dan terlempar karena berada dekat pengungsian. Ia pun terkena kekuatan rudal tersebut, membuat dirinya terpental dan terjatuh, barang-barang yang baru saja ia ambil terlempar dan terhempas dari dirinya.
Tak lama kemudiaan tim bantuan datang mengevakuasi tempat yang baru saja terkena serangan Israel secara tiba-tiba itu. Termasuk ada Alfiya di dalamnya, setelah sampai di tempat kejadian mereka segera mencari korban untuk diselamatkan. Tak lama setelah berkeliling, Alfiya melihat Ayse yang tergeletak namun masih setengah sadarkan diri.
Ia segera memanggil tim evakuasi untuk segera mengangkatnya dan membawanya pergi untuk diobati. Ketika para pengevakuasi mengangkat tubuh Ayse yang sudah dipenuhi luka, Ayse mengatakan sesuatu dengan suara lirihnya, sambil menunjuk ke arah tenda “khadeeja…khadeeja… selamatkan dia, dia masih di sana”. Tak lama kemudian khadeeja pingsan dan tak sadarkan diri.
Ketika sudah sadarkan diri ia kaget karena sudah berada di tempat pengungsian, ia langsung menoleh kesana kemari dengan teliti seolah mencari seseorang, dan benar saja ia mencari khadeeja. “khadeeja… khadeeja… khadeeja fein?”, setelah memanggil-manggil khadeeja, keadaan sunyi tak ada balasan dari khadeeja dan orang-orang di sekitarnya, ia pun langsung menangis dengan kencang, sehingga membuat orang-orang yang berada di pengungsian melihatnya.
Alfiya yang berada tidak jauh dari Ayse segera berlari mendekati Ayse, memeluknya dan menenangkannya, Ayse tak kuasa menahan air matanya ia pun mencurahkan segala isi hatinya, "Ana nafsil'aan, ana nafsil’aan falimaa ta'khudzni ya Rabb... hiks hiks hiks, Kak, Allah sudah mengambil semua keluargaku, dan sekarang khadeeja tiada, aku sendirian".
"Tidak
apa-apa Ayse, tenanglah mereka sudah tenang di surga, Allah akan selalu
bersamamu aku yang akan menemanimu".
Satu
minggu setelah kejadian itu Ayse menjadi sedikit pendiam dan suka melamun, ia
tak seperti biasanya. Seperti tak ada harapan, tatapannya kosong, jika ditanya
ia hanya menjawab dengan wajah yang datar tanpa ada ekspresi yang dikeluarkan. Namun,
seiring berjalannya waktu Ayse mulai berubah ia belajar menerima semua
peristiwa yg sudah terjadi.
Sedikit
demi sedikit ia kembali melakukan segala aktifitasnya dengan memasang wajah
cerianya. Alfiya yang takjub dengan perubahan Ayse langsung memujinya, “MaasyaaAllah
Ayse, Saya senang sekali Allah kenalkan aku dengan Ayse, walau umur Ayse masih muda,
terlihat Ayse sangat mandiri, sholehah, dan juga sangat pandai."
“Alhamdulillah
kak, aku tumbuh seperti ini mungkin karena kedua orangtuaku. Ketika mereka
masih ada, sebelum kedua orangtuaku Allah SWT panggil, mereka selalu
mengingatkan aku bahwa Allah SWT selalu bersama, kita tidak boleh
mempersekutukannya, seperti yang Allah firmankan dalam Al-Quran, surat Luqman
ayat 13 : ‘Dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, wahai anakku janganlah
engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
kedzaliman yang besar’.
Ketetapan-Nya adalah ketetapan yang paling terbaik, dan aku harus yakini
itu agar aku selalu percaya bahwa Allah maha segalanya”.
“Wah,
MaasyaaAllah sekali, Ayse, apalagi yang kamu ingat Ayse tentang
pendidikan yang orangtuamu berikan ketika kamu masih kecil?”
“Seingatku.
ketika aku berumur tujuh tahun, aku mulai diperintahkan untuk selalu sholat
tepat waktu di lima waktu. Rasulullah SAW bersabda: ‘Suruhlah anak kalian
sholat ketika berumur tujuh tahun, dan kalau sudah berusia sepuluh tahun
meninggalkan sholat pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya. Maksudnya antara
anak laki-laki dan wanita. Diriwayatkan oleh Abu Dawud”.
