Header Ads Widget

Darussalam Catering

Hikmah Penantian dan Menantikan Hikmah

Oleh: Hazmu Shafa

Alfredo memandang arlojinya kesal. Pukul 9 pagi. Suasana sekitar begitu sunyi ditelan keheningan. Tidak ada pertanda seseorang akan datang, padahal pesan yang ia terima jelas berkata bahwa seseorang akan menemuinya di situ dan saat itu juga. Ia berada persis tepat waktu dan sesuai dengan lokasi yang ditentukan. Kakinya menghentak-hentak kecil, tidak sabar menunggu. Perasaannya gelisah, tampak jelas dari gelagatnya yang bolak-balik mengecek jam analog kecil berwarna silver yang menghiasi pergelangannya sembari sesekali mengamati keadaan sekitar.

Tidak biasanya Alfredo berada dalam situasi ini. Alfredo adalah orang yang sangat menghargai waktu; ia selalu menata semua kegiatannya dengan terstruktur dan proporsional. Olahraga yang cukup, belajar tidak berlebihan, bekerja sedapatnya, bahkan jadwal istirahat yang sangat ketat. Ia selalu menolak mengorbankan jam tidurnya hanya untuk lembur persiapan ujian ataupun mengejar bonus upah. Baginya, tidur yang berkualitas lebih mahal harganya dari sekadar beberapa lembar muqarrar ataupun tambahan uang jajan.

Namun jika menyangkut appointment dengan orang lain, ia tahu persis hal seperti ini pasti akan terjadi. Sering kali orang-orang di sekitarnya gagal mengimbangi kebiasaan uniknya yang hampir tidak pernah meleset barang satu detik pun. Tidak semua orang bisa menghargai waktu seperti diriku, batinnya sambil mendengus kesal. Menunggu tanpa kepastian seperti ini membuatnya terpaksa sibuk dengan pikirannya sendiri. Jangan sampai waktuku terbuang sia-sia, gumamnya. Seketika lamunannya telah membawanya jauh melupakan dunia nyata, menuju alam imajinasi yang menyimpan segudang rahasia tersembunyi. Rahasia yang mungkin bisa menjawab kegelisahannya saat ini.

Lamunan Alfredo mengundangnya untuk membayangkan hakikat waktu. Apa sih sebenarnya waktu itu? Jawabannya bisa sangat beragam. Bagi sebagian orang, waktu adalah kehidupan itu sendiri; ia berhenti seketika jiwa berpisah dari raga. Selama nafas masih berhembus, waktu bagaikan satuan tak terpisahkan yang membuat hidup terasa berharga. Kenapa begitu? Karena hidup tanpa waktu akan sangat membosankan. Apalah artinya sebuah kesuksesan, kalau kita hidup selamanya dan bisa mencoba lagi kapan pun kita mau setiap kali kita gagal? Sebuah kompetisi akan terasa sangat bergengsi ketika juaranya hanya 3. Jika semua peserta mendapatkan juara, penghargaan itu seakan tidak ada harganya. Begitu pula hidup; karena adanya kematian, hidup menjadi terbatas. Dan waktulah yang membuat kita berani untuk menghargai setiap momennya. Dalam kata lain, kehidupan hanya akan terasa lebih hidup ketika kita mampu memahami konsep waktu.

Bagi sebagian lainnya, waktu justru dipahami sebagai pundi-pundi kekayaan. Karena waktu bisa memberi harga, para penggila harta berlomba-lomba menjadikan waktu sebagai permainan ekonomi global hanya untuk memperkaya diri. Komoditas yang seharusnya tersedia di pasar sengaja ditimbun sehingga menjadi langka, karena semakin langka sebuah barang maka semakin tinggi daya jualnya. Toko-toko besar sengaja membentuk ilusi ‘kesempatan terbatas’ dengan diskon besar dalam waktu singkat, memaksa para pelanggan untuk menghabiskan uangnya lewat impulsive buying. Bahkan dalam gejolak pasar saham, harga yang meroket fantastis serta anjlok drastis hanya dalam hitungan detik adalah hal biasa. Time is money, kata orang-orang itu. Pada akhirnya, harga waktu yang sebelumnya terletak pada kemampuannya memberi makna kehidupan direduksi menjadi sekadar deretan angka dalam neraca laba perusahaan. Tidak lebih.

