Oleh: HADI
“Dah bawa buku catatan belum, Rel?” tanya Dhiyan, sambil bergegas menaiki tangga. “Udah … Aman itu,” jawab Farel, mengikuti Dhiyan dari belakang dengan cepat. Mereka berdua dipanggil menuju kantor kepala sekolah seusai acara Pengumuman Hasil Pemilu Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Tak lebih dari 1 jam setelah mereka berdua diumumkan menjadi pasangan pemanang, Dhiyan dan Farel sudah mendapat panggilan itu. Mereka menyadari bahwa kantor kepala sekolah akan menjadi destinasi wajib mereka mulai dari saat itu juga. Menyeramkan? Tentu saja. Apakah mereka siap? Itu urusan nomor 27.
Tok, tok, tok … “Assalamu’alaikum …”.
Gagang pintu bersuara keras, pintu pun terbuka secara perlahan. “Masuk.” Suara yang berat terdengar dari dalam ruangan yang dingin itu.
Dhiyan dan Farel masuk dan langsung berdiri di depan meja kepala sekolah. Mejanya terbuat dari kayu yang kokoh dan bagian atasnya dilapisi kaca, terselip di dalam lapisan kaca itu pas foto beberapa siswa. Mr. Samuel Muda, M.Hum, tertulis pada papan nama yang berada di sudut meja. “Selamat, kalian terpilih menjadi ketua dan wakil ketua baru. Mulai hari ini, semua kerjaan kalian di bawah pengawasan saya langsung,” ucap beliau yang sering disapa Pak Muda. “Tugas pertama kalian, bentuklah kabinet yang akan menjalankan organisasi ini selama satu periode ke depan. Ingat, mandat ini berat. Pilihan yang tepat akan meringankan beban dari bahumu, pilihan yang tidak tepat hanya akan menjadi tambahan beban atas kamu. Paham?” Tatapan mata Pak Muda yang tajam membuat Farel canggung. Dhiyan, si paling kalem, mengangguk sambil menulis perkataan Pak Muda.
“Paham, Pak.” Jawab mereka tanpa ragu
“Saya beri waktu sampai Senin sebelum pulang sekolah untuk mengumpulkan ajuan nama-namanya.” Tegas Pak Muda.
Beberapa lama kemudian, mereka keluar dari kantor dan menghela nafas yang panjang. Mereka saling menatap sesaat. Satu hal yang sama muncul di pikiran mereka. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang.
Dhiyan merangkul Farel, menenangkan temannya. “Udah, habis ini kita pulang dulu. Malam ini aku ke rumahmu, yaa.”
“Oke, bawa makanan lho,” balas Farel kembali
tersenyum. Mereka berjalan turun tangga dan menuju ke parkiran. Dhiyan akan
dijemput ayahnya dengan mobil. Farel akan berjalan kaki menuju rumahnya yang
berjarak setengah kilometer dari sekolah tercinta, SMA Tanjung Rejo, sekolah
yang masih terhitung baru, fasilitas yang terbilang baik dan murid-murid yang
unik.
Sebelum mereka sampai ke parkiran sekolah, mereka berpapasan dengan dua orang yang baru selesai menertibkan lokasi acara pengumuman. Salman, siswa berdarah Makassar itu merupakan kapten tim sepak bola sekolah. Di sampingnya ada Andre, dengan badan layaknya tentara, yang termasuk dalam barisan Paskibra Provinsi Sumatera Utara. Mereka berdua menghampiri pasangan pemimpin OSIS terpilih itu dan mengucapkan selamat.
“Paten kali ketos sama waketos kita, baru kepilih udah jalan-jalan bareng. Memang chemistry nya gak diragukan lagi yaa …” puji Salman.
“Mau kemana kalian?” tanya Andre.
“Mau pulang dulu, wak,” jawab Dhiyan”
“Oalaaah, iyaa, iyaa. Eh, jangan lupa kami yaa.” Andre tersenyum mengedipkan mata kanannya, memberi kode kepada Dhiyan dan Farel.
“Aman, Bro, aman … yaudah kami duluan ya!” Farel menepuk bahu Dhiyan dan bergegas pulang lebih awal. Dhiyan pun melihat mobilnya sudah memasuki parkiran dan berjalan meninggalkan Salman dan Andre.
Mereka pun sampai ke rumah di pertengahan sore karena waktu pulang sekolah adalah setelah sholat Ashar. Sore berganti malam dan Dhiyan bersiap-siap untuk mengunjungi Farel. Dia mengenakan jaket favoritnya, izin kepada ibu, lalu segera berangkat. Tak lupa, ia membeli 2 porsi nasi goreng dan kopi sanger di warkop Aceh kesukaan Farel. Sesampainya Dhiyan di sana, Farel membuka pintu dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Nasi goreng menggambarkan keinginan mereka untuk terlihat lebih high-class, karena makan nasi putih seakan-akan terlalu biasa. Sebaliknya, kopi sanger adalah simbol bersahajanya para mahasiswa zaman dahulu. Yah, mereka juga siswa SMA yang belajar bergaya. Kunyah dan ketawa, seruput demi seruput, 10 menit semua sudah lenyap. Namun, habisnya secangkir kopi itu bukan berarti berakhirnya percakapan mereka. Sepasang pemimpin itu masih memiliki pembahasan yang berat. Pembahasan tentang umat, khususnya kabinet yang akan menjadi tangan dan kaki mereka.
