Header Ads Widget

Darussalam Catering

Algoritma Batin di Balik Konten


Karya: Hasna PN

Siang yang terik menyelimuti kampus UVI. Kantin di kampus ini tak pernah benar- benar sepi. Bau gorengan bercampur dengan aroma mi instan, sementara bunyi sendok beradu dengan mangkuk bakso bersahut-sahutan. Di setiap meja, bukan buku yang jadi pusat perhatian, tapi ponsel yang lebih memikat perhatian. Mahasiswa-mahasiwi UVI sibuk memoles konten, bahkan saat makan pun tak henti- hentinya mereka menatap layar ponsel.

Ditengah riuh itu, Raya menatap layar ponselnya. Di hadapannya, terhidang semangkuk bakso pedas dan segelas es teh, menu andalan di kampus UVI. Namun, rasanya hambar saja di lidah Raya. Raut wajahnya sedikit masam, lebih masam dari cuka yang ia tuangkan ke dalam seporsi bakso miliknya.

Ibu jarinya bergerak naik turun, seperti emosinya yang naik turun menyaksikan grafik insight Instagramnya yang terus menurun. Sementara, timeline-nya penuh dengan konten Aqil, teman sekelasnya. Baginya, konten Aqil adalah konten receh, namun, selalu tembus satu juta viewer.

Sembari makan bakso Raya bergumam, "Percuma belajar algoritma Instagram kalau ujung-ujungnya kalah viral sama konten recehan."

Ia menambahkan tiga sendok sambal ke mangkuknya, lalu menyeruput kuah bakso panas itu. Wajahnya memerah, matanya berair. Pedas di mulutnya, begitupun hatinya yang meletup-letup sebab kalah saing dengan konten yang dianggapnya murahan. Ia merasa kerja kerasnya membuat konten edukasi fashion sia-sia, kalah saing oleh konten gimmick ala Aqil.

Dalam bisik yang hampir tak terdengar, ia mengeluh, "Kenapa sih? Aku udah mati- matian bikin konten edukasi, edit berjam-jam, visual bagus, caption rapi... tapi tetep aja sepi penonton. Apa dunia ini lebih suka ketawa tanpa mikir daripada belajar sesuatu?”

Kantin UVI, seperti biasa, selalu ramai di jam istirahat. Meja dan bangku penuh mahasiswa dengan perut lapar. Bakso dan es teh akan ludes hanya di jam istirahat saja. Tapi, meski banyak pengunjungnya, bukan berarti banyak perbincangan di antara mereka. Tangan kanan memegang sendok, tangan kiri menggenggam ponsel, dan kepala menunduk memerhatikan layar ponsel. Semua sibuk dengan dunia mayanya masing-masing.


Namanya juga kampus UVI, Universitas Viral Indonesia. Pantas saja semua penghuninya sibuk di media sosial. Filosofinya jelas: seluruh civitas academica, dari mahasiswa sampai dosen, dituntut aktif di media sosial. Bahkan review kantin pun bisa ikut trending.


"Bu, bakso spesial satu!" suara lantang memecah riuh.

Aqil baru saja datang dan duduk di hadapan Raya. Senyum lebarnya khas, percaya diri tanpa alasan.

 "Hoyy!" sambil menggebrak meja membuyarkan tatapan Raya dari layar ponselnya. Raya kaget. "Bisa gak biasa aja, gak usah sok ngagetin!" jawab Raya ketus.


"Jangan serius-serius amat jadi orang," sahut Aqil sambil menuangkan kecap dan saos sambal di mangkuknya.


Raya menatap dengan kesal. "Lo lihat, deh. Postingan gue kemarin cuma dapet seratus viewer. Padahal udah gue konsep mateng-mateng," keluh Raya kepada Aqil sambil menusuk bakso dan mengaduk-aduk kuah tak lahap memakannya.