Alam pikiran Alfredo seakan belum puas dengan semua jawaban itu. Mungkinkah harga waktu benar-benar tidak lebih dari semua itu? Hanya sebatas hitung-hitungan angka, yang berkonversi dari detik, menit dan jam menjadi nominal rekening tabungan? Dari hari, pekan, bulan dan tahun menjadi saldo paylater, e-wallet dan sejenisnya? Mungkin masih lebih mulia jika menghargai waktu dengan memaknai kehidupan yang kita miliki ini. Tapi apalah artinya hidup kita, bila dibandingkan dengan alam semesta yang begitu luas ini? Kita hanyalah debu kosmik yang menempel pada raksasa jagat raya, yang ketiadaannya pun tidak akan mengubah orbit bumi apalagi meledakkan matahari. Lifetime kita hanya puluhan tahun, paling maksimal ratusan tahun, tidak sebanding dengan umur waktu yang sama tuanya dengan alam semesta ini. Seangkuh itukah kita, sehingga merasa hidup kitalah yang paling berhak dihargai, melebihi makhluk mana pun? Seegois itukah kita, sehingga ingin menyita perhatian seluruh entitas alam untuk melayani hidup kita, terlebih jika semua itu hanya demi memuaskan hasrat eksistensial kita sendiri?

Pikiran Alfredo semakin berkecamuk, tidak karuan. Otaknya serasa ingin meledak, imajinasinya menemui jalan buntu. Ia hampir menyerah dengan semua kekalutan itu. Namun di saat ia akan membiarkan segudang keresahan itu menguap begitu saja, tiba-tiba ia menemukan secercah cahaya. Cahaya terang nan lembut yang merekah dari balik selimut kegelapan, menembus segala keraguan dengan kilau-kilau keyakinan. Nyala temaramnya bak pelita hidayah yang menerangi jalan setapak di tengah belantara kesesatan. Ia ingin meraih cahaya itu; menggapainya, menggenggamnya, dan memeluk erat kehangatannya. Mungkin cahaya inilah satu-satunya jawabanku, pikirnya.

Cahaya itu menghampirinya pelan. Damai, sejuk, dan menenangkan. Perlahan ia mulai terurai, menjelma sebuah rangkaian hakikat yang indah dengan sinar yang benderang. Begitu kuat, sehingga Alfredo merasa tak sanggup membuka mata kepalanya. Silau dan membutakan. Namun ia tidak kehabisan cara. Ia pun dengan sengaja mengunci mata kepalanya rapat-rapat, mengabaikan segala bentuk pertimbangan-pertimbangan logis maupun empiris, menundukkan kecerdasan nalar inteleknya, dan mulai membuka mata hatinya. Sedikit demi sedikit. Tidak mudah, namun dengan pembiasaan dan mujahadah, Alfredo berhasil menyingkap tabir sanubarinya untuk menyaksikan keindahan sinar hakikat tadi.

Hakikat itu menerangkan kepada Alfredo tiga pancaran cahaya. Cahaya pertama, cahaya Sunnah Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Janganlah engkau mencela masa (zaman; waktu), karena sesungguhnya Allah adalah masa itu sendiri”. Alfredo tertegun menerima teguran itu. Tentu saja! Hakikat waktu bukanlah yang menjelma nilai tukar harta yang fana, bukan pula kehidupan yang habis dilahap kematian. Waktu adalah ciptaan Tuhan; perwujudan qudrah-Nya, manifestasi iradah-Nya, serta bukti nikmat dan karunia-Nya. Nikmat yang tidak seharusnya kita ingkari, karena mengingkarinya sama dengan mengingkari Penciptanya. Anugerah yang mengajarkan kita bahwa keabadian bukanlah puncak keindahan, namun justru karena kefanaan lah segala yang kita alami menjadi berharga. Seperti halnya kehidupan dunia, yang menjadi ajang perlombaan untuk menggapai ridha-Nya.

Cahaya kedua, inti sari sebuah syair Arab klasik yang masih ia hafal hingga kini. Karya seorang penyair di abad ke-5 Hijriyah berbunyi, “Barang siapa mengenal Allah akan menanggalkan segala buruk sangka # dan berkata: ‘setiap perbuatan-Nya pasti mengandung hikmah’,”. Lagi-lagi Alfredo merasakan hatinya bergetar hebat. Ia begitu hafal bait favoritnya ini, namun tidak pernah begitu dalam meresapi maknanya hingga menerima cahaya ini. Astaga! Betapa naifnya diriku, menggerutu hanya karena Allah menyuruhku menunggu! Batinnya berteriak, memperingatkan dirinya atas kesalahan yang baru saja ia perbuat beberapa saat lalu. Bukankah semua yang kita alami adalah ketetapan dan ketentuan Allah? Bukankah itu berarti semuanya sudah sesuai dengan ilmu dan hikmat kebijaksanaan Allah? Jikalau kita tidak mau menerima itu, bukankah itu sama saja dengan mengingkari sifat-Nya yang al-Hakim? Pertanyaan-pertanyaan retoris itu kian bermunculan, menghunjam hatinya yang sempat mengeras bagaikan batu, mengembalikannya kepada fitrahnya yang lembut dan penuh ketundukan kepada Sang Pemilik Hati.