“Yan, bingung Aku, Yan. Gimana kita nyusun kabinet ini?” tanya Farel yang berusaha meminum tetesan kopi yang tersisa.”
“Udah, kita mulai dari ketua-ketua departemen dulu. Coba kita tulis apa aja departemennya” kata Dhiyan. Dia menulis: ‘Sekretaris, Bendahara, Departemen Agama, Departemen Bahasa, Departemen Olahraga, Departemen Seni, Departemen Keterampilan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Iptek, Departemen Bela Negara’
“Nah ... kira-kira nih siapa aja ketuanya? Pastinya orang-orang terhebat pada bidangnya gak sih?” tanya Dhiyan.
“Yaa, itu aja tuh, Salman sama Andre tadi. Masukin jadi Ketua Bagian Olahraga sama Bagian Bela Negara. Udah pas kali tuh, yang satu kapten tim bola, yang satu Paskibra paling keren di sekolah,” usul Farel.
Malam itu, coretan pena Dhiyan dan Farel adalah
penentu nasib seseorang, nasib OSIS, nasib sekolah, bahkan nasib mereka
sendiri. Otak mereka yang baru berusia 16 tahun belum sempurna memaknai beban
yang sedang mereka pikul, dan tanggung jawab yang datang dari setiap keputusan
mereka. Nama-nama ketua departemen telah mereka pilih, demikian pula
anggota-anggotanya. Kabinet yang akan mereka pimpin sudah nyata di atas kertas,
menunggu untuk dilahirkan ke dunia dan menjalankan amanat yang suci. Daftar
nama itu mereka baca berkali-kali. Dhiyan mengelap kacamatanya, mencoba
meyakinkan diri dengan pilihannya. Farel pun mengangguk-angguk, ia sedang
memproyeksikan kesuksesan bersama kabinet ini.
“Bismillah, Yan. Ada lagi yang mau diubah?” tanya Farel.
“Bismillah, ini udah final. Senin kita kasih ke Pak Muda,” jawab Dhiyan, setelah menghelas nafas panjang.
“Jujur, ya bro. Kalau kau udah yakin sama sesuatu, aku jadi ikut yakin gitu. Mungkin rasa yakin itu bisa menular juga ya,” ungkap Farel, matanya tersenyum melihat temannya yang bijak itu.
Dhiyan membalas perkataan Farel dengan senyumnya yang sederhana. Selesainya pembentukan ajuan kabinet menyimpulkan urusan malam itu bagi mereka. Dhiyan berpamitan kemudian pulang dan ingin segera isitrahat. Setelah menutup pagar, Farel berwudhu, membersihkan kasur lalu merebahkan badannya. Ujung hari yang nikmat untuk kedua calon pemimpin yang hebat.
Senin pun tiba, Dhiyan dan Farel sudah berada di kantor kepala sekolah. Farel memberikan map yang berisi ajuan kabinet yang mereka rumuskan. Pak Muda tak langsung membuka map, melainkan menatap tajam mereka berdua. Tetesan keringat dingin mulai tampak di ujung dahi Farel. Dhiyan membalas tatapan Pak Muda ditambah dengan senyumnya yang khas.
“Masih ingat perkataan bapak, kan? Pilihan yang tepat akan meringankan beban dari bahumu, pilihan yang tidak tepat hanya akan menjadi tambahan beban atas kamu. Pertanyaan saya, kamu berdua sudah yakin dengan pilihan ini?”
“Sudah, pak.” mereka berdua menjawab dengan kompak.
“Baiklah, kalau begitu ini saya ACC.” Pak Muda menandatangani ajuan mereka tanpa membacanya terlebih dahulu. Ada rumor yang beredar bahwa Pak Muda pernah berprofesi sebagai aktor sebelum akhirnya berkarir di dunia pendidikan. Ini sedikit menjelaskan mengapa beliau begitu dramatis dan tak terduga. Pak Muda pernah berkata bahwa dirinya saat remaja berperan dalam sandiwara miniatur kehidupan, namun anak SMA tidak akan pernah paham maksudnya.
Selang dua hari, diadakan acara pelantikan pengururus OSIS baru. Dengan demikian, mandat berpindah tangan dari yang lama ke yang baru. Dhiyan dan Farel kini mengepalai organisasi yang mewadahi potensi-potensi siswa SMA, manusia-manusia setengah dewasa yang acap kali memunculkan terobosan unik. Tidak dapat dipungkiri bahwa OSIS telah melahirkan begitu banyak orang berpengaruh di Indonesia. Dhiyan dan Farel tampil gagah di barisan terdepan; di belakang mereka adalah nama-nama yang tulis malam itu. Segala konsekuensi yang datang setelah ini harus mereka hadapi. Kapal telah terlanjur berlayar, tidak ada lagi menoleh ke belakang. Saatnya kedua nahkoda memberi kepercayaan penuh kepada awak-awak kapalnya yang baru.