Aqil terkekeh sambil menyalakan kamera depan. Ia pura-pura kepedasan dan merekam ekspresi wajahnya. "Nih, liat. lima menit lagi, konten kepedesan gue bakal viral jadi FYP (for your page). Inget, ya, Ra. Netizen itu gak suka konten yang terlalu serius. Gini nih, gue contohin, random aja, bikin mereka ketawa liat konten kita."

Aqil dengan santainya mengedit video itu langsung di meja kantin. Ia menambahkan efek ketawa receh, stiker api-api, dan teks berwarna-warni:

“BAKSO PEDAS LEVEL SKRIPSI DITOLAK DOSEN PEMBIMBING”

Raya melongo, “Apaan, sih, Qil. Mana ada level pedas kayak gitu?”

Aqil hanya tertawa. Jempolnya cekatan menekan tombol untuk mengunggah kontennya. Taksampai lima menit, notifikasi masuk bertubi-tubi, dari like, komentar, share, bahkan kontenya diunggah ulang oleh akun meme. Raya mendengus, lidahnya terasa pedas, hatinya lebih pedas lagi.

Setelah beberapa kali scroll ulang, Raya menutup layar ponselnya. Ia meninggalkan semangkuk bakso yang belum habis. Sepanjang perjalanan ke kelas, pikiran Raya masih dipenuhi oleh bayang-bayang angka engagement yang merosot. Kekhawatiran bersebab semakin turunnya engagement Instagram miliknya, membuat pucat wajahnya. Takut jadi sepi endorsment, takut gak dikenal lagi, dan takut berkurang followers-nya. Bulir keringat menetes, bukan hanya karena panas mentari siang, namun juga isi kepalanya yang kusut.

Semua mahasiswa bergegas ke kelas masing-masing. Terik panas siang itu hanya berlaku di luar ruangan. Karena setiap ruangan di kampus UVI pasti dilengkapi dengan AC. Kampus ini memang baru seumur jagung, tapi UVI sudah dikenal seantero negeri. Seperti namanya, kampus ini viral karena konten mahasiswa atau pun dosen yang setiap hari selalu ada yang me-review apapun tentang kampus. Itulah mengapa, engagement konten review UVI selalu ramai.

Ruang kelas jurusan Ilmu Komunikasi sudah penuh mahasiswa. Raya, si paling suka duduk di ujung belakang. Hampir semua mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi ini tak ada yang tertarik duduk di depan. Hanya orang yang terlambat datanglah yang akan mengisi bangku terdepan. Mengapa? Tentu, agar saat jari-jari mereka menari di atas layar ponsel tak terlihat oleh dosen yang tengah mengajar. Kehidupan mereka tak terlepas dari smartphone, telepon pintar yang belum tentu digunakan oleh orang pintar.

Seorang pria masuk kelas. Ia berkemeja biru rapi, celana hitam, dan berkacamata trendi. Di tangannya, tak ada tumpukan kertas yang dibawa, hanya iPad dan gawai keluaran terbaru yang ia bawa.

"Selamat siang, semuanya. Apa kabar hari ini?” sapa Pak Yudha dengan gaya khas host podcast.

"Siang, Pak," jawab serentak oleh mahasiswa kelas ilkom.

Saya ada kabar gembira. Besok kita akan mengadakan lomba membuat konten reels di Instagram. Temanya: eksistensi. Lomba ini adalah bagian dari tugas akhir mata kuliah retorika digital, nanti satu pemenang terbaik akan saya beri hadiah."

Kelas mendadak riuh.

"Kapan deadline-nya, Pak?" tanya Raya penasaran. "Besok siang."

"Haaa, besok siang, Pak?" "Kurang lama, Pak?" "Bercanda, ya, Pak?" sahut menyahut membuat kelas gaduh.

Pak Yudha mengangkat tangan menenangkan. “Tenang. Silakan kalian buat semenarik mungkin. Penilaiannya adalah lima puluh persen egangement tertinggi, dan lima puluh persen kreatifitas dan visual. Ini adalah challenge buat kalian. Mahasiswa UVI harus bisa membuat konten kapan pun dan dimana pun. Mengerti semuanya," Jelasnya penuh semangat.

