Header Ads Widget

Darussalam Catering

Sesaknya Sekolah Kami

 

Karya: Ihya

Sekolah kami terlanjur masyhur bahkan ketika wujudnya telah berubah seiring ribuan tahun berganti. Meski masih tampak tradisional (kuno), citra sekolahku terus harum bagi dunia. Aku yang terlanjur menjadi bagian dari nama baik ini, merasa ingin selalu menjaganya. Dan rasa itu tumbuh semakin kuat ketika sekolahku didatangi masalah pelik berupa pembeludakan.

Aku sudah merasakan masalah di balik pembeludakan ini sejak tiga tahun lalu. Namun, teman-temanku menyangkalnya. Mereka bilang semuanya akan baik-baik saja, karena bertambahnya kuantitas tidak mengharuskan penurunan kualitas. Saat itu aku hanya bisa diam.

Semalam, napasku dibuat sesak oleh angin musim dingin dan oleh keresahan lama yang muncul kembali. Ribuan anak lama berdatangan dari berbagai sudut menuju ke satu titik. Aku ada di tengah kerumunan itu dari saat berjalan masuk sampai saat duduk di bangku panjang yang telah disiapkan. Pertemuan kali ini bukan pertemuan seperti biasa, karena sesaat lagi kami akan bertemu dengan anak baru tahun ini.

Pintu ruang utama dibuka dan gerombolan itu masuk seperti ledakan air di bendungan yang jebol. Mataku membisu ketika melihat mereka melangkah ke depan lewat tengah kami para anak lama. Suara derap langkah anak baru bergema memantul-mantul dari dinding dan lantai.

Aku tidak sangka mereka sebegitu banyaknya sampai hampir memenuhi panggung depan. Jumlah mereka berkali-kali lipat dari angkatan sebelum-sebelumnya. Aku tidak bisa membayangkan dengan jumlah sebanyak itu setiap anak akan melewati ritual tahunan di sekolah kami, Hogwarts of Witchcraft and Wizardry, yaitu seleksi asrama.

“Gryffindor!” teriak The Sorting Hat alias Topi Pemilih.

Sesekali dia menjerit, “Ravenclaw!”

Sebagian dinobatkannya menjadi penghuni: “Hufflepuff!”

Dan ada juga yang ditempatkan di ... “Slytherin!”

Anak-anak baru turun panggung dan merapat ke meja asrama masing-masing. Yang konyol adalah, kursi panjang masing-masing asrama sudah sesak meski diberi mantra pemanjangan. Anak baru sebagian berdiri tidak dapat ruang, karena anak lama saja sudah berdesak-desakan.

Semestinya momen ini jadi malam yang menggembirakan. Normalnya, setiap asrama akan bertempuk tangan riang menyambut anak barunya masing-masing. Namun, beberapa tahun ke belakang euforia itu kehilangan semaraknya, dan tahun ini kemeriahan itu sudah hilang sepenuhnya diganti rasa bosan.

Sang Topi Pemilih yang usianya entah berapa abad itu sampai terbatuk-batuk kelelahan. Para guru tampak menguap, dan para murid kebanyakan tertidur dengan pose mengukur meja. Para hantu seperti Bloody Baron dan Sir Nicholas juga sudah undur diri karena mengantuk. Sorot mataku melesat ke arah jajaran guru yang duduk di depan. Apakah mereka tidak merasa bahwa pembeludakan bermasalah?

Kulihat Profesor Henry Potter, Sang Kepala Sekolah, tampak kelelahan dan kebingungan saat mendapati barisan murid barunya yang seakan tiada berujung. Kemudian arah mataku bergeser ke arah Profesor Nancey Malfoy, salah satu guru yang selama ini kucurigai berkonspirasi di balik pemberangkatan yang ugal-ugalan ini. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat, sorot matanya yang sinis bertumbuk dengan sorotanku yang bernyali.

Biarlah orang bilang aku terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi kecurigaanku tidak mungkin tanpa dasar. Aku mengendus sesuatu yang busuk di setiap gerak-geriknya. Apalagi ketika satu tahun ke belakang kudapati dia sering bertemu dengan Marcus Lestrange, Direktur Kereta Hogwarts Express dari Peron 9 ¾ yang untung besar ketika banyak murid baru yang diberangkatkan.

