Sekolah kami terlanjur masyhur bahkan ketika wujudnya telah berubah seiring
ribuan tahun berganti. Meski masih tampak tradisional (kuno), citra sekolahku terus harum bagi dunia. Aku yang terlanjur menjadi bagian dari nama baik ini, merasa ingin
selalu menjaganya. Dan rasa itu tumbuh semakin kuat ketika sekolahku didatangi masalah pelik berupa pembeludakan.
Aku sudah merasakan masalah di balik pembeludakan ini sejak tiga tahun
lalu. Namun, teman-temanku menyangkalnya. Mereka bilang semuanya akan baik-baik
saja, karena bertambahnya kuantitas tidak mengharuskan penurunan kualitas. Saat
itu aku hanya bisa diam.
Semalam, napasku dibuat sesak oleh angin musim dingin dan oleh keresahan
lama yang muncul kembali. Ribuan anak lama berdatangan dari berbagai sudut
menuju ke satu titik. Aku ada di tengah kerumunan itu dari saat berjalan masuk
sampai saat duduk di bangku panjang yang telah disiapkan. Pertemuan kali ini
bukan pertemuan seperti biasa, karena sesaat lagi kami akan bertemu dengan anak
baru tahun ini.
Pintu ruang utama dibuka dan gerombolan itu masuk seperti ledakan air di
bendungan yang jebol. Mataku membisu ketika melihat mereka melangkah ke depan
lewat tengah kami para anak lama. Suara derap langkah anak baru bergema
memantul-mantul dari dinding dan lantai.
Aku tidak sangka mereka sebegitu banyaknya sampai hampir memenuhi panggung
depan. Jumlah mereka berkali-kali lipat dari angkatan sebelum-sebelumnya. Aku
tidak bisa membayangkan dengan jumlah sebanyak itu setiap anak akan melewati
ritual tahunan di sekolah kami, Hogwarts of Witchcraft and Wizardry, yaitu
seleksi asrama.
“Gryffindor!” teriak The Sorting Hat alias Topi Pemilih.
Sesekali dia menjerit, “Ravenclaw!”
Sebagian dinobatkannya menjadi penghuni: “Hufflepuff!”
Dan ada juga yang ditempatkan di ... “Slytherin!”
Anak-anak baru turun panggung dan merapat ke meja asrama masing-masing.
Yang konyol adalah, kursi panjang masing-masing asrama sudah sesak meski diberi
mantra pemanjangan. Anak baru sebagian berdiri tidak dapat ruang, karena anak
lama saja sudah berdesak-desakan.
Semestinya momen ini jadi malam yang menggembirakan. Normalnya, setiap
asrama akan bertempuk tangan riang menyambut anak barunya masing-masing. Namun,
beberapa tahun ke belakang euforia itu kehilangan semaraknya, dan tahun ini
kemeriahan itu sudah hilang sepenuhnya diganti rasa bosan.
Sang Topi Pemilih yang usianya entah berapa abad itu sampai terbatuk-batuk
kelelahan. Para guru tampak menguap, dan para murid kebanyakan tertidur dengan
pose mengukur meja. Para hantu seperti Bloody Baron dan Sir Nicholas juga sudah
undur diri karena mengantuk. Sorot mataku melesat ke arah jajaran guru yang
duduk di depan. Apakah mereka tidak merasa bahwa pembeludakan bermasalah?
Kulihat Profesor Henry Potter, Sang Kepala Sekolah, tampak kelelahan dan kebingungan
saat mendapati barisan murid barunya yang seakan tiada berujung. Kemudian arah
mataku bergeser ke arah Profesor Nancey Malfoy, salah satu guru yang selama ini
kucurigai berkonspirasi di balik pemberangkatan yang ugal-ugalan ini. Tatapan
kami bertemu untuk beberapa saat, sorot matanya yang sinis bertumbuk dengan
sorotanku yang bernyali.
Biarlah orang bilang aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi
kecurigaanku tidak mungkin tanpa dasar. Aku mengendus sesuatu yang busuk di
setiap gerak-geriknya. Apalagi ketika satu tahun ke belakang kudapati dia
sering bertemu dengan Marcus Lestrange, Direktur Kereta Hogwarts Express dari
Peron 9 ¾ yang untung besar ketika banyak murid baru yang diberangkatkan.