"Baik, Pak....," jawab mereka lesu, antara ingin menjawab tantangan itu, tapi rasanya tak sanggup dikejar oleh waktu.

"Kalo begitu, saya sudahi kelas ini. Silakan mulai berfikir dan buat konten sebaik mungkin. Besok saya tunggu hasilnya," tutup Pak Yudha sebelum keluar.

Begitu dosen pergi, suasana kelas berubah jadi bursa ide. Seisi kelas mulai sibuk dengan ponselnya. Ada yang buru-buru cari ide konten dari influencer top dunia, ada yang bertanya ke AI tentang arti eksistensi, ada yang tengah menatap insight profil Instagram, ada pula yang masih setia menulis di buku, mencatat ide-ide brilian. Mereka memang teman sekelas, tapi seakan asing saat duduk bersama. Namun, mereka begitu akrab dengan teman dunia maya yang bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.

 

Satu persatu mahasiswa meninggalkan kelas. Ada yang memutuskan pulang ke rumah, ada yang masih betah bercengkrama di dalam kelas, ada pula yang berjalan keluar dengan penuh keanggunan menuju ruangan yang baginya adalah surganya pengetahuan. Ya, dialah Nayla, mahasiswi yang lebih memilih meramu ide bersama buku-buku di perpustakaan.

Tangannya lincah mengambil buku sesuai dengan tema lomba. Nayla tahu persis di rak mana letak buku itu berada. Bahkan, dirinya tahu di halaman berapa pembahasan tentang eksistensi itu tertulis. Nayla memang berbeda dari mahasiswa lainnya. Saat sebagian mereka hanya fomo, gimmick belajar di kelas, atau pun copypaste karya orang lain, Nayla justru tekun untuk membuka setiap lembar dan memahami isinya. Ia catat setiap poin penting di buku saku yang nantinya akan ia kemas menjadi konten penuh makna.

Lain halnya dengan Aqil. Tanpa basa-basi ia langsung membuat konten. Raut wajahnya begitu percaya diri. Baginya, kemenangan sudah dalam genggaman, sebab akun Instagramnya memiliki jumlah followers terbanyak di kelas.


Dalam batinnya ia berkata, "Alay banget, sih temen-temen di kelas. Cuma bikin konten aja minta waktu yang lama. Emangnya, konten mereka bakal reach segede konten- konten gue? Liat aja, dalam lima belas menit cukup buat gue bikin konten. Upload, dan hitungan detik insight gue pasti meroket."Aqil tersenyum sinis merasa paling bisa. Sembari menyeringai, ia membuka galeri ponselnya, memiliki bebera stok video, lalu mulai mengeditnya.


Di sisi lain, Raya masih memandangi akun Instagramnya. Konten terakhir yang ia unggah hanya ditonton seratus orang. Jumlah followers-nya pun berkurang satu persatu, seperti daun-daun kering yang gugur tanpa bisa dicegah. Raya terlihat tak bertenaga siang itu. Wajahnya lesu, napasnya berat. Ia tutup ponselnya dan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Barangkali ada ide yang muncul, meski niat awalnya hanya sekadar duduk melamun saja.


Namun, langkahnya terhenti. Ponselnya bergetar tanda pesan masuk datang. Getaran halus dari ponselnya terasa seperti hentakan palu di dadanya. Dengan enggan, Raya membuka notifikasi DM Instagram. Begitu membaca isinya, kedua bola matanya membulat, bibirnya terbuka tanpa suara. Jantungnya berdetak kacau. Hampir saja bulir air di sudut matanya mengalir di pipi. Ia tertegun dan semakin lemas, nyaris kehilangan tenaga. Pesan singkat ini menghantam hatinya, lebih keras dari komentar nyinyir yang pernah ia terima.

Pesan itu datang dari brand yang selama ini bekerja sama dengannya. Dalam DM itu tertulis,


"Mohon maaf, kami memutuskan untuk tidak berkerjasama lagi dalam endorsment produk kami. Terima kasih."