Hari-hari pertama sebagai OSIS telah berlalu. Program-program kerja yang akan mereka eksekusi satu semester ke depan telah dirumuskan. Dhiyan merasa bahwa semuanya masih berjalan mulus. Bahkan sejauh ini, menjadi Ketua OSIS tidak semenyeramkan yang ia sempat kira. Begitu pula dengan temannya, si Farel. Jiwa ekstrovernya sedang memainkan perannya. Dalam waktu 5 hari, ia telah menghafal semua anggota OSIS, nama lengkapnya, panggilan, kelas dan alamatnya. Hebatnya, Farel sedang berencana untuk mengumpulkan tanggal kelahiran semua siswa SMA untuk memberikan ucapan ulang tahun bagi mereka semua. Unik bukan?
Sebulan pertama, Dhiyan dan Farel masih berada di atas awan. Pujian-pujian untuk pasangan pemimpin itu adalah lagu yang menghiasi sekolah. Adik-adik kelas terlihat segan dengan karisma mereka. Teman-teman bahkan menyapa mereka dengan sapaan, “Pak ketua … Pak Wakil … Ketos kita … Waketos kita …”
* * *
Dhiyan dan Farel sedang terbang, jabatan baru ini adalah pesawat yang terus membawa mereka lebih tinggil. Sampai pada suatu hari, 2 minggu sebelum bulan Agustus, Pak Muda memanggil mereka ke kantor. Pak Ketua dan Pak Wakil dengan santainya memenuhi panggilan kepala sekolah. Adakah pujian yang sedang menunggu mereka disana? Atau hadiah untuk sebulan yang begitu sukses?
“Berdiri yang tegak, kalian!” tegas Pak Muda. Jidatnya mengerut ke tengah; alisnya tak lagi busur, melainkan petir.
“Coba, bapak mau dengar. Dhiyan, udah berapa teman yang kamu tahu kabur ke warnet di jam sekolah? Jawab yang jujur!” Ini pertama kali Pak Muda marah sejak pelantikan OSIS.
“Ee … Ee … Enggak tahu pak.” Dhiyan memberanikan diri untuk menjawab. Farel mendadak lupa cara bernafas. Mereka tidak pernah menyadari bahwa ada yang kabur ke warnet akhir-akhir ini.
“Bisa-bisanya enggak tahu! Orang di antaranya orang sekelas dengan kamu kok! Bahkan masih banyak yang lain!” Telunjuk Pak Muda membidik lurus ke arah Dhiyan. Seketika kalemnya Dhiyan dikuasai oleh rasa kaget dan heran.
“Hah? Kalau boleh tau, siapa ya, Pak, yang sekelas dengan saya?” Dhiyan masih ragu dengan perkataan kepala sekolahnya.
“Itu loh, si Bahar. Yang parahnya lagi, adik-adik kelas pun diajak sama dia. Kurang ajar!” Pak Muda hanya bertambah kesal
Farel menyikut Dhiyan dan berbisik, “Bahar yang Ketua Departemen Iptek?”
“Makanya, yang aku tahu dia pergi ke UKS. Bisa-bisanya dia ke warnet!” balas Dhiyan yang berubah menjadi masam. Tanpa sadar, oborlan mereka terdengar oleh Pak Muda.
“Ooh, si Bahar itu ketua Iptek dia ya? Bagus, bagus … Yang bandel malah ketua departemen. Tapi kok Bapak gak tahu dia siapa ya? Mungkin saking gak pernah ada hasil usahanya ya sebulan ini?” sindir Pak Muda.
Dhiyan dan Farel terdiam. Meskipun kasus ini tentang Bahar, namun perkataan Pak Muda menabrak mereka begitu keras. Terpukul, terhantam, tak berdaya. Sebulan pujian digugurkan oleh sindiran sesaat. Pesawat yang membawa mereka terbang kini telah memiliki kabin penuh asap, kehilangan kendali dan terjun bebas. Dalam hitungan detik, mereka mengilas balik sebulan yang sudah lewat. Pujian-pujian yang mereka dapat hanya apresiasi karena mereka baru saja dilantik, bukan berkat progres, apalagi prestasi.
Tidak satupun di antara mereka kuasa memberikan jawaban. Pak Muda menambahkan bensin pada kobaran api, “Memangnya sebulan ini kalian berdua udah ngapain aja sih?” Waduh.
Tetap menunduk adalah satu-satunya cara menghadapi situasi seperti ini. Kali ini, tak hanya Farel yang takut dengan kumis tebal Pak Muda. Mungkin Dhiyan tidak akan mengakuinya, tapi getar lututnya menjelaskan semuanya. Pak Muda menghela nafas yang panjang.