Aku belum cukup bernyali untuk mengadukan temuanku ke Kepala Sekolah,
karena aku belum punya cukup bukti. Namun, aku rasa kali ini sudah waktunya
bagiku untuk melaporkan kecurigaanku. Seusai seremoni penempatan anak baru, aku
akan menghadap Prof. Potter.
“Huh, at Last ... Slytherin!!!”
Bukan tepuk tangan gembira yang menyambut teriakan terakhir, tapi hembusan
napas lega diiringi putaran mata ke arah atas. Raut wajah mereka mengucap, ‘akhirnya
seremoni membosankan ini usai’. Mana marwah Hogwarts?! Katanya sekolah yang
melegenda?! Tempat belajar para penyihir hebat lintas generasi dari Albus
Percival Wulfric Brian Dumbledore, Newton Artemis Fido Scamander, sampai Harry James Potter. Melahirkan
penyihir yang mengalahkan kriminal semacam Gellert Grindelwald sampai Tom Molvo
Riddle alias Voldemort. Pencapaian yang membuat sekolah kami punya citra harum
sampai mengalahkan sekolah sihir lain seperti Beuxbatton, Dumstrang, dan
lainnya.
Ke mana kemagisan itu semua sekarang, kenapa saat dipimpin oleh buyut Harry
Potter, sekolah ini malah kehilangan tajinya?
Para murid dipimpin prefect berjalan ke asrama masing-masing. Aku
sebagai murid lama punya bekal yang cukup untuk bandel melawan arus murid-murid
lainnya. Kuputuskan untuk tetap duduk di tempat. Aku ingin mengobrol dengan
Professor Potter, aku yakin dia akan menerima iktikad baik dariku.
Sebelum ruang utama benar-benar kosong, aku maju ke meja guru. Kulihat
hanya Profesor Henry seorang yang masih menetap di sana. Jemarinya sibuk
memijat-mijat kepala yang berisikan semua urusan Hogwarts.
“Profesor ...,” panggilku.
Kepalanya mendongak, mencari siapa yang memanggilnya. Aku mendekat beberapa
langkah sampai kehadiranku memancing penglihatan Sang Kepala Sekolah. Melihatku
datang, tangannya melepas pijatan di kepala.
“Apa yang bisa saya bantu Tuan Salsburg?” tanyanya.
“Saya ingin berbicara dengan Anda, Profesor.”
Dahinya mengernyit sejenak, mata kami saling tatap. Cicit Harry Potter itu
memberiku pertanyaan retoris. “Apakah sepenting itu sampai kita harus
berbincang di jam malam seperti ini?”
“Penting sekali.”
“Tentang apa, Tuan Salsburg?”
“Apakah Anda sungguh-sungguh tahu dan menyetujui kedatangan anak baru yang
sebesar ini?”
Mendengarku mengucap itu, dia diam dan mencipta jeda untuk sekian detik.
Profesor Potter berdiri lalu berkata, “temui aku di ruanganku.” Dengan sihir,
seketika dia berubah jadi debu dan menghilang.
Aku segera berlari keluar. Ketika yang lainnya pulang ke asrama
masing-masing, aku pergi menyusuri lorong, dan mendaki tangga-tangga yang kian
bergeser demi menuju ke ruangan Kepala Sekolah. Untuk sampai ke ruangannya aku
perlu naik dari tangga yang gerbangnya adalah berhala elang.
Sherbet lemon!
Patung itu berputar ke atas, dan memunculkan tangganya yang memutar. Aku
segera naik ke atas, ke ruangan Prof. Potter.
“Sebaiknya obrolan kita malam ini memang sepenting itu, Tuan Salsburg,”
sambutnya.
“Prof, saya rasa Hogwarts kini terlalu berlebihan dalam menerima anak
baru.”
Matanya menoleh ke arahku. “Apa masalahnya jika jumlah kita bertambah.”
“Sejak jumlah murid di sekolah kita membeludak, kualitas dan kemampuan
anak-anak menurun, Prof,” kataku, “kebanyakan mereka tidak benar-benar mau
belajar sihir. Mereka yang sudah lama di sini pun masih tidak memenuhi standar.
Sesederhana mantra Levitation “wingardium leviosa” saja mereka tidak
bisa, apalagi mantra Patronous. Lantas bagaimana kita membela diri dari sihir
gelap, dan lantas apa bedanya kita dengan Muggle!”