 

Raya membaca berulang kali, berharap ia salah membaca, berharap kata-kata itu berubah. Namun, tetap sama. Tak ada revisi, tak ada ampun.

Seakan dunia runtuh, Raya berdiri terpaku. Dengan berat hati, ia harus menerima bahwa brand yang sudah menjalin kontrak kerjasama memutuskan untuk mencabut endorsment darinya. Ya, itulah bisnis, mana mau produknya di endors oleh akun yang sedikit viewernya. Bisa-bisa rugi gulung tikar sepabriknya. Pesan itu membuat pikirannya semakin rancu. Raya tertunduk, tatapannya kosong, tangannya lemas, genggaman pada ponselnya melemah. Dalam hatinya, suara lirih menggema, apalah aku tanpa validasi dari sosial media? Apakah aku benar-benar ada, kalau tak ada yang melihatku? Hatinya benar-benar hampa kini.

Ia menelan ludah getir,"Kalo kayak gini, mana mungkin aku menang lomba. Pasti Aqil yang juara, meskipun kontennya receh gak guna. Bisanya cuma ngutip quotes sembarangan. Dia emang ganteng, tapi sayang netizen mau aja dibodohi sama senyum manis tanpa isi." gerutu Raya lirih sambil tetap melangkahkan kaki ke perpustakaan. Langkahnya bukan hanya berat, tapi penuh retakan. Seakan setiap hentakan kaki ingin menyuarakan kalimat yang tak ingin ia ucapkan. Aku kalah, aku gagal, aku tidak ada.

 

Hening menyambutnya begitu masuk ruangan yang dipenuhi buku di setiap sudutnya. Mahasiswa yang di dalamnya pun sibuk dengan buku-buku di hadapannya. Matanya takjub melihat isi perpustakaan setelah sekian purnama dilewati, ia tak mengunjungi perpustakaan di kampusnya. Pandangan Raya terhenti di salah satu pengunjung setia perpustakaan itu. Siapa lagi kalau bukan si kutu buku, Nayla. Tangannya sibuk menandai lembaran buku dengan sticky note. Raya pun menghampiri Nayla dan duduk di kursi sebelahnya.

"Nay," sapanya memecah keheningan.

"Hai, mau cari ide konten lewat buku, ya?" jawab Nayla dengan senyum tipis, sesekali menatap Raya, dan kembali menekuri bukunya.

"Nggak juga, sih. Lagi pengen ngadem aja di sini, kayaknya lebih tenang kalo duduk lama di perpustakaan," jelas Raya pada Nayla.

"Ehhm, gapapa tapi coba sambil baca, deh. Baca buku juga bisa bikin rileks, lho."

"Eh, Nay, sebentar. Kok bisa sih kamu gak pernah update status? Instagrammu jarang online, konten juga gak ada. Emang kamu gak takut kalau gak dikenal dunia?" Nada suara Raya seakan mengintrogasi Nayla.

Sambil tersenyum Nayla menjawab, "Untuk saat ini aku lebih fokus untuk mengumpulkan banyak wawasan dari setiap lembar buku-buku di sini, Nay."

"Kenapa gitu?" Raya semakin penasaran.

"Pada saatnya nanti, aku akun muncul, Raya. Aku gak mau kontenku kurang bermakna dan hanya menghabiskan waktu orang lain yang melihatnya. Konten itu kan sarana kita berbagi untuk orang lain, jadi jangan sampai apa yang kita sampaikan sia-sia."

Raya mengangguk-angguk, meski wajahnya masih menyimpan ragu.

"Ehh, tapi Nay, nanti kamu ketinggalan zaman, gak ada yang kenal kamu!" 

Raya menutup buku sebentar, lalu menatap Raya dengan tenang.

"Eksis itu bukan sekadar terkenal, Ray. Banyak sekarang konten kreator viral tapi dengan instan. Maksudku, konten kurang berbobot justru banyak diminati. Kalo seperti itu, secara tidak langsung kita mencuri waktu orang lain untuk hal sia-sia."

"Ohh, berarti kaya konten si Aqil tuh, ya?" Raya nyeletuk.

