Header Ads Widget

Darussalam Catering

Bimbel di Bawah Mikroskop: Obat atau Virus?


Bismillahirrahmanirrahim

Azan salat Zuhur membangunkan Bima sebelum pukul dua belas. Hawa dingin berusaha menembus pertahanan selimut yang membungkus tubuhnya. Bima terlelap, tertidur setelah menatap tumpukan muqarar yang belum lama ia beli. Lembar-lembarnya masih suci, persis sebagaimana dia menerimanya pertama kali. Sembari berwudhu untuk menunaikan salat, Bima teringat sesuatu. Aku belum punya persiapan buat ujian.

Setelah salat, Bima mulai membuka grup-grup WhatsApp dan menyadari bahwa sekarang adalah zona abu-abu. Kuliah masih berlanjut dan para dosen belum memberitahu tahdidan dan bab-bab yang malghi. Di sisi lain, talkhisan-talkhisan gacor belum banyak bermunculan.

Sebenarnya aku kuliah lumayan rajin, tapi memang masih banyak yang belum paham. Harus ngapain sekarang, ya?

Muncullah sebuah poster di salah satu grup. Poster dengan warna yang benderang dan tulisan-tulisan yang besar. “BIMBEL MUQARAR”, di paling atas. Terlihat foto seseorang yang berdiri gagah mengenakan kakula dengan menyandang gelar Lc. Dipl. Inikah bala bantuan akademisku?

Bimbel di Mesir dapat kita temukan di mana-mana. Namun, yang tak kalah banyak dengan jumlah bimbel itu adalah komentar terhadapnya. Realita ini membuat bimbel hangat dibicarakan setiap musim ujian akan tiba. Kebutuhan akan suatu bantuan untuk persiapan ujian itu nyata. Ketika bimbel datang untuk menjawab kebutuhan itu, ternyata banyak pro dan kontra yang bermunculan, terutama setelah ia menjadi marak di kalangan Masisir. Lantas mengapa suatu hal yang diharap menjadi solusi bagi banyak orang, seperti Bima, bisa menuai begitu banyak kritik? Sebelum kita menyelam lebih dalam, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bimbel dan mengidentifikasi perbedaan bimbel Masisir dengan yang ada di Indonesia.

Bukan seperti Bimbel di Indonesia

Secara umum, bimbel–singkatan dari bimbingan belajar–adalah sebuah kegiatan yang membantu peserta dalam memahami pelajaran dan memperkuat apa yang didapatkan dari lembaga pendidikan formal. Namun menurut istilah Masisir, bimbel merupakan kegiatan di mana pengajar menjelaskan kembali diktat kuliah untuk membantu mahasiswa mempersiapkan ujian di Al-Azhar.

Berarti bimbel dengan makna yang umum merupakan suatu hal yang lumrah di dunia pendidikan. Di mana ada demand selalu ada supply. Di mana ada siswa-siswa yang butuh dukungan dalam belajar, biasanya di situ ada bimbel yang menjadi salah satu solusinya. Di Mesir pun, keadaannya tidak jauh berbeda. Masih banyak mahasiswa yang sedang kesulitan berkutat dengan diktat. Wajar saja apabila poster bimbel kita temukan di mana-mana. Setiap musim ujian, ada saja bimbel yang baru muncul.

Di Indonesia, bimbel pada umumnya banyak dibutuhkan oleh siswa sekolah dasar hingga menengah atas sebagai sarana belajar untuk menghadapi ujian di sekolah dan seleksi masuk perguruan tinggi. Pengajar bimbel di Indonesia biasanya memiliki latar pendidikan minimal strata satu atau magister dalam bidang pendidikan, dan menggunakan beberapa metode efektif dalam mengajar. Di antaranya ialah dengan menjelaskan materi secara terperinci, tanya jawab dengan peserta bimbel, dan juga latihan soal, sehingga peserta bimbel memahami materi dengan mudah dan mampu mengembangkan daya pikir.