“MaasyaaAllah,
Ayse, pernah tidak Ayse merasa malas?”.
“Pasti
pernah kak, aku juga manusia”.
“Kalau
boleh tahu, ketika malas datang apa yang Ayse lakukan, agar malas itu hilang?”.
“Jika
aku malas untuk mengerjakannya ummi selalu mengingatkanku dengan Aisyah istri
Rasulullah SAW, sebab Ayse adalah nama yang dinisbahkan kepada istri Rasululah
SAW yang sangat cerdas, yakni Aisyah binti Abi Bakar. Ummi berkata ‘Ayse,
Aisyah tak pernah malas!’, entah mengapa setiap kali ummi mengatakan hal itu,
rasa malas pergi dan aku pun bangkit kembali”.
“MaasyaaAllah,
pasti mereka selalu mengawasimu ya, bagaimana cara keduanya mengawasimu?”
“Mereka
mengawasiku dari aku bangun di pagi hari hingga aku tidur malam hari. Walau
Ummi dan Abi tak pergi ke sekolah bersamaku, mereka mengawasiku dengan cara
mengingatkanku khususnya dalam hal pertemanan di sekolah. Rasulullah SAW
bersabda : ‘Seseorang
bergantung pada agama dan temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia
berteman”.
“MaasyaaAllah, maaf ya Ayse
aku banyak bertanya”.
“Iya kak, tidak apa-apa, aku senang
jika ditanya akan banyak hal”.
“Bolehkah aku bertanya satu hal
lagi?”.
“Tentu boleh, kak”.
“Untuk pertanyaan terakhir ini
sepertinya cukup jawaban yang panjang hehehe, kalau boleh tau bagaimana
keseharianmu dengan keluargamu dahulu, Ayse?”.
“Setiap
pagi Ummi selalu membangunkan kami untuk Tahajud setelah itu membaca Al-Quran
sampai adzan shubuh berkumandang, dan setelah shubuh semuanya harus menyetor
hafalan ke Abi, sebelum pergi ke sekolah ummi selalu mendoakan sambil menaruh
tangannya di kepalaku ‘Allahumma faqqihha fiddiin, wa allimha at-ta’wil’,
sepulang sekolah Ummi selalu memelukku dan menyambutku dengan senang, menanyakan kabar baik apa saja yang aku lewati di
sekolah, kita selalu sholat berjamaah di waktunya, dan sebelum tidur kita
berkumpul di ruang tengah untuk membaca surat Al-Mulk bersama-sama dan setelahnya
berdoa bersama meminta perlindungan Allah SWT”.
“MaasyaaAllah Ayse, mereka pasti bahagia melihatmu yang tumbuh mandiri, sholehah, pandai, dan tangguh menjalani semua ini. Terimakasih sudah menceritakan bagaimana kedua orangtuamu mendidikmu atas landasan Al-Qur’an serta Hadist, semoga kelak kita dapat menjadi orangtua yang dapat mendidik anak atas dasar AlQuran serta Hadist, seperti kedua orangtuamu yang suah mendidikmu”.
Setelah mendengar beberapa kisah yang Ayse ceritakan, Alfiya semakin yakin dan semangat untuk menjadi orangtua yang dapat mendidik anak dengan penuh kasih sayang yang dilandasi atas Al-Quran dan Hadist, walau ia tidak lahir dan dibesarkan di keluarga yang seperti keluarga Ayse. Ia sudah menemukan wujud dan hasil dari parenting yang baik yakni Ayse gadis palestina yang sangat mandiri, sholehah, cerdas, dan tangguh menjalani berbagai macam cobaan dan ujian kehidupan walau kedua orangtuanya sudah meninggalkannya.
*Parenting
: Pola asuh
*Laa
tahzan…laa taqlaq… Innallaha ma’ana : Jangan bersedih…jangan khawatir…
sesungguhnya Allah selalu bersama kita
*Ismak
eih? Wa kam umrik : Siapa namamu? Dan berapa umurmu?
*Wa
enti? : Dan siapa kamu?
*Ismi
: Namaku
*Ana
nafsil'aan, ana nafsil’aan falimaa ta'khudzni ya Rabb : Sekarang aku sendiri,
sekarang aku sendiri kenapa tidak mengambilku saja ya tuhan
0 Komentar