Nayla tersenyum lagi. “Jangan bandingkan sama orang lain. Fokus sama diri sendiri. Masih banyak yang bisa kita perbaiki dari diri kita daripada sibuk menilai orang lain." Raya terdiam, "Iya, Nay. Makasihnya udah ngasih insight baru buat aku."

"Dengan senang hati," jawab Nayla singkat.

Raya tak habis pikir. Masih ada manusia seperti Nayla, yang mau menarik diri dari media sosial. Ia mulai menyadari, mungkin saja kontennya akhir-akhir ini kurang menarik. Tak ada kebaruan yang ia tampilkan.

Dalam relung hatinya terdalam, ada suara yang berusaha menenangkan,"Benar juga kata, Nayla. Harusnya aku lebih banyak belajar dulu sebelum tergiur jadi selebgram."

Raya masih memikirkan kata-kata Nayla hingga gelap mulai menyelimuti bumi. Kantuk seakan bukan alasan bagi mahasiswa UVI malam itu. Satu persatu sibuk menyelesaikan konten, lalu mengunggahnya ke Instagram, dan tentunya berkolaborasi dengan akun resmi kampus. Tugas ini cukup menguras tenaga, bagi mereka ini pertama kali dalam sejarah membuat konten selang sehari saja. Detik terus berlalu, hingga fajar menyapa dunia. Mereka hanya memejamkan mata sekejap bahkan ada yang tak tidur semalaman.

Pagi pun tiba. Mereka harus tepat waktu ke kampus. Mengapa? Karena Pak Yudha, dosen yang mengadakan lomba akan menampilkan satu persatu video mereka di layar proyektor kelas.

Di kampus UVI, mahasiswa datang berduyun-duyun. Ada yang mengendarai angkutan umum, ada juga yang mengendarai motor, dan tak sedikit pula yang datang dengan mobil pribadi. Pukul tujuh tepat, kelas Ilmu Komunikasi akan dimulai.

Semua bergegas masuk ke ruang kuliah, tak sabar mendengar siapa yang akan jadi pemenang.

Pak Yudha sudah berdiri rapi di depan pintu. Seperti biasa, beliau tak pernah terlambat meski satu detik pun. Pagi ini, penampilannya tampak lebih kasual, lengkap dengan topi dan kacamata trendi.

"Selamat pagi, semuanya," sapa hangatnya. "Pagi, Pak," jawab serentak.

"Saya senang sekali semalaman. Akun resmi UVI penuh notifikasi. Saya sebagai admin langsung menerima permintaan kolaborasi dari akun kalian."

Pak Yudha myalakan proyektor dan menyambungkan dengan iPad kesayangannya. "Baik, sekarang saatnya kita mengulas konten kalian. Konten pertama yang akan kita saksikan, dari akun @aqile, siapa ini?"

"Saya, Pak!" jawab Aqil penuh percaya diri.

Layar proyektor menampilkan video yang dibuat Aqil. Konten berdurasi satu menit, dengan kumpulan potongan video dirinya dan ditambah teks mungil di pojok bawah bertuliskan, “Di mana pun kita, kalo emang narsis pasti eksis”. Tak ketinggalan, backsound musik trending hari itu juga melengkapi video reels Aqil.

"Pak Yudha mengangguk kecil. “Viewer konten ini tembus satu juta, likes lima puluh ribu, dan lima ratus shares."

Sorak sorai tepuk tangan bergemuruh dari teman sekelasnya. Aqil hanya tersenyum puas.

"Selanjutnya, konten dari akun @rayasemesta. Akun milik siapa ini?" tanya Pak Yudha. "Saya, Pak!" teriak Raya dari kursi belakang.

Video Raya berdurasi dua menit. Ia menampilakan dirinya yang tengah duduk di depan kamera. Seakan dirinya sedang berbicara langsung kepada netizen. Dengan backsound ala anime jepang, ia menyampaikan pesan bahwa seseorang akan dihargai ditempat yang tepat. Seorang akan berharga dengan mereka yang mengenal baik dirinya. 