Berbeda dengan bimbel di Indonesia yang umumnya dibutuhkan oleh para siswa, bimbel di Mesir justru hadir untuk membantu para mahasiswa dalam memahami diktat kuliah dan juga menghadapi ujian termin di Universitas Al-Azhar. Mayoritas pengajar bimbel di kalangan masisir menggunakan metode ceramah saat mengajar—menjelaskan diktat kuliah dengan Bahasa Indonesia dan kemudian meringkasnya. Mereka pun cenderung lebih fleksibel dalam mengajar karena tidak terlalu terikat dengan standarisasi pengajar, sehingga mereka tidak dibatasi dengan kualifikasi strata satu atau magister saja, tetapi juga dari mahasiswa semester akhir yang tengah menempuh pendidikan strata satu di Universitas Al-Azhar. 

Dengan mendapatkan gambaran umum mengenai bagaimana bimbel dipahami dan dijalani oleh para Masisir, dapat dilihat bahwa bimbel muqarar telah menjadi salah satu kebutuhan penting bagi mahasiswa. Banyak dari mereka yang merasa terbantu dengan adanya bimbel, terutama dalam memahami muqarar secara lebih mudah dan terarah. Namun, kebutuhan ini tidak datang tanpa sebab, ia muncul sebagai jawaban atas berbagai kesulitan dan latar belakang mahasiswa yang berbeda-beda, mulai dari adaptasi bahasa, tuntutan akademik, hingga manajemen waktu yang tidak selalu mudah.

Di sisi lain, keberadaan bimbel tidak lepas dari beragam respons dan tanggapan. Fenomena ini menimbulkan sejumlah problem yang sering menjadi bahan diskusi di kalangan Masisir. Di antaranya adalah; anggapan bahwa bimbel telah menggantikan peran kuliah, kekhawatiran terhadap bimbel yang mungkin dapat mengurangi kemandirian belajar mahasiswa, kritik terhadap komersialisasi lembaga bimbel, serta pertanyaan apakah metode bimbel benar-benar efektif. Hal-hal ini membuat kita perlu menelisik lagi, sebenarnya bagaimana realita yang terjadi pada kondisi Masisir dan kaitannya dengan kebutuhan mereka terhadap bimbel.

Bercermin pada Realitas

Untuk mendedahkan kenyataan yang terjadi di kalangan Masisir, Tim Investigasi Pendar mengadakan survei yang telah diikuti oleh 117 responden dari berbagai kalangan Masisir. Di samping itu, Tim Investigasi Pendar juga menemui beberapa narasumber dari pemangku kebijakan dan penyelenggara bimbel. Adapun pihak-pihak yang telah kami temui adalah sebagai berikut:

  1. Menteri Koordinator Bidang Pendidikan PPMI

  2. Manhaj Ilmu Course

  3. Muslim Cendekia Center

Kami juga telah menghubungi Hiwar Bimbel Mastery, namun pihak mereka belum bersedia menjadi narasumber dengan alasan mempersiapkan pengadaan bimbel.

Kita menyadari bahwa ada banyak persoalan dan beragam tanggapan seputar bimbel. Perdebatan mengenai efektivitas, independensi, dan komersialisasi bimbel adalah hal yang wajar. Namun, yang perlu senantiasa kita ingat adalah pada kenyataannya, mayoritas Masisir saat ini memang mengikuti bimbel. Berdasarkan survei yang kami adakan, 98 dari 117 responden pernah atau sedang mengikuti bimbel. Angka yang fantastis ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan bantuan persiapan menghadapi ujian di Al-Azhar itu ada, nyata, dan besar. Jangan mengira kita hidup di lingkungan pelajar yang utopis–sebuah gambaran ideal yang jauh dari realitas.

Fakta di lapangan menunjukkan, fenomena bimbel ini tidak terbatas pada fakultas tertentu. Peserta bimbel yang kami survei tersebar hampir di semua fakultas, mulai dari Ushuluddin, Syariah wal Qanun, Lughah Arabiyyah, Dirasat Islamiyyah, bahkan Kedokteran, Psikologi dan Lughoh wa Tarjamah. Data ini menegaskan bahwa bimbel adalah respons kolektif terhadap tantangan akademik Al-Azhar yang dirasakan hampir semua Masisir.