Aku belum cukup bernyali untuk mengadukan temuanku ke Kepala Sekolah, karena aku belum punya cukup bukti. Namun, aku rasa kali ini sudah waktunya bagiku untuk melaporkan kecurigaanku. Seusai seremoni penempatan anak baru, aku akan menghadap Prof. Potter.

“Huh, at Last ... Slytherin!!!”

Bukan tepuk tangan gembira yang menyambut teriakan terakhir, tapi hembusan napas lega diiringi putaran mata ke arah atas. Raut wajah mereka mengucap, ‘akhirnya seremoni membosankan ini usai’. Mana marwah Hogwarts?! Katanya sekolah yang melegenda?! Tempat belajar para penyihir hebat lintas generasi dari Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore, Newton Artemis Fido Scamander,  sampai Harry James Potter. Melahirkan penyihir yang mengalahkan kriminal semacam Gellert Grindelwald sampai Tom Molvo Riddle alias Voldemort. Pencapaian yang membuat sekolah kami punya citra harum sampai mengalahkan sekolah sihir lain seperti Beuxbatton, Dumstrang, dan lainnya.

Ke mana kemagisan itu semua sekarang, kenapa saat dipimpin oleh buyut Harry Potter, sekolah ini malah kehilangan tajinya?

Para murid dipimpin prefect berjalan ke asrama masing-masing. Aku sebagai murid lama punya bekal yang cukup untuk bandel melawan arus murid-murid lainnya. Kuputuskan untuk tetap duduk di tempat. Aku ingin mengobrol dengan Professor Potter, aku yakin dia akan menerima iktikad baik dariku.

Sebelum ruang utama benar-benar kosong, aku maju ke meja guru. Kulihat hanya Profesor Henry seorang yang masih menetap di sana. Jemarinya sibuk memijat-mijat kepala yang berisikan semua urusan Hogwarts.

“Profesor ...,” panggilku.

Kepalanya mendongak, mencari siapa yang memanggilnya. Aku mendekat beberapa langkah sampai kehadiranku memancing penglihatan Sang Kepala Sekolah. Melihatku datang, tangannya melepas pijatan di kepala.

“Apa yang bisa saya bantu Tuan Salsburg?” tanyanya.

“Saya ingin berbicara dengan Anda, Profesor.”

Dahinya mengernyit sejenak, mata kami saling tatap. Cicit Harry Potter itu memberiku pertanyaan retoris. “Apakah sepenting itu sampai kita harus berbincang di jam malam seperti ini?”

“Penting sekali.”

“Tentang apa, Tuan Salsburg?”

“Apakah Anda sungguh-sungguh tahu dan menyetujui kedatangan anak baru yang sebesar ini?”

Mendengarku mengucap itu, dia diam dan mencipta jeda untuk sekian detik. Profesor Potter berdiri lalu berkata, “temui aku di ruanganku.” Dengan sihir, seketika dia berubah jadi debu dan menghilang.

Aku segera berlari keluar. Ketika yang lainnya pulang ke asrama masing-masing, aku pergi menyusuri lorong, dan mendaki tangga-tangga yang kian bergeser demi menuju ke ruangan Kepala Sekolah. Untuk sampai ke ruangannya aku perlu naik dari tangga yang gerbangnya adalah berhala elang.

Sherbet lemon!

Patung itu berputar ke atas, dan memunculkan tangganya yang memutar. Aku segera naik ke atas, ke ruangan Prof. Potter.

“Sebaiknya obrolan kita malam ini memang sepenting itu, Tuan Salsburg,” sambutnya.

“Prof, saya rasa Hogwarts kini terlalu berlebihan dalam menerima anak baru.”

Matanya menoleh ke arahku. “Apa masalahnya jika jumlah kita bertambah.”

“Sejak jumlah murid di sekolah kita membeludak, kualitas dan kemampuan anak-anak menurun, Prof,” kataku, “kebanyakan mereka tidak benar-benar mau belajar sihir. Mereka yang sudah lama di sini pun masih tidak memenuhi standar. Sesederhana mantra Levitation “wingardium leviosa” saja mereka tidak bisa, apalagi mantra Patronous. Lantas bagaimana kita membela diri dari sihir gelap, dan lantas apa bedanya kita dengan Muggle!