“Tuan Salsburg, kita tidak boleh membatasi siapapun yang ingin menuntut
ilmu sihir. Siapapun boleh belajar di Hogwarts, kita tidak boleh membedakan
keturunan darah murni atau campuran, laki-laki atau perempuan. Hogwarts terbuka
selebar-lebarnya.”
“Nama baik sekolah kita sudah jatuh, Prof. Kita sudah jauh di bawah
Bouxbatton, Dumstrang, apalagi Ilvermony. Sekolah di Hogwarts tidak lagi jadi istimewa.”
“Prinsip adalah prinsip, Tuan Salsburg. Kita akan terus terbuka untuk
semuanya, bahkan tidak masalah kalau murid Hogwarts akan bertambah ribuan lagi.”
Aku menggeleng tidak percaya. Tiba-tiba kecurigaan yang terpendam keluar
dari mulutku. “Aku percaya kalau Prof. Nancey Malfoy berkonspirasi dengan Marcus
Lestrange dalam pembeludakan ini, karena—“
“Nancey Malfoy adalah guru yang kupercaya!” potongnya. “Dan karena
kepercayaan itulah kuberi dia tugas untuk mengatur penerimaan dan pemberangkatan
anak baru.”
“Tapi, Prof, mereka itu—“
“Cukup, Tuan Salsburg. Saya tidak akan berubah pikiran.”
Dengan rasa kecewa aku berbalik badan dan melangkah keluar. Dadaku panas,
karena Kepala Sekolah ternyata tidak menganggap pembeludakan ini masalah. Kutinggalkan
ruangannya dan kususuri lorong sekolah.
Kuatur napas perlahan sambil memandang ke luar jendela, berharap hati
menjela tenteram. Hembusan angin yang dingin berpadu dengan gelapnya malam.
Lukisan-lukisan yang hidup dan hantu-hantu yang berlalu-lalang membuat jalan
sedikit ramai.
Tepat sebelum aku berbelok ke arah asrama Gryfindor, kulihat dua orang
berjubah gelap sedang berdiri di taman bawah. Kudengar mereka tertawa keras
sampai suaranya merambat ke dinding-dinding. Aku putuskan untuk berbelok dari
jalur ke asrama untuk pergi ke bawah.
Puluhan anak tangga kuturuni dengan gerakan cepat. Kumantrai sepatuku
supaya decitannya tidak terdengar. Saat tiba di lantai bawah, aku segera mengendap-ngendap
di bawah gelap malam. Rerumputan hijau bergoyang seiring desir angin disiram
cahaya rembulan dan obor-obor penerangan.
Aku mencari tempat yang tepat dari jarak yang aman untuk memata-matai dua
orang mencurigakan itu. Dan betapa mataku terbelalak, saat kulihat wajah dua
orang itu, dua sosok yang kusebut-sebut namanya dari tadi. Profesor Nancey
Malfoy dan Marcus Lestrange.
Dengan sigap kukeluarkan kertas dan pena sihirku. Kumantrai perangkat itu
untuk mencatat apa yang mereka ucapkan dan menggambar adegan yang dilihatnya—sayang
aku tidak punya kamera seperti Jurnalis Elizabeth Skeeter. Setiap kata-katanya
tercatat untuk jadi bukti. Kulihat Sang Konspirator, Marcus Lestrange, menyerahkan
sekantung emas untuk menyuap Sang Pengkhianat, Nancey Malfoy. Sebuah transaksi
yang lebih gelap dari malam.
Ketika kulihat mereka telah tunai, aku bergegas pulang ke Gryffindor
membawa hasil spionase. Aku ingin cepat-cepat membeberkan temuan ini pada
temanku di asrama. Sekian langkah hening berlalu, aku sampai di pintu dan ...
Fortuna Major!
Lukisan Fat Lady pun membuka pintu. Aku melangkah masuk, dan rupanya aku
disambut oleh anak-anak baru, laki-laki dan perempuan, bercampur dan
berdesak-desakan di ruang keluarga. Kamar-kamar di dalam asrama ini ternyata
sudah tidak muat. Aku semakin bergidik melihat ironi ini. Aku harus berjalan
perlahan, menapaki lantai sempit di sela-sela tubuh mereka.
“Sst ... Aron!” Suara itu memanggilku, langkahku terhenti. Ternyata itu Robert
Dippet, dialah yang kucari.