Mungkin ada yang berasumsi bahwa bimbel hanya relevan untuk mahasiswa baru yang masih kesulitan beradaptasi. Namun, temuan dari survei kami berkata sebaliknya. Mayoritas peserta bimbel, yaitu 50,4%, justru berasal dari mahasiswa tingkat dua. Ditambah lagi, 29.9% partisipan berasal dari tingkat tiga dan empat. Data ini mempertegas bahwa kebutuhan akan dukungan belajar tambahan bukanlah isu adaptasi sesaat, melainkan kebutuhan berkelanjutan di berbagai tingkat perkuliahan.

Keragaman motivasi untuk mengikuti bimbel juga sangat jelas. Orang memiliki banyak alasan, mulai dari keinginan untuk memperdalam materi, mengejar ketertinggalan, hingga mengatasi kesulitan memahami materi kuliah yang disampaikan dalam bahasa ‘Amiyyah. Bahkan bagi sebagian orang, biaya tidak menghalangi upaya mendapatkan bantuan untuk persiapan ujian; mayoritas responden (60,2%) menyatakan mereka mengikuti bimbel berbayar dan menilai biaya tersebut sepadan dengan manfaat serta kualitas yang didapatkan.

Oleh karena itu, sebelum kita menanggapi berbagai problematika yang menyertai bimbel, kita harus senantiasa objektif dan realistis dalam memandangnya. Popularitas masif bimbel ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah respons langsung terhadap kompleksitas realitas akademik yang dihadapi Mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar. 


Lulusan Azhar atau Lulusan Bimbel?

Kalimat retoris yang acap terdengar dan secara tidak langsung menjadi beban moral bagi mahasiswa Al-Azhar aktif di lima tahun terakhir ini adalah: Antum ke Mesir mau jadi lulusan Azhar atau lulusan bimbel? 

Jelas dengan tegas kita menafikan pilihan yang kedua, sebab demi menjadi mahasiswa Azhar lah kita sekarang berada di Mesir. Namun, melihat realita masa kini—yang mana banyak mahasiswa tidak berangkat ke kampus—dan memilih cukup dengan hanya menghadiri bimbel untuk memahami pelajaran kuliah, ini yang perlu direkonstruksi dan menjadi evaluasi bersama.

Secara fundamental, jelas kuliah di kampus dengan belajar di bimbel adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya bukan objek perbandingan yang setara, atau dalam istilah anak zaman sekarang, tidak apple to apple. Kuliah dengan esensinya, yaitu bertatap muka langsung dengan dosen mata kuliah, mengetahui bahasan materi dan batasan-batasan pelajaran, dosen menafsirkan diktat dan menautkannya dengan ilmu praktis yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah sehari-hari, serta mahasiswa dapat memperoleh mufradat dan pengetahuan yang hanya disampaikan oleh sang dosen. Sementara bimbel, berperan sebagai pendukung pembelajaran agar lebih memahami diktat kuliah, serta lebih siap menghadapi ujian. 

Maka dengan kondisi itu, batal hukumnya bila mengatakan bimbel dapat menggantikan kuliah secara lahiriah. Tapi apakah cukup dengan fakta secara tekstual saja? Lalu bagaimana membantah “ke Mesir sebagai lulusan Azhar atau lulusan bimbel” tersebut?

Secara hakiki, belajar di kampus tidak akan pernah tergantikan dengan apa pun yang menyerupainya. Namun secara kontekstual, mahasiswa sering salah kaprah menggantungkan sistem belajarnya hanya pada bimbel, tanpa mengikuti perkembangan di kelas.

Pada November lalu, kami berkesempatan menemui Bapak Fery Ramdhansyah, Lc., MA., Ph.D. selaku pendiri dan mentor bimbel MCC (Muslim Cendekia Center) yang menyatakan bahwa ia ingin mengembalikan fitrah mahasiswa yaitu berkuliah. Maka dengan alasan tersebut, ia sengaja mengadakan bimbel pada sore hari pasca kegiatan belajar di kampus. “Bila mahasiswa belum paham di kelas, maka bisa memperdalamnya ketika bimbel.” Begitulah pendapat dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Al-Azhar itu.