Cahaya yang terakhir, cahaya ketiga adalah yang paling kuat sekaligus paling sempurna. Cahaya yang mampu menjawab salah satu pertanyaan terbesar kita, “kalaulah hidup di dunia ini hanya untuk menunggu kematian, lalu apa yang seharusnya kita lakukan?”. Yakni cahaya tadabbur dari dua ayat di dalam al-Qur’an; surah al-Hijr ayat 99 “dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian)”, lalu surah al-Dzariyat ayat 56 “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali semata-mata untuk beribadah kepada-Ku”. Kedua ayat itu memancarkan makna yang terpatri kuat di dalam batin Alfredo. Kalaulah hidup merupakan sebuah penantian, maka hikmah terbesar yang dapat kita petik adalah hikmah penghambaan. Menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, menyeru kepada ridha-Nya, dan menyelamatkan dari murka-Nya. Sebuah prinsip yang berlaku dalam semua peristiwa kehidupan; bahwa kapan pun kita menghadapi sebuah penantian—bahkan bila terpaksa—, pastikan kita dapat menemukan hikmah dari ketetapan Allah tersebut. Penantian adalah sebuah jeda penuh makna; jeda untuk ber-muhasabah, jeda untuk ber-tafakkur, dan jeda untuk men-tajdid. Hikmah yang tidak mungkin didapatkan jika hidup kita selalu titik dan tidak pernah koma. Bahkan saking berharganya sebuah jeda, bagi sebagian orang ia menjadi satu anugerah yang selalu ditunggu kehadirannya. Setiap hikmah selalu penuh dengan penantian, dan setiap penantian pasti mendatangkan hikmah.

Alfredo merasakan hatinya penuh. Penuh dengan jawaban, penuh keyakinan, penuh kepuasan batin, dibalut dengan rasa lega, sedih, haru dan bahagia. Betapa dalam renungannya kali ini membawanya pergi, mengungkap satu rahasia yang begitu menggugah jiwa. Ketiga cahaya tadi seakan menyelesaikan seluruh kegelisahannya yang selama ini berlarut-larut. Sepertinya aku harus mulai terbiasa menungg—

Puk! Sebuah tepukan yang mendarat di pundak kiri Alfredo membuyarkan lamunannya. Menyadarkannya yang sedari tadi hanyut dalam pikirannya sendiri. Bahtiar, kawannya yang berkirim pesan dan mengatur pertemuan tersebut, ternyata sudah berdiri di belakangnya sejak tadi. Ia sengaja membiarkannya sebentar agar tidak mengganggu khayalannya. Sontak Alfredo pun menoleh ke arah kawannya itu sembari memasang wajah cemberut.

“Kebiasaan kau, Bahtiar! Kau tau kan aku ngga suka dibuat menunggu.”

“Hehe, jangan gusar dulu. Coba lihat arlojimu baik-baik.”

Alfredo mengecek kembali jam tangannya. Masih pukul 9 tepat, dengan jarum detik di angka 53. Belum terlewat satu menit. Ternyata lamunannya tadi hanya memakan waktu setengah menit dalam hitungan nyata!

“Kamu sendiri kan yang bilang, toleransi buatku hanya satu menit. Tuh, detik-detik sisa terakhir aku subsidi buat kamu.”

Mendengar kalimat itu, Alfredo semakin gemas kepada Bahtiar. Kawannya yang satu ini memang paling suka berbuat usil, tapi karena dia yang paling bisa pengertian dengan kebiasaan uniknya itu, akhirnya dia menjadi salah satu teman terbaiknya.

“Sengaja banget. Lihat aja nanti, pasti kubalas,” timpal Alfredo.

“Lagian, wajahmu tadi serius banget waktu lagi melamun. Gimana, udah dapat wahyu baru belum?” ujar Bahtiar sedikit bercanda.

Bahtiar mengingatkan Alfredo kepada lamunannya tadi. Ya, kalau bukan karena Bahtiar yang sengaja membuatnya menunggu, mungkin Alfredo tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan seperti yang baru saja ia dapatkan tadi.

“Panjang ceritanya, Bahtiar. Tapi sederhananya, bisa dibilang kalau aku baru dapat pelajaran yang sangat berharga. Sepertinya aku harus mulai terbiasa menunggu, biar sering-sering dapat pelajaran baru seperti tadi,” jelas Alfredo mantap.

“Naah itu baru temanku, selalu optimis dan ceria! Hidup cuma sebentar kok serius mulu, ngga sempat bahagia nanti,” Bahtiar menimpali Alfredo dengan nada usil.

“Udah ah, ngga usah banyak ngobrol. Kita langsung ke gedung kulliyyah aja, syaikh sudah menunggu.” Balas Alfredo menyudahi percakapan mereka berdua. Mereka pun berjalan menuju ke kelas, seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang istimewa di hari itu, kecuali pelajaran berharga yang baru saja Alfredo dapatkan. Pelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.

Posting Komentar

0 Komentar