“Tuan Salsburg, kita tidak boleh membatasi siapapun yang ingin menuntut ilmu sihir. Siapapun boleh belajar di Hogwarts, kita tidak boleh membedakan keturunan darah murni atau campuran, laki-laki atau perempuan. Hogwarts terbuka selebar-lebarnya.”

“Nama baik sekolah kita sudah jatuh, Prof. Kita sudah jauh di bawah Bouxbatton, Dumstrang, apalagi Ilvermony. Sekolah di Hogwarts tidak lagi jadi istimewa.”

“Prinsip adalah prinsip, Tuan Salsburg. Kita akan terus terbuka untuk semuanya, bahkan tidak masalah kalau murid Hogwarts akan bertambah ribuan lagi.”

Aku menggeleng tidak percaya. Tiba-tiba kecurigaan yang terpendam keluar dari mulutku. “Aku percaya kalau Prof. Nancey Malfoy berkonspirasi dengan Marcus Lestrange dalam pembeludakan ini, karena—“

“Nancey Malfoy adalah guru yang kupercaya!” potongnya. “Dan karena kepercayaan itulah kuberi dia tugas untuk mengatur penerimaan dan pemberangkatan anak baru.”

“Tapi, Prof, mereka itu—“

“Cukup, Tuan Salsburg. Saya tidak akan berubah pikiran.”

Dengan rasa kecewa aku berbalik badan dan melangkah keluar. Dadaku panas, karena Kepala Sekolah ternyata tidak menganggap pembeludakan ini masalah. Kutinggalkan ruangannya dan kususuri lorong sekolah.

Kuatur napas perlahan sambil memandang ke luar jendela, berharap hati menjela tenteram. Hembusan angin yang dingin berpadu dengan gelapnya malam. Lukisan-lukisan yang hidup dan hantu-hantu yang berlalu-lalang membuat jalan sedikit ramai.

Tepat sebelum aku berbelok ke arah asrama Gryfindor, kulihat dua orang berjubah gelap sedang berdiri di taman bawah. Kudengar mereka tertawa keras sampai suaranya merambat ke dinding-dinding. Aku putuskan untuk berbelok dari jalur ke asrama untuk pergi ke bawah.

Puluhan anak tangga kuturuni dengan gerakan cepat. Kumantrai sepatuku supaya decitannya tidak terdengar. Saat tiba di lantai bawah, aku segera mengendap-ngendap di bawah gelap malam. Rerumputan hijau bergoyang seiring desir angin disiram cahaya rembulan dan obor-obor penerangan.

Aku mencari tempat yang tepat dari jarak yang aman untuk memata-matai dua orang mencurigakan itu. Dan betapa mataku terbelalak, saat kulihat wajah dua orang itu, dua sosok yang kusebut-sebut namanya dari tadi. Profesor Nancey Malfoy dan Marcus Lestrange.

Dengan sigap kukeluarkan kertas dan pena sihirku. Kumantrai perangkat itu untuk mencatat apa yang mereka ucapkan dan menggambar adegan yang dilihatnya—sayang aku tidak punya kamera seperti Jurnalis Elizabeth Skeeter. Setiap kata-katanya tercatat untuk jadi bukti. Kulihat Sang Konspirator, Marcus Lestrange, menyerahkan sekantung emas untuk menyuap Sang Pengkhianat, Nancey Malfoy. Sebuah transaksi yang lebih gelap dari malam.

Ketika kulihat mereka telah tunai, aku bergegas pulang ke Gryffindor membawa hasil spionase. Aku ingin cepat-cepat membeberkan temuan ini pada temanku di asrama. Sekian langkah hening berlalu, aku sampai di pintu dan ...

Fortuna Major! 

Lukisan Fat Lady pun membuka pintu. Aku melangkah masuk, dan rupanya aku disambut oleh anak-anak baru, laki-laki dan perempuan, bercampur dan berdesak-desakan di ruang keluarga. Kamar-kamar di dalam asrama ini ternyata sudah tidak muat. Aku semakin bergidik melihat ironi ini. Aku harus berjalan perlahan, menapaki lantai sempit di sela-sela tubuh mereka.

“Sst ... Aron!” Suara itu memanggilku, langkahku terhenti. Ternyata itu Robert Dippet, dialah yang kucari.