Hal ini sependapat dengan Ahmad Mawardi, Lc. yang mengatakan bahwa setiap penyelenggara bimbel tentunya ingin mengarahkan kepada hal baik. Maka siapa pun yang berperan sebagai guru bimbel hendaknya memotivasi peserta untuk pergi kuliah, kemudian mencoba memahami penjelasan dosen. Jika belum paham, bolehlah bertanya ketika bimbel. Itu yang paling bagus menurutnya.

“Bimbel itu bukan kuliah ulang, tapi menyederhanakan poin-poin penting di materi perkuliahan.” Menko Pendidikan itu turut menanggapi kekeliruan umum terhadap sumber memperoleh ilmu ini. Ia juga mengatakan bahwa bimbel bukan sebagai fasilitator orang malas kuliah. Ia tidak menafikan teman-teman yang nyambi kerja di Mesir, atau memiliki kesibukan lainnya, tapi coba sisihkan waktu untuk melakukan kegiatan keilmuan.

Dengan pemaparan tersebut, mahasiswa masih berkesempatan untuk eksis sebagai ‘mahasiswa Al-Azhar’ bila ia aktif mengikuti agenda belajar di kampus. Lagipula, dengan berangkat kuliah, tidak hanya pemahaman diktat yang diperoleh, melainkan lingkungan belajar Bahasa Arab yang kondusif bersama rekan-rekan mahasiswa lokal Mesir maupun pelajar asing dari berbagai negara. Karena toh masalah utama tergeserkannya kuliah dengan bimbingan belajar ialah minimnya pemahaman terhadap bahasa yang digunakan dalam diktat kampus Al-Azhar, yaitu penggunaan Bahasa Arab.

Dilema Penganut Bimbel

Sejumlah orang beranggapan bahwa bimbel cenderung mengurangi kemandirian seseorang dalam belajar. Sebab sejauh ini, peserta bimbel hanya perlu duduk manis dengan konsentrasi penuh, mendengar dan mencatat penjelasan mentor yang menerjemahkan diktat dengan metode teacher-centered. Metode pembelajaran yang berpusat pada guru, di mana guru sebagai sumber utama informasi dan pengontrol penuh kelas, sementara murid cenderung pasif.

Mentor pun sangat relatif, seperti yang dikatakan Pak Fery, belum tentu pengajar dengan CV berisi segudang pengalaman mengajar dan menguasai suatu bidang keilmuan mampu dan cocok membimbing mentee di kelas dengan kapasitas tertentu. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada seberapa besar tingkat pemahaman sampai kepada peserta bimbel atau mentee tersebut. Karena seperti yang kami peroleh dari hasil survei, tidak sedikit teman-teman mahasiswa mengeluhkan mentor bimbel yang kurang menguasai pengajaran. Akibatnya membuat mentee kecewa dan lebih buruknya, tidak menyukai mata kuliah tertentu.

Belajar itu adalah kegiatan yang sangat personal. Artinya setiap mahasiswa pasti memiliki cara belajar yang menurutnya paling efektif, entah belajar mandiri dari awal hingga akhir, ataupun berinisiatif mengikuti bimbel tambahan. Mahasiswa yang memutuskan ikut bimbel pun tetap perlu mengulang mandiri bahasan diktat untuk menghafal dan memperdalam materi. Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa tetap memiliki rasa tanggungjawab terhadap pemahamannya, yang berarti ia tetap memiliki sisi kemandirian dalam belajar.

Menurut narasumber, jika tolok ukur sebuah kemandirian belajar adalah sebagaimana tahun 2010 ke bawah; dituntut membaca mandiri muqarar atau buku-buku turats, berpikir kritis, terkayakan dengan diskusi—maka tahun-tahun belakangan wajar dianggap mengalami pergeseran dengan tertutupnya pintu-pintu inisiatif di atas. Sudah terlalu beragam orientasi yang dibawa oleh mahasiswa asal Indonesia saat ini, dan tujuannya tidak mungkin seragam lagi. Maka inilah akar masalahnya.

Sejak awal metode Al-Azhar memang teacher-centered, mungkin berbeda dengan perkuliahan di Indonesia pada umumnya yang terbiasa menerapkan metode learner-centered, yaitu fokus terhadap interaksi antar murid-guru atau sesama murid. Tidak hanya mendengarkan, murid lebih aktif menyelesaikan proyek, presentasi, dan kerja kelompok yang menuntut mereka mandiri.

