Oleh: Lalu Rifky
Judul buku: Tuhan Ada di Hatimu
Nama Penulis: Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 207
Genre: Islam Populer
Awalnya, saat saya pertama kali membaca judul buku ini, saya belum tertarik. Mengapa tidak? Judulnya terdengar familiar—seperti kalimat-kalimat motivasi yang sering lewat di linimasa media sosial, singgah sebentar, lalu hilang tanpa bekas. Namun, setelah melihat bahwa penulis buku ini adalah Habib Ja’far, seketika pikiran saya langsung bertanya-tanya, bagaimanakah cara beliau menjelaskan konsep ‘Tuhan ada di hati’ ini?
Oh iya, siapa sih yang tidak kenal dengan Habib Ja’far? Lengkapnya Husein Ja’far Al-Hadar atau yang akrab disapa dengan Habib Ja’far merupakan angin segar dalam dunia dakwah sekarang ini. Bahasanya dalam mendakwahkan sesuatu cenderung ringan, namun sarat akan makna. Materinya berbobot, tetapi sangat mudah dicerna karena pembawaannya dapat dengan mudah ditangkap oleh khalayak umum. Ia hadir lewat panggung digital—konten Pemuda Tersesat yang dibawakan bersama Coki Pardede dan Tretan Muslim menjadi pintu gerbangnya untuk menyapa publik yang haus akan dakwah yang ramah.
Secara sederhana, melalui buku Tuhan ada di Hatimu ini, Habib Ja’far mengajak kita agar selalu merasa dekat dengan Allah dan mengenal Allah lewat perspektif yang lain, yaitu cinta. Mengapa lewat cinta? Karena cinta adalah jalan paling lembut menuju keintiman. Ia bukan sekadar emosi, tapi jembatan. Tanpa cinta, ibadah hanyalah rutinitas mekanis yang hampa. Tanpa cinta, agama bisa menjelma jadi kerangkeng yang menakutkan. Bukankah lebih indah jika kita mengenal Allah sebagai Sang Maha Cinta, bukan sekadar Sang Maha Penghukum?
Kemudian secara sadar ataupun tidak, beberapa anak dididik dan diajarkan untuk melakukan ibadah ritual agama, tanpa ada pengenalan terlebih dahulu yang mendalam kepada Tuhan yang mereka sembah. Terkadang didikan itu disertai dengan ancaman. Bahwa apabila kita lalai dalam mengerjakannya, kita akan mendapat hukuman. Maka tak heran, bagi sebagian orang, agama terasa seperti bayang-bayang gelap yang mengintai, bukan cahaya yang menuntun.
Buku ini hadir seperti obor kecil di tengah lorong gelap; membimbing dengan lembut, bukan menyorot tajam. Buku ini menyajikan banyak hal menarik. Mulai dari ajakan untuk berhijrah secara sungguh-sungguh bukan sekadar ikut tren di media sosial, hingga penegasan bahwa berislam harus tegas tapi tidak keras seperti Khawarij. Istilah “berangkat dari Al-Qur’an dan Sunnah” dianggap lebih tepat daripada “kembali ke”, dan penulis juga memberikan tips bijak dalam menyaring ustaz serta konten dakwah digital.
Di bagian lain, disorot pentingnya menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun dan indah. Serta kritik terhadap kelompok yang membawa nama Tuhan untuk membenarkan tindakan intoleran. Hal sederhana seperti speaker masjid yang bising pun dibahas sebagai contoh perlunya etika dalam beragama.
Yang tak kalah menarik, penulis membahas bagaimana musik, humor, film, dan game bisa menjadi media dakwah yang relevan, selama tetap menjaga nilai dan etika Islam. Bahkan, isu klasik seperti halal-haramnya musik disikapi dengan pendekatan yang segar dan kontekstual.
Salah satu bagian paling menyentuh adalah epilog berjudul “Jadilah Ahli Zikir, Bukan Hanya Ahli Pikir.” Di sana, kita diingatkan bahwa akal tak bisa berjalan sendirian. Iman pada akhirnya adalah urusan hati. Dan hanya hati yang bersihlah yang bisa benar-benar mengenal Tuhan.
Membaca buku ini, saya teringat pesan dari kiai saya semasa mondok dulu: “Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama.” Sebuah nasihat yang terasa hidup kembali dalam tiap halaman buku ini.
Secara keseluruhan, buku Tuhan Ada di Hatimu bukan hanya renyah untuk dinikmati, tapi juga menyisakan jejak dalam batin. Meski sesekali muncul istilah-istilah yang mungkin asing bagi pembaca awam, Habib Ja’far dengan cekatan menyisipkan penjelasan yang membuat segalanya tetap terasa ringan.
Buku ini cocok bagi siapa pun yang sedang mencari—entah mencari Tuhan, mencari makna, atau sekadar mencari alasan untuk kembali percaya. Ia tak menawarkan kebenaran mutlak, tapi membuka pintu menuju dialog dengan hati sendiri. Sebab, seperti judulnya, mungkin Tuhan memang tak pernah jauh. Ia ada… di hatimu.
0 Komentar