“Huuuft … Ya sudah. Saya rasa cukup 10 menit bapak marah cukup untuk membuat kalian shock. Baiklah, bapak sebenarnya memanggil kalian kesini untuk menjelaskan tentang acara kita sepanjang bulan Agustus.”
Akhirnya suasana sedikit lebih tenang, Pak Muda memberikan gambaran pekerjaan mereka untuk acara besar di bulan yang akan datang, “Pesta Merdeka”. 14 hari menjelang bulan Agustus, kedua pemimpin itu harus mengatur strategi dan merapatkan barisan prajurit. Pesta Merdeka ini menjadi kesempatan yang sempurna agar Dhiyan Munir dan Farel Flamboyan Sinaga kembali meraih kepercayaan kepala sekolah mereka dan membuktikan bahwa kabinet mereka berkualitas. It’s now or never!
Keesokan harinya, Kabinet Kasti (Kerja Pasti) mengadakan rapat di ruang serbaguna. Pak Ketua mengawali rapat dengan evaluasi terkait kinerja dan kasus terbaru. Dia menegaskan bahwa menjadi anggota OSIS bukan sekedar mengenakan jas dan menjadi panitia, melainkan menjadi siswa yang unggul dan teladan dalam semua aspek, terlebih dalam hal ketaatan. Bahar – yang merasa bahwa dirinya dijadikan bahan evaluasi – memincingkan matanya, melihat ketuanya. Farel menyadari hal itu. Dhiyan mengajak teman-teman agar lebih bersemangat menjalankan mandat, tak hanya menikmati auranya sebuah pangkat.
Seusai evaluasi, mereka mulai
membahas tentang Pesta Merdeka. Dhiyan dan Farel membentuk sebuah panitia
dengan Salman sebagai ketua. Farel mengingatkan kepada teman-teman bahwa 13
hari menuju Agustus tidak akan terasa lama, maka hendaknya mereka memaksimalkan
waktu yang ada. Di akhir perkumpulan, Dhiyan meminta kepada seluruh ketua
departemen OSIS untuk menetap di ruang serba guna.
“Tolong, di sini kita semua pemimpin. Jaga image kita di depan teman-teman yang lain, meskipun kita sebaya. Caranya gimana? Yaa, harus jadi teladan.” Dhiyan memulai diskusi antar ketua departemen dengan ajakan yang halus.
“Betul. Aku yakin kita semua adalah orang-orang yang paling kompeten dalam bidangnya. Aku minta tolong, di sini kita tunjukkin kualitas kita. Dalam kepanitiaan ini, meskipun yang ketua departemen jadi anggota, tetap harus kasih dedikasi lebih. Ayo, jangan kecewain Pak Muda!” tambah Farel, ingin membangkitkan semangat.
“Lah, gimana mau jaga image? Aku aja depan semua OSIS dipermalukan gitu!” Bahar tiba-tiba berdiri dan memukul meja.
Belum sempat Bahar melanjutkan ujaran gejolak hatinya, Farel sudah memegang bahu Bahar. “Gausah di sini, di luar aja kita.”
Dhiyan, tenang sebagaimana biasanya, melanjutkan diskusi. Ia hanya menambahkan bahwa tugas-tugas ketua departemen dalam Pesta Merdeka ini sempurna. Meski bukan hasilnya yang sempurna, tapi berjuang tulus tanpa pamrih adalah usaha yang sempurna. Dengan itu, semuanya bubar, Dhiyan berlari mencari Farel dan Bahar. Pak Ketua mencari mereka di belakang sekolah. Dalam benaknya, wajah Bahar berkenalan dengan sepatu Farel, baju tersobek-sobek, dan tubuhnya dihiasi pasir di mana-mana, sebagaimana dia mengenal Farel sejak dulu. Aneh, yang ada hanya Farel di sana. Seragamnya masih terlihat rapi. Apakah dia bertarung dengan begitu mulus, tak tersentuh?
“Mana si Bahar? Kau apain dia?” tanya Dhiyan penuh khawatir.
“Oh, udah pulang dia. Tadi habis makan es krim.” jawab Farel dengan santainya.
“Kukira dah kau pecahkan kepalanya. Gimana jadinya dia?” Dhiyan menghela nafas.
“Sebenarnya mau kupecahkan kepalanya tadi. Tapi kupikir-pikir, omongin baik-baik ajalah. Mana tau dia berubah.” balas Farel sambil menjilat es krimnya.
* * *
Farel menyobek kalender di
kamarnya; tibalah sudah tanggal 31. Besok – Senin, 1 Agustus – akan diadakan upacara
pembukaan rentetan acara Pesta Merdeka. Seluruh OSIS diwajibkan hadir di
sekolah untuk persiapan acara. Walau
rumahnya dekat dengan sekolah, Farel ingin menunjukkan bahwa dirinya disiplin
dengan berangkat lebih awal. Ia segera mandi, menyantap sarapan nasi dan telur
mata sapi, dan tak lupa sholat Dhuha. Kali ini Farel berjalan cepat menuju
sekolah. 7 menit, sepertinya dia berhasil menjadi orang pertama yang datang.