Absennya budaya tersebut dari lingkungan kita sedikitnya pasti berpengaruh pada pola pikir dan mental seorang mahasiswa. Seperti yang sempat disampaikan Mawardi November lalu, salah satu solusi yang dapat diusahakan adalah sosialisasi dari para mentor—yang notabenenya adalah senior di Mesir—untuk tidak terbiasa mendikte dan menyuapi mahasiswa, disertai permintaan agar mereka masuk kuliah dan berusaha memahami materi sendiri terlebih dahulu. Hal tersebut selaras dengan kalimatnya yang dikutip dari Duktur Yasir—dosen balaghah tingkat dua. Beliau mengatakan, “Udrus likay ta’lam laa likay tanjah.” Belajarlah supaya kamu tahu, bukan supaya kamu lulus.

“Selama kegiatan belajar seperti itu bermanfaat, saya yakin, dakatirah akan mengapresiasi para guru bimbel itu,” ujar Bang Mawardi pada suatu sore di dekat masjid Khodrowi.

Bimbel: Kontribusi atau Komoditas?

Hukum Newton III menjelaskan bahwa setiap aksi akan menimbulkan reaksi yang sama besar, tetapi berlawanan arah. Saat seekor burung mengepakkan sayapnya, ia mendorong sedang mendorong udara ke bawah. Lantas, udara itu akan mendorong burung ke atas sebagai reaksinya. Ini merupakan sebuah keniscayaan. Namun bila kita renungi kembali, Hukum aksi-reaksi itu tidak berlaku hanya dalam pandangan fisika, melainkan nyata di setiap perbuatan kita. Selalu ada timbal balik; selalu memiliki konsekuensi. Sepertinya, di antara konsekuensi dari adanya bimbel yang berbayar adalah munculnya komentar seperti, “Alah, itu bimbel mau ngajar apa mau bisnis?”

Komersialisasi dalam bidang pendidikan merupakan fenomena global yang terjadi dalam seluruh level pendidikan. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Edu-Religia, menjelaskan bahwa komersialisasi pendidikan adalah ketika sebuah lembaga pendidikan dibuat menjadi institusi komersial dan menerapkan prinsip perilaku produsen; tujuan produksi adalah memaksimalkan profit. Dalam buku Malpraktik Pendidikan, Agus Wibowo juga menambahkan bahwa dalam komersialisasi pendidikan, ada unsur mengabaikan kewajiban yang harus diberikan kepada siswa.

Di sisi lain, ada satu bidang yang dianggap dikomersialisasi dan menuai banyak kritikan: Agama. Pendakwah, guru TPA, dan profesi-profesi lain yang berkaitan dengan agama yang dianggap tidak perlu mendapatkan bayaran dengan dalih ‘tugas yang mulia’ dan ‘penuh keikhlasan’. Lalu bagaimana dengan bimbel Masisir? Sudahlah jasa mengajar, yang diajarkan pelajaran agama lagi. Kombinasi yang sempurna. Namun, apa betul bimbel dikomersialisasi?

Melalui pemahaman kita terhadap arti komersialisasi tadi, kita menemukan dua kata kunci: memaksimalkan profit dan mengabaikan kewajiban. Nyaris mustahil sebuah lembaga penyelenggara bimbel mengakui secara eksplisit memiliki motif bisnis dan melakukan praktik komersialisasi. Namun, kita memiliki beberapa indikator yang dapat membantu kita menjawab hal itu. Mari kita lihat hasil surveinya.

Dari 98 responden yang menyatakan pernah ikut bimbel, 61% mengikuti bimbel yang berbayar. Ternyata, kendati banyaknya opsi bimbel yang gratis, bimbel berbayar tidak juga sepi peminat. Mendukung hal itu, survei Pendar menemukan bahwa 45% berkata bahwa uang yang dikeluarkan dan manfaat yang didapat sangat sepadan (5 bintang) dan 27% menjawab sepadan (4 bintang). Pengajar yang kompeten, pelajaran yang tak hanya diterjemahkan tapi juga diperdalam, adanya rekaman, dan fasilitas yang nyaman; itu merupakan beberapa jawaban mereka yang puas dengan bimbel berbayar.