“Dari mana kamu?!” nadanya tinggi tapi volume-nya pelan. Selaku prefect asrama, sudah jadi tabiatnya untuk menegurku.

“Ke sinilah, Robert. Kamu harus tahu apa yang kudapati.”

Aku hiraukan tegurannya dan segera menyodorkan ‘catatan investigasiku’. Rasa penasaran Robert mengalahkan kepentingannya sebagai prefect untuk menegurku. Dia segera mendekat dan membaca semua kejadian yang tercacat.

Blimey!” Sontak Robert langsung menepuk kepalanya. “Kamu tahu, aku juga bingung bagaimana mengurusi dan membina mereka semua ini.” Tangannya menunjuk ruang keluarga Gryfinddor yang telah membeludak.

“Benar, Robert, kita harus melakukan sesuatu.”

“Memang kita harus apa? Melaporkannya pada Profesor Potter?!”

“Tidak,” jawabku tegas. “Dia tidak akan mau percaya padaku.”

“Lantas ....”

Aku berjalan melompati beberapa tubuh yang tergeletak untuk duduk di sisi jendela. Robert mengikuti.

“Aku akan pergi ke Menteri Sihir besok, Robert, kamu harus temani aku!”

“Are you mental?”

“Sebagai pihak yang memperhatikan pendidikan kader penyihir, mereka pasti peduli. Aku harus melaporkan ini, kalau tidak masalah ini tidak akan dianggap serius.”

Robert mengangguk, menandakan dia setuju terlibat dan menandakan malam penantian tiba. Kami menghabiskan malam di Gryffindor yang sesak sambil menunggu fajar baru tiba dengan kelegaan.

Setelah bermusyawarah tentang jalur yang akan kami tempuh, kami putuskan akhirnya menggunakan transportasi paling sederhana. Kami tidak akan menaiki bis sihir dari Hogsmead atau Dufftown, apalagi naik Thestral, Hippogrif, atau sapu terbang, tapi kami akan menggunakan Bubuk Floo.

Aku dan Robert bergantian masuk ke perut cerobongan asap. Bubuk Floo yang hijau berkilauan itu kami genggam dan kami hempaskan di dalamnya sambil berteriak. “Ministry of Magic!”

Api hijau menyambar tubuh kami dan seketika kami sudah ada di lorong gedung Kementerian Sihir. Para pejabat dan birokrat kementerian hilir mudik memenuhi jalanan. Kami menaiki lift sihir untuk ke kantor menteri. Tidak mengerti juga, dua orang murid Hogwarts menempuh perjalanan ini demi sekolahnya. Entah sebenarnya ini langkah berani, atau kenekadan. “Setidaknya kalau dia sungguh-sungguh peduli dengan kualitas pendidikan penyihir yang baik, semestinya mereka tidak akan mengabaikan kami begitu saja.” Itu isi kepalaku sekarang.

Beberapa langkah lagi kami akan sampai di pintu kantor Menteri Sihir, Tuan Theodor Umbridge. Dialah sosok yang kami harap bisa arif memandang masalah kami. Robert berjalan sambil menolah-noleh sekitar dan aku fokus terus ke depan. Ternyata pintu kantor menteri terbuka, dan betapa terkejutnya kami ketika melihat di dalamnya ternyata ...

Menteri Theodor Umbridge sedang tertawa terbahak-bahak di hadapan meja berhidangan mewah dan genggaman tangannya sedang bersulang arak bersama Prof. Nancey dan Marcus Lestrange. Mata Robert melotot mendapati semua yang ada di balik pintu sana. Dadaku seketika sesak, badanku dingin, kaki yang seketika lemas membuatku terjatuh. Jika begini, mungkin sekolahku akan ada dalam masalah yang sama terus-menerus.

 

(Jika merasa cerita ini menarik, mari ikut menyebarluaskannya!
Dan jangan lupa, novel
Ilalang & Bunga akan terbit di Februari 2026!)

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Luar biasa sekali cerita yg ditulis oleh saudara Ihya ini. Tulisan ini bukan sekedar cerita pendek, melainkan bisa jadi ia berisikan kritik atas fenomena sosial yang ada di lingkungannya yang nyata yang dibungkus dengan serapat dan sehalus mungkin. Dan dibawakan dengan bahasa yang sangat baik.

    BalasHapus