Senyum Farel belum sempat mekar sepenuhnya, tiba-tiba pundaknya ditepuk dari
belakang. Siapa lagi kalau bukan Dhiyan. Walau sedikit kecewa campur geram
karena bukan dia yang pertama, Farel senang melihat rekannya sepemikiran
dengannya. Begitulah, diatas langit masih ada Dhiyan. Capek-capek menembus
awan, Dhiyan sudah di sana rebahan.
Pukul 09:00 tepat, teman-teman panitia sudah berdatangan. Semuanya sedang menunggu di pinggir lapangan bola. Ada yang duduk di bangku cadangan, ada yang menikmati sarapan, dan ada yang belum datang, ketua panitianya. Setengah jam kemudian, daripada lama-lama Dhiyan langsung mengambil alih suasana dan memanggil semua temannya untuk berkumpul. Ia memberikan arahan-arahan untuk menyelesaikan seluruh persiapan pra-acara. Masih ada perlengkapan yang belum ada di lokasi acara, masih ada dekorasi yang belum terpasang, dan masih banyak detail kecil yang perlu dirampungkan.
Dhiyan berkata, “Ayo, semuanya semangat. Kalau kita gercep, insya Allah setelah Zuhur udah selesai. Kita mulai dengan mengucapkan …”
“Assamu’alaikum!” tiba-tiba menyelak
Ternyata Salman baru saja datang. Seakan tanpa dosa namun jelas belum mandi, ketua panitia dengan santainya telat. Dhiyan tidak terlalu menghiraukannya dan langusng memulai pekerjaan, “… dengan Basmalah!”
“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM!”
“Yan, aku izin pulang ya,” kata Salman.
“Loh, kok udah mau pulang aja? Udah kau datangnya telat, enak kali kau pulang cepat.”, balas Dhiyan
“Keluargaku ada acara di luar kota nih, wak. Sumpah …” rengek Salman.
“Hmmm … yaudah. Tapi besok, gak mau tau aku. Kau orang paling pertama di sini.” tegas Dhiyan.
“Siap abangda!” Salman menjawab dan melakukan gerakan hormat. Ia langsung bergegas keluar dari sekolah. Dhiyan hanya bisa melihat dia pergi, tidak mencoba memaksanya untuk menetap. Farel melihat Salman pergi dari jauh. Ia menandatangi Dhiyan dan bertanya, “Kok pergi si Salman?”
“Ada acara diluar kota dia …” jawab Dhiyan.
“Alah, bohongnya dia itu! Gak kau paksa dia tetap di sini? Ketua loh dia!” Farel tampak kesal.
“Udah, husnudzon aja.” Dhiyan berusaha menenagkan Farel.
Panitia meneruskan pekerjaan mereka walau ditinggal sang ketua. Setelah tergelincirnya matahari, mereka pun sholat Zuhur. Selepas sholat, yang tersisa hanyalah final touches dan setelah itu panitia Pesta Merdeka pun pulang. Semuanya berharap acara pembukaan besok berjalan dengan lancar dan tidak ada hal-hal yang mengecewakan.
Hari-H telah tiba. Senin pagi itu, seluruh siswa sudah berbaris rapi di lapangan bola untuk pembukaan Pesta Merdeka yang dinanti-nanti. Cuacanya ramah, dan panitia terlihat gagah. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Dhiyan dan Farel berdiri di belakang panggung memantau semua yang terjadi dan siap cepat bereaksi. Setelah pembukaan, pemandu acara memanggil ketua panitia untuk menyampaikan laporannya.
“Acara selanjutnya, laporan dari Ketua Panitia Pesta Merdeka. Kepada Saudara Salman Granada Hutapea, kami persilahkan.”
Krik krik… Krik krik …
Tidak ada yang naik ke podium. Mata para siswa melihat ke kanan dan ke kiri. Pak Muda berusaha terlihat tenang walau rasanya ingin berdiri. Dhiyan dan Farel berlari mencari Salman. 3 menit berlalu dan dia benar-benar tidak ada. Dhiyan inisiatif menggantikannya menyampaikan laporan. Dhiyan menelan ludahnya, dan menyampaikan laporan seadanya. Bahkan angka-angka yang ia sampaikan entah dari mana didatangkan. Marahnya Farel sudah memuncak. Kemarin telat, izin pulang, dan sekarang tidak diketahui keberadaannya saat akan menyampaikan laporan. Farel izin pergi ke kamar mandi, bukan untuk buang air, melainkan meluapkan emosi.