Hasil survei mengindikasikan bahwa penyelenggara bimbel masih memperhatikan kualitas layanan mereka. Walau tidak bebas kritik, tapi secara umum, kepuasan peserta bimbel berbayar terhitung tinggi. Namun, apakah bimbel berusaha memaksimalkan profit?

Pak Fery menyampaikan bahwa MCC sudah berkali-kali ditanya apakah mereka menjual rekaman atau talkhisan. “Saya jawabnya sederhana, sambil bercanda saya bilang, ‘Saya bukan artis. Kalau misalnya saya artis, saya jual rekaman, saya untung. Dan pokoknya kita gak mau.’” Beliau juga menambahkan bahwa peserta yang terkendala secara ekonomi dan mau mengomunikasikan kepada beliau akan digratiskan mengikuti bimbel. Syaratnya satu, rajin hadir dan belajar.

Kedua narasumber dari MCC dan Manhaj Ilmu Course menyampaikan bahwa biaya yang dikenakan kepada peserta digunakan digunakan untuk mengoptimalkan jalannya bimbel, seperti biaya sewa flat dan upah pengajar. Mawardi juga menambahkan bahwa pembayaran dapat bertujuan untuk menuntut keseriusan peserta. Konsep seperti ini digunakan oleh berbagai Senat Mahasiswa yang mengadakan bimbel dengan uang jaminan, di mana peserta dengan minimal 80% kehadiran akan mendapatkan kembali uang jaminan itu secara utuh.

Di samping itu, Manhaj Ilmu memiliki cabang yang bernama Manhaj Ilmu Enterprise yang bergerak di bidang usaha yang meliputi jasa pengurusan tiket pesawat, bagasi, penjualan buku, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian finansial yang dimiliki oleh Manhaj Ilmu tidak menjadikan profit bimbel sebagai tonggak berdirinya secara mutlak.

Menanggapi pernyataan bahwa bimbel itu dikomersialisasi, hasil survei dan wawancara Tim Pendar justru tidak mengamini itu. Memang, kita banyak menemukan bimbel yang berbayar. Namun menetapkan harga tidak sama dengan konsep komersialisasi yang telah kita pahami tadi. Kembali ke Hukum Newton III, pembayaran merupakan timbal balik dari usaha penyelenggara dalam mengadakan bimbel. Butuh lebih banyak bukti yang konkrit untuk dapat menghukumi semua penyelenggara bimbel sebagai pedagang pemahaman yang menyalahi dan merendahkan martabat ilmu.

 

Apakah Bimbel Obat Paling Mujarab?

Telah diutarakan di atas bahwa belajar adalah kegiatan yang personal sekali. Walau ada orang yang terlihat pintar dengan nilai yang konsisten memuaskan, bukan berarti semua orang dapat meniru hasilnya dengan hanya mengikuti cara belajarnya. Cara belajar terbaik adalah mengenali gaya belajar diri sendiri. Menurut Syihabuddin Alawy, Lc., Dipl., Direktur Manhaj Ilmu Course, bimbel hanya menjadi ‘salah satu’ cara belajar terbaik untuk menghadapi ujian, bukan satu-satunya. Sebab setiap orang memiliki kemampuan memahami yang berbeda dengan orang lainnya.

Mendukung pernyataan tersebut, konsep populer mengenai gaya belajar yang dikenal dengan model VARK (Visual, Aural (Auditori), Read/Write, Kinesthetic) dikembangkan Neil Fleming pada 1992. Konsep ini membantu individu mengenali preferensi belajar mereka sehingga dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Apakah seseorang merupakan pembelajar secara visual, gambar dan warna? Ataukah ia sosok auditori yang mengandalkan pendengaran? Atau mungkin pembaca dan perangkum handal? dan bisa jadi belajar dengan pengalaman berinteraksi langsung (learning by doing) sebagai pelajar taktil. Gaya belajar ini adalah hal pertama yang penting untuk dikenali, agar setelahnya seseorang dapat memutuskan bagaimana selanjutnya tahapan pembelajarannya.