“Dari mana kamu?!” nadanya tinggi tapi volume-nya pelan. Selaku prefect
asrama, sudah jadi tabiatnya untuk menegurku.
“Ke sinilah, Robert. Kamu harus tahu apa yang kudapati.”
Aku hiraukan tegurannya dan segera menyodorkan ‘catatan investigasiku’.
Rasa penasaran Robert mengalahkan kepentingannya sebagai prefect untuk
menegurku. Dia segera mendekat dan membaca semua kejadian yang tercacat.
“Blimey!” Sontak Robert langsung menepuk kepalanya. “Kamu tahu, aku
juga bingung bagaimana mengurusi dan membina mereka semua ini.” Tangannya
menunjuk ruang keluarga Gryfinddor yang telah membeludak.
“Benar, Robert, kita harus melakukan sesuatu.”
“Memang kita harus apa? Melaporkannya pada Profesor Potter?!”
“Tidak,” jawabku tegas. “Dia tidak akan mau percaya padaku.”
“Lantas ....”
Aku berjalan melompati beberapa tubuh yang tergeletak untuk duduk di sisi
jendela. Robert mengikuti.
“Aku akan pergi ke Menteri Sihir besok, Robert, kamu harus temani aku!”
“Are you mental?”
“Sebagai pihak yang memperhatikan pendidikan kader penyihir, mereka pasti
peduli. Aku harus melaporkan ini, kalau tidak masalah ini tidak akan dianggap
serius.”
Robert
mengangguk, menandakan dia setuju terlibat dan menandakan malam penantian tiba.
Kami menghabiskan malam di Gryffindor yang sesak sambil menunggu fajar baru
tiba dengan kelegaan.
Setelah bermusyawarah tentang jalur yang akan kami tempuh, kami putuskan
akhirnya menggunakan transportasi paling sederhana. Kami tidak akan menaiki bis
sihir dari Hogsmead atau Dufftown, apalagi naik Thestral, Hippogrif, atau sapu
terbang, tapi kami akan menggunakan Bubuk Floo.
Aku dan Robert bergantian masuk ke perut cerobongan asap. Bubuk Floo yang
hijau berkilauan itu kami genggam dan kami hempaskan di dalamnya sambil
berteriak. “Ministry of Magic!”
Api hijau menyambar tubuh kami dan seketika kami sudah ada di lorong gedung
Kementerian Sihir. Para pejabat dan birokrat kementerian hilir mudik memenuhi jalanan.
Kami menaiki lift sihir untuk ke kantor menteri. Tidak mengerti juga, dua orang
murid Hogwarts menempuh perjalanan ini demi sekolahnya. Entah sebenarnya ini
langkah berani, atau kenekadan. “Setidaknya kalau dia sungguh-sungguh peduli
dengan kualitas pendidikan penyihir yang baik, semestinya mereka tidak akan
mengabaikan kami begitu saja.” Itu isi kepalaku sekarang.
Beberapa langkah lagi kami akan sampai di pintu kantor Menteri Sihir, Tuan
Theodor Umbridge. Dialah sosok yang kami harap bisa arif memandang masalah
kami. Robert berjalan sambil menolah-noleh sekitar dan aku fokus terus ke
depan. Ternyata pintu kantor menteri terbuka, dan betapa terkejutnya kami
ketika melihat di dalamnya ternyata ...
Menteri Theodor Umbridge sedang tertawa terbahak-bahak di hadapan meja
berhidangan mewah dan genggaman tangannya sedang bersulang arak bersama Prof.
Nancey dan Marcus Lestrange. Mata Robert melotot mendapati semua yang ada di
balik pintu sana. Dadaku seketika sesak, badanku dingin, kaki yang seketika
lemas membuatku terjatuh. Jika begini, mungkin sekolahku akan ada dalam masalah
yang sama terus-menerus.
(Jika merasa cerita ini menarik,
mari ikut menyebarluaskannya!
Dan jangan lupa, novel Ilalang & Bunga akan terbit di Februari 2026!)

1 Komentar
Luar biasa sekali cerita yg ditulis oleh saudara Ihya ini. Tulisan ini bukan sekedar cerita pendek, melainkan bisa jadi ia berisikan kritik atas fenomena sosial yang ada di lingkungannya yang nyata yang dibungkus dengan serapat dan sehalus mungkin. Dan dibawakan dengan bahasa yang sangat baik.
BalasHapus