Selain ketua panitia yang hilang, semuanya berjalan cukup lancar. Namun diakhir acara, Pak Muda memanggil Dhiyan dan Farel untuk bertanya tentang Salman. Saat Dhiyan ingin menjawab, Farel memotongnya dan berkata bahwa Salman sedang sakit. Pak Muda memaklumi, Dhiyan tidak bereaksi. Dia tidak menyangka bahwa Farel akan membela Salman walau sebenarnya amarahnya tak dapat dideskripsikan. Saat waktunya pulang sekolah, Farel membuka Instagram dan melihat Story Salman tadi malam yang sedang di bioskop bersama teman-temannya. Rasanya ia ingin melempar ponselnya.
Farel mencari Dhiyan dan menariknya, “Yan, sini ke rumahku.”
Dhiyan belum sempat membuka mulut, Farel langsung berkata, “Udah, gausah banyak nanya kau!” Dhiyan cepat-cepat mengabarkan ke orang tuanya bahwa ia akan pulang sendiri. Mereka berlari ke rumah Farel, Farel ke dalam mengambil kunci motor. Bak pembalap, Jupiter Z 2008 melaju kencang menuju destinasi akhir rumah Salman. Harinya panas, mesin juga panas, namun masih lebih panas hatinya Farel. Tidak ada yang mampu menghalaunya saat ini kecuali kehendak Allah, dan mungkin bila motornya terpeleset.
Sesampainya mereka di rumah Salman, Dhiyan memanggil Salman dari luar, “Assalamualaikum … Man!” Farel memiliki rencana lain. Tanpa rasa ragu, ia langsung membuka pagar rumahnya yang ternyata tidak terkunci. Pria yang mendadak menyeramkan itu menggedor pintu.
TOK, TOK, TOK … “WOI, BUKA PINTUNYA!”
Salman, bersinglet dan celana pendek dengan rokok di tangan, baru terbangun dari tidurnya mendengar teriakan di luar. Tak lama, ia membuka pintu.
BUKKK!
Satu pukulan mewakili semua emosi yang ia tampung, tersalurkan dari hati ke tangan menuju pelipis kanan Salman yang kini tergeletak tak berdaya. Memang Salman sedang tidak sadarkan diri, namun dia sudah dapat pesannya. Rahang bawah Dhiyan terjatuh, tapi tak ada kata-kata yang tumpah. “Yok, pulang.” kata Farel, dingin, emosinya sudah tertumpahkan semuanya dan tak tersisa untuk wajahnya. “Udah paham nya dia itu.” Farel menarik Dhiyan, mengantarnya pulang.
Selama 2 minggu ke depan, rangkaian kegiatan Pesta Merdeka terus bergulir. Semua tetap bergerak walau wajah Salman masih membengkak. Kali ini, dia datang. Walau dalam hatinya masih ada rasa dendam yang membuatnya enggan bertemu Farel, namun ia mematuhi perintah ibunya yang berada di Banda Aceh untuk sekolah. Hanya saja, dalam kepanitiaannya muncul begitu masalah. Para pemain mini soccer memberontak. Keringat mereka tidak dihargai dengan Aqua gelas. Banyak juri yang belum menerima blangko penilaian. Sampai detik ini, divisi acara belum selesai menyusun rundown acara. Semua seakan kacau. Perasaan hati Salman yang tak kalah kacau membuatnya mati langkah. Untung Dhiyan dan Farel tidak butuh lampu sorot seperti Batman; saat SMA Tanjung Rejo sedang membutuhkan pahlawan, mereka akan segera datang.
“Sumpah, rasanya pengen cepat-cepat selesai ajalah Pesta Merdeka ini!” keluh Farel.
“Iya, wak. Aku pun dah pusing kali ini.” Dhiyan ingin mencoba untuk mengeluh juga.
Ternyata mereka benar. Waktu terasa begitu cepat berlalu dan tanpa sadar acara puncak Pesta Merdeka pun telah usai. Di samping tamatnya rangkaian kegiatan ini, sepertinya tamat pula rasa percaya Pak Ketua dan Pak Wakil pada Ketua Departemen Olahraga mereka. Secara umum, Pesta Merdeka kali ini terhitung sukses. Hal ini tentu menghibur Pak Muda dan membuatnya bangga dengan kinerja OSIS. Bahkan saat mereka dipanggil ke kantor, Pak Muda menghadiahi mereka Thai Tea dingin. Sederhana, namun yang memberikan membuatnya jadi lebih istimewa.
Salman juga merasa bersyukur beban hidup atas nama Pesta Merdeka itu telah lewat. Rasa geram menguasai dirinya tanpa memberi arahan harus berbuat apa. Setiap hari selepas sekolah, ia hanya terbaring di atas kasur, menghela nafas asap dengan pikirannya dipenuhi asap. Menjadi kapten tim bola dan ketua departemen OSIS merupakan prestasi yang membanggakan. Namun perbuatannya akhir-akhir ini kian merusak reputasi yang telah ia bangun. Hari itu, Gunadi dan Miqdad – gelandang bertahan dan penghangat bangku cadangan tim sepak bola sekolah – menjenguk kapten mereka.