Alih-alih mengatakannya sebagai salah satu cara terbaik, Pak Fery justru dengan mantap mengatakan bahwa bimbel adalah cara terbaik untuk persiapan ujian. Lantaran terdapat cara persiapan lainnya seperti mabar (mudzakarah bareng), maupun membaca diktat mandiri.

Ia berpendapat bahwa ketika menjelang ujian, tidak ada cukup waktu lagi untuk mabar yang majelisnya diisi oleh teman seperjuangan dan belajar di kelas yang sama. Karena level dan pengalaman satu sama lain dianggap tidak jauh berbeda, akan sulit bila menemukan permasalahan yang sedikit rumit di dalam diktat kuliah. Khawatir membuat mereka bagai melaut tapi tak ada hasil–alias berusaha mencari jawaban, tetapi tidak memperoleh informasi yang dibutuhkan. Beda halnya bila bertanya dengan senior yang lebih berpengalaman.

Pendapat tersebut didasari dengan anggapan bahwa bila seseorang tidak mengatur waktunya dengan baik untuk belajar dari jauh hari, maka ia akan kewalahan ketika hari ujian mulai menjumpai.

Walaupun sejak awal seseorang memiliki niat murni untuk mempelajari suatu ilmu, jika tidak dicicil setiap hari maka hanya akan berakhir ‘belajar untuk ujian’. Lagipula ilmunya belum tentu betul-betul diperoleh, karena waktu yang singkat membuat orang terpaksa menggunakan talkhisan. Melihat fenomena ini, MCC menjadi pelopor bagi bimbel yang diadakan di masa awal tahun ajaran untuk menunjang pembelajaran di kampus. Kemudian disusul Melati yang paling dekat muncul setelah MCC, dan disambut kemunculan Rumah Hiwar, serta lembaga bimbel lainnya.

Kenapa bimbel baru marak akhir-akhir ini? Mengapa tidak ada sejak dulu? Karena dahulu, orientasi seseorang mengikuti bimbel memang hanya sebatas persiapan menghadapi ujian. “Sementara orientasi MCC khususnya adalah untuk mendampingi mahasiswa belajar,” pungkas penggagas Muslim Cendekia Center itu.

Dari dua perspektif tersebut, kita mendapati bahwa bimbel bisa menjadi obat mujarab bagi yang merasa cocok dengan metode tersebut. Pada akhirnya, setiap orang bebas memilih cara belajar yang sesuai dengan kapasitasnya.

 

Diagnosa Akhir

Setelah meletakkan bimbel di bawah lensa mikroskop dan berusaha memahaminya lebih dalam, kita menemukan bahwa maraknya bimbel bukanlah virus yang tidak diketahui asalnya. Fenomena ini merupakan jawaban dari realitas Masisir yang masih memerlukan tambahan untuk memahami pelajaran di kuliah dan bantuan untuk persiapan menghadapi ujian termin. Bimbel tetap merupakan solusi, terlepas dipandang solusi terbaik atau bukan.

Lagi-lagi, munculnya begitu banyak bimbel itu bukan malapetaka bagi standar keilmuan Masisir. Namun, kita tetap harus bijak dengan menempatkan bimbel sesuai dengan kodratnya, sebagai pendukung dan penguat dalam belajar, bukan sebagai sumber utama. Mahasiswa itu identik dengan kuliah, dan bimbel bukan satu-satunya cara untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian.   

Merespons persoalan seputar bimbel bukan sebuah pembelaan mutlak terhadapnya. Bukan juga mendiskreditkan bimbel ataupun metode belajar yang lain. Ini merupakan upaya untuk memandang bimbel dengan jelas di antara kabut komentar yang meliputinya. Lebih dari itu, pembahasan ini membantu membuka mata kita terhadap masalah multidimensi yang melanda Masisir dari hulu hingga hilir, bahkan pada setiap setiap cabang alirannya.


Penyusun: Haekal Afriadi, Naila Hafizha 

Investigator: Hasna Putri Nadhifa, Hasna Nabilatushafaa, M. Azriel Poetra Novendra, Abdulloh M. Azzam

Editor: Ilmi Hatta Dhiya’ulhaq


Posting Komentar

0 Komentar