Pak Yudha menatap layar sejenak. “Konten ini tembus lima ribu penonton dan enam ratus likes."

Kelas bertepuk tangan, meski tak seramai tadi. Raya hanya pasrah. Baginya kini yang terpenting adalah tugas dari Pak Yudha selesai dan dia akan lebih belajar memperbaiki kontennya.

"Konten selanjutnya, akun @nayla, oh ini pasti punya Nayla, ya?” 

“Iya, Pak,” jawab Nayla singkat.

Saat konten itu diputar, semua terkesima. Video berdurasi dua setengah menit itu membuat mereka terpukau. Nayla membua vidio dengan visual yang luar biasa, padahal semua tau bahwa ia lebih sering offline di dunia maya. Pesan yang disampaikan Nayla membuat tamparan tersendiri bagi teman sekelasnya. Ia berpesan bahwa eksis bukan sekadar viral, saat keberadaan kita di dunia memberi manfaat itulah hakikat bahwa kita eksis. bukan seberapa banyak followers, tapi seberapa berdampak untuk mereka yang mengambil manfaat dari kita.

Kelas terdiam, lalu riuh oleh tepuk tangan. Banyak yang baru sadar bahwa ternyata mereka selama ini terlalu memuja keviralan. Maunya instan tanpa belajar.

Pak Yudha tersenyum lebar. “Wah, luar biasa! Video ini punya seribu viewers, lima putuh komentar dan seratus shares.”

Pak Yudha terus menampilkan semua video konten mahasiswanya. Satu persatu dilihat hingga akhirnya, tibalah saat yang ditunggu. Pak Yudha akan mengumumkan siapa pemenangnya.

“Sekarang, waktunya saya mengumumkan siapa pemenangnya. Penasaran tidak siapa pemenangnya?”

“Siapa, pak? siapa?” teriak mahasiswa berbarengan.

“Berdasarkan kualifikasi penilaian, lima puluh persen engagement dan sisanya kreativitas serta visual, maka pemenagnya adalah... Aqil.”

 

Sungguh bangga kegirangan Aqil mendengarnya. Sorak sorai kembali menggema. Aqil maju ke depan, menerima sebuah bingkisan dari Pak Yudha, lalu berfoto bersama.

“Terima kasih, Pak,” kata Aqil.

“Sama-sama. Silakan kembali duduk.”

“Baik anak-anak, terima kasih sudah sangat antusias. Pesan Bapak, kampus UVI memang bernama viral, tapi bukanlah sembarang viral, tapi juga harus memberi makna. Eksistensi sejati adalah ketika keberadaan kalian memberi manfaat.” Pak Yudha menutup kelas dengan sebuah kesimpulan. Pak Yudha keluar kelas diikuti para mahasiswa yang berhamburan keluar menuju kantin. Raya masih terdiam di kelas. Ponsel yang selalu menyala itu kini ia matikan. Ia berjalan menghampiri Nayla di sudut kelas paling depan.

Nay.”

“Iya, Raya?”

“Makasih, ya, udah bikan aku lebih sadar dan nggak bimbang lagi.” 

Nayla tersenyum lembut. “Iya, Raya. Dalam lomba menang kalah itu biasa. Yang penting kita terus belajar. Viral itu hanya riak di permukaan. Yang harus kita kejar adalah samudera pengetahuan. Dengan begitu, suatu ketika saat kita harus bersuara, itu bukan sekedar omong kosong belaka, tapi benar-benar bermakna. Inget, viral itu bonus, jangan berhenti membuat konten bermakna hanya karena sepi viewers. Kita gak pernah tau kan, konten mana yang ternyata menyentuh hati seseorang.”

Raya menatapnya lama. Kata-kata Nayla menancap jauh di relung hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalah bukan berarti gagal, justru awal untuk semakin tumbuh berkembang. Ia belajar bahwa viral bukanlah segalanya, selama keberadaan kita memberi manfaat, di situlah kita ada dan bermakna.



Posting Komentar

0 Komentar