“Apa cerita, captain…?” tanya Gunadi dengan peduli.
“Ntah. Pening kepalaku.”
“Kau tau, Capt. Dengar-dengar, orang si Dhiyan sama si Farel lontong itu mau pecat kau dari OSIS. Cemana tuh?” kata Miqdad dengan muka jahatnya.
“Yang betol kau!” jawab Salman tak percaya
“Iya, capt. Serius aku”
“Kalau aku jadi kau, kupermalukan mereka depan satu SMA. Biar nangis orang tu,” hasut Gunadi.
“Hmmm … Bisa juga itu. Nanti lah, ku tunggu momen yang tepat untuk beraksi.” Rencana keji Salman sedang tersusun keping demi keping.
Di akhir bulan, Kabinet Kasti kembali mengadakan rapat. Banyak hal yang perlu di sampaikan saat itu juga, sebab masa-masa ujian pertengahan semester ganjil sudah mendekat dan rapat tidak mungkin diadakan. Sesuai tebakan, Dhiyan yang membuka pertemuan, kali ini dengan pembawaan yang lebih santai.
“Alhamdulillah, kali ini adalah rapat terakhir kita sebelum UTS. Aku mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kalian semua, Pesta Merdeka kita kali ini dengan segala dinamikanya SUKSES!” Seluruh anggota OSIS tepuk tangan dan bergembira. Injeksi kepositifan yang dinanti datang menghidupi perkumpulan ini.
“Dan aku juga mau memberi apresiasi untuk semua departemen OSIS. Dibandingkan saat pertemuan terakhir, kita sudah banyak perkembangan. Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini, tapi Pak Muda udah notice dan Alhamdulillah beliau menyanjung kerjaan kita. Mantap, OSIS. Teruskan kerja baiknya.”
Rapat berlanjut dengan partisipasi anggota yang lebih dari biasanya. Program-program kerja berikutnya telah dirumuskan dan dengan demikian, rapat ditutup. Anggota OSIS sudah bubar, Dhiyan masih bersama Farel duduk mengobrol. Ada yang tidak pulang, malah datang menghampiri mereka – Salman. Muka sudah tidak bengkak, jelas terlihat sepak. Tangan baju tlah disingsingkan, kancing atas terabaikan, dia tidak datang untuk main-main.
“Jadi kau yang mau pecat aku dari OSIS?” Nada bicara Salman pelan mengancam
“Dengar dari siapa kau?” Farel mengangkat suaranya
“Alah, gausah sok bodoh lah. Pokoknya satu. Kalau aku dipecat dari OSIS, kau gausah berharap main lagi di tim bola, kelen berdua… Ah! Tengok aja nanti!”
Farel berdiri dalam sekejap, kedua tangan sudah terkepal di samping paha, matanya menatap tajam mata yang sudah pernah ia buat lebam. Berani-beraninya ini orang. Apakah sekali tidak cukup? Dhiyan langsung menghalang rekannya itu dan menyuruh Salman pergi. Dhiyan berusaha menyuruh Farel duduk dan berusaha menenangkannya.
“Dia kok tahu?” tanya Dhiyan
“Ntah. Udah gak ada lagi rasa hormat aku sama itu orang.” Farel sedikit lebih tenang.
Mereka berdua memang berencana memecat Salman dan menggantikannya dengan orang yang lain. Tak ada yang menyangka bahwa hal ini sampai ke telinga Salman. Sekarang, taruhannya semakin tinggi. Sejujurnya, Farel tidak rela dikeluarkan dari tim sepak bola. Siapa juga yang ingin dipermalukan depan khalayak ramai. Konflik bersama Salman bukannya mereda, malah semakin membara.
“Betul lah berarti rencana awal kita. Memang harus dipecat dia!”
“Udah … Tenang dulu kau, Rel. Kau juga gak pengen kan dikeluarkan dari tim bola? Kita pikirin nanti aja perkara ini. Untuk sekarang, kau pikirin ujian aja dulu. Masa wakil ketua OSIS nilainya mau jelek?” Dhiyan tak ingin masalah semakin panjang.
“Kenapa? Kau takut sama si Salman itu? Mau kau turuti maunya dia? Gak kau tengok dia dari kemarin gimana, hah?” Farel yang sebelumnya agak tenang kembali naik darah.
“Iya, taunya aku. Tapi biarlah dia kita kasih waktu lagi. Bisanya dia berubah itu. Si Bahar aja yang waktu itu bandel kali berubah dia.”
“Yaudah. Suka hati kau lah.”
Sayang, OSIS yang secara umum mengalami peningkatan kinerja masih memiliki duri yang menancap, menusuk dalam, menyakitkan. Dhiyan dan Farel berusaha menghilangkan perkara Salman dari pikiran mereka. Fokus seluruh siswa saat ini adalah ujian di depan mata. Setiap orang memiliki pendekatannya masing-masing dengan belajar. Dhiyan dengan talenta alaminya dalam bidang akademik tidak terlalu khawatir. Farel bukan tipe Dhiyan yang tinggal rebahan, melainkan mengandalkan determinasinya yang tak tergoyahkan.
