Oleh: Badrul Novis
Dalam lanskap sosial yang masih dikuasai oleh hegemoni patriarkis, tindakan perempuan untuk speak up terhadap pelecehan seksual kerap kali dianggap sebagai tindakan devian—melawan norma, mengganggu stabilitas sosial, atau bahkan “membuka aib” yang seharusnya disembunyikan. Narasi ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan bagian dari konstruksi budaya yang secara sistematis menempatkan perempuan sebagai penjaga moralitas dan kehormatan keluarga atau institusi, bukan sebagai subjek merdeka yang memiliki otoritas atas tubuh dan pengalaman dirinya sendiri.
Pelecehan seksual hari ini bukan hanya marak—ia telah menjadi gejala sistemik yang terus direproduksi oleh kultur permisif, pemangku kebijakan yang abai, dan masyarakat yang lebih sibuk menjaga citra daripada keadilan. Ironisnya, di tengah banyaknya kampanye kesetaraan dan perlindungan hak perempuan, kasus-kasus kekerasan seksual justru kian banal: dianggap sebagai insiden sepele, ditutup atas nama “aib”, atau dipadamkan dalam kamar-kamar musyawarah diskusi. Ketika tubuh perempuan dijadikan arena pelampiasan, namun suaranya dianggap ancaman, maka yang berlangsung bukan sekadar kekerasan, tetapi pengkhianatan terhadap martabat manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa bersuara berarti membuka aib merupakan produk dari narasi patriarkis yang selama ini mengakar kuat dalam sistem sosial, keagamaan, dan hukum. Narasi tersebut menormalisasi ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban, antara laki-laki dan perempuan. Dalam logika patriarki, tubuh perempuan menjadi simbol kehormatan kolektif yang harus dijaga, meskipun dengan cara membungkam realitas kekerasan yang menimpanya. Di sinilah pentingnya dilakukan dekonstruksi, yaitu membongkar dan mengkritisi narasi dominan yang menyesatkan, serta menyusun ulang pemahaman bahwa kehormatan tidak terletak pada diamnya korban, melainkan pada keberanian kolektif untuk menegakkan keadilan.
Lebih jauh, tindakan perempuan untuk speak up bukan sekadar bentuk resistensi terhadap kekerasan, melainkan juga reafirmasi agensi perempuan perihal pengakuan bahwa perempuan adalah aktor moral dan sosial yang memiliki kapasitas untuk menentukan sikap, melawan ketidakadilan, dan membela martabat dirinya. Agensi ini terlalu lama ditekan oleh budaya diam, oleh rasa takut akan stigma sosial, dan oleh institusi yang lebih mengutamakan reputasi simbolik daripada keselamatan nyata individu. Maka, keberanian perempuan untuk bersuara adalah bentuk pengambilalihan kuasa—bahwa suara mereka tidak untuk disimpan di ruang sunyi, tetapi didengarkan sebagai kebenaran yang layak diperjuangkan.
Di tengah kemajuan era digital dan meningkatnya kesadaran kolektif akan hak-hak asasi manusia, ironi besar masih menyelimuti realitas perempuan dalam menghadapi pelecehan seksual. Meskipun berbagai instrumen hukum dan advokasi sosial telah berkembang, budaya bungkam (culture of silence) justru terus mereproduksi dirinya dengan wajah yang lebih halus namun destruktif. Salah satu bentuk dominannya adalah dorongan moral yang dibalut dalam narasi “menjaga aib”, yang secara sistematis mendorong korban untuk memilih diam, menyimpan luka dalam kesunyian, dan menormalkan ketidakadilan yang menimpa mereka.
Budaya “jaga aib” ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan produk dari konstruksi sosial yang sarat nilai-nilai patriarkal, di mana martabat keluarga, komunitas, bahkan institusi, ditempatkan lebih tinggi daripada hak individu atas keadilan dan keselamatan. Dalam logika yang timpang ini, perempuan bukan hanya dipaksa menanggung trauma, tetapi juga diberi beban ganda sebagai penjaga kehormatan kolektif. Akibatnya, speak up dianggap sebagai tindakan subversif, bahkan penghianatan terhadap norma sosial. Kondisi ini sangat bermasalah, karena secara epistemologis ia menutup ruang bagi kebenaran untuk terungkap dan mengabadikan relasi kuasa yang tidak setara. Ketika seorang perempuan diminta untuk diam demi menjaga aib, sejatinya ia sedang dilucuti haknya atas ekspresi, perlindungan hukum, dan penyembuhan psikologis. Lebih dari itu, membungkam korban adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan itu sendiri, sebab membiarkan pelaku bebas tanpa konsekuensi tidak lain adalah bentuk impunitas yang dilegalkan oleh masyarakat.
Sikap bungkam yang dibalut dalih menjaga aib pada akhirnya justru memperluas siklus kekerasan seksual. Pelaku tidak hanya terhindar dari pertanggungjawaban, tetapi juga terdorong untuk mengulangi tindakan yang sama karena merasa tidak ada risiko yang harus ditanggung. Inilah bentuk kekerasan struktural yang paling halus namun paling membahayakan. Membungkam perempuan atas nama kehormatan justru menciptakan kondisi sosial yang tidak aman bagi perempuan lainnya. Sebaliknya, keberanian untuk speak up merupakan bentuk resistensi terhadap tatanan yang menindas. Dalam perspektif filsafat etika feminis, suara perempuan bukan sekadar ekspresi personal, melainkan tindakan politis yang merebut kembali ruang, agensi, dan kendali atas narasi dirinya sendiri.
Dalam teori “subaltern” yang diperkenalkan Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan korban kekerasan kerap diposisikan sebagai subjek yang tidak diberi ruang untuk berbicara dalam diskursus dominan. Speak up, dalam hal ini, adalah upaya untuk menolak marginalisasi dan menuntut pengakuan penuh sebagai subjek yang berhak atas keadilan. Konsep subaltern sangat relevan dalam topik perempuan korban kekerasan karena ia membantu kita memahami mengapa suara perempuan sering kali tak terdengar — bukan hanya karena mereka diam, tetapi karena struktur sosial dan budaya yang secara sistemik membungkam mereka.
Selain sebagai bentuk perlawanan struktural, speak up juga berfungsi sebagai strategi pemulihan. Dalam ranah psikologi trauma, diam bukan jalan keluar, tetapi justru memperpanjang penderitaan. Narasi terbuka tentang pengalaman traumatis, jika disampaikan dalam ruang yang suportif, memungkinkan terjadinya penyembuhan emosional dan penguatan identitas. Oleh karena itu, membiarkan perempuan bersuara bukan hanya soal keadilan hukum, tetapi juga soal hak untuk pulih dan menjadi utuh kembali sebagai manusia. Tentu, kita tidak dapat menafikan bahwa proses speak up bukanlah hal mudah. Banyak korban dihadapkan pada risiko sekunder: stigmatisasi, intimidasi, bahkan retaliasi dari pelaku atau lingkungan. Oleh karena itu, keberanian perempuan untuk speak up harus dibarengi dengan transformasi sistemik—mulai dari reformasi hukum yang berpihak pada korban, edukasi publik yang progresif, hingga penciptaan ruang-ruang aman di dunia nyata maupun digital.
Sudah terlalu lama perempuan diminta menunduk, menyembunyikan luka, dan melupakan rasa takut demi menjaga reputasi pihak lain. Sudah saatnya kita menyatakan cukup. Speak up bukan sekadar keberanian individual, tetapi aksi yang mendobrak sistem yang rusak. Muak harus diubah menjadi gerakan. Geram harus diterjemahkan menjadi tuntutan struktural. Karena keadilan tidak akan pernah lahir dari budaya yang terus membungkam suara yang paling terluka. Lebih jauh, pemangku kebijakan sebagai pelaksana mandat konstitusional harus bertanggung jawab dalam membongkar narasi keliru yang mengidentikkan pelaporan kasus pelecehan dengan pencemaran nama baik atau penyebaran aib. Instrumen hukum harus diarahkan untuk melindungi martabat korban, bukan menambah beban psikis mereka. Dengan demikian, tidak cukup hanya dengan mengutuk kekerasan seksual dan membiarkan pelaku hidup tanpa bertanggung jawab atas kebiadabannya, maka tugas kita bersama harus menjadi aktor aktif dalam membongkar budaya yang menopangnya.
Sederhananya, narasi “diam demi menjaga aib” adalah bentuk kekerasan kultural yang harus ditentang. Sudah saatnya perempuan diberikan ruang dan keberanian untuk bersuara tanpa rasa takut dan tanpa rasa bersalah. Speak up bukan bentuk pengingkaran terhadap kehormatan, tetapi justru cara paling bermartabat untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Perubahan tidak akan lahir dari kebungkaman, tetapi dari suara-suara yang berani mengungkap kebenaran meski diliputi risiko. Maka, marilah kita berpihak bukan pada aib yang semu, tetapi pada keberanian untuk memperjuangkan keadilan yang sejati.
0 Komentar