Hari itu
adalah hari kelima ujian pertengahan semester. Pelajaran pertama adalah kimia –
pelajaran kesukaan Dhiyan. Sebelum bel berdering, para siswa berusaha memindai
dan merekam isi buku di kepala mereka. Bagaimana dengan Dhiyan? Dia lebih
santai. Sekali dua kali membaca rangkumannya dan dia sudah siap tempur.
Mendengar bel berdering, buku paket dan catatan ditumpuk di atas meja yang
diletak di depan kelas.
Ruangan kelas begitu hening, padahal kepala peserta ujian begitu pening. Banyak yang berkata UTS adalah singkatan dari “Ujian Tidak Serius”. Namun kali ini, seluruh pandangan terkunci pada soal-soal yang amat rumit. Lupakan saja menyontek, pengawasnya kali ini tidak seperti biasanya; Bapak ini tidak terpaku pada layar ponsel sama sekali. Beliau terlalu menjiwai perannya sebagai pengawas – menyebalkan. Maka beberapa jurus kerap menjadi alternatif: Cap, Cip, Cup, Bismillahirrahmanirrahim, menulis “Saya tidak tahu”, bahkan ada yang menjawab pertanyaan esai dengan menulis teori yang tiba-tiba muncul. Namun tidak dengan Dhiyan.
Penanya membantai bagian pilihan berganda tanpa perlawanan. Dhiyan tersenyum sedikit sombong, ujian ini dirasanya terlalu mudah. Sudahlah pelajaran kesukaan, soal-soalnya easy peasy. Tak ada yang menghambat laju Dhiyan, hingga ia sampai ke soal nomor 8 bagian esai. Tuk! Pena terjatuh; tangan menopang dagu sebab rahang bisa copot kapan saja.
Enggak, enggak … Gak bisa gini. Yaudah kerjain yang lain dulu, kata Dhiyan pada dirinya sendiri. Ia secepatnya menyelesaikan soal nomor 9 dan 10 bagian esai. Hanya nomor 8 yang menghalangi dirinya dari ujian yang terjawab dengan sempurna. Soalnya tentang bab termokimia, tepatnya tentang perubahan entalpi. Sebenarnya Dhiyan sudah menghafal rumusnya sebelumnya, namun kesulitan membayangkan halaman rumus itu berada. Teman-teman menyadari bahwa Dhiyan pusing memikirkan jawaban. Ada yang heran, namun tak sedikit yang malah putus asa. Dhiyan aja gak bisa, apa lagi aku?
Dhiyan mengangkat tangannya, “Pak, saya mau izin ke kamar mandi.”
“Udah selesai kamu?” jawab Pak Pengawas
“Tinggal satu soal lagi, Pak.” Dhiyan pun diizinkan pergi ke kamar mandi. Agak lama, sekitar 15 menit disana. Dia kembali masuk kelas dengan wajah sudah dibasuh dan kembali berseri. Dia yang keluar dengan sedikit masam telah kembali dengan senyuman yang lebar. Ternyata Dhiyan sudah teringat rumusnya!
“Oke … Gini … Dan sudah selesai!” ucap Dhiyan dengan bangganya, Dhiyan selesai mengerjakan ujian. Lembar jawaban baru akan dikumpulkan setelah bel berdering.
Tak lama kemudian, Miqdad juga izin ke kamar mandi. Selang 10 menit, dia sudah kembali. Berbeda dengan Dhiyan, Miqdad datang dengan wajah shock.
“Pak, tolong lihat ini! Saya nemu ini di kamar mandi!” Salman mengangkat suaranya. Seluruh peserta ujian hanya bisa melihat dengan terkejut. Kejadian tak terduga terungkap di hadapan mereka semua.
“Saya ketemu buku kimianya Dhiyan disembunyiin di kamar mandi! Ini, ada namanya! DHI-YAN MU-NIR!” Miqdad mengangkat tinggi buku paket.
“Oh! Pantas aja dia pulang dari kamar mandi, gak lama langsung selesai ujiannya. Padahal tadi pusing-pusing!” Gunadi menambah bensin pada nyala api. Para siswa tak percaya yang mereka saksikan. Bagaimana bisa peringkat satu kelas, ketua OSIS lagi, menyontek?
“Apa lagi? Pak, buku saya udah diletak di atas meja luar pak. Mana ada saya sembunyikan di kamar mandi.” Dhiyan membela dirinya, masih berusaha tenang.
Pak Pengawas pun keluar dan memeriksa satu-satu buku yang tertumpuk di luar kelas. Dhiyan yakin bahwa bukunya tertumpuk rapi di sana, di bawah bukunya Alya dan di atas bukunya Ginto.
“Nah, iya! Tidak ada buku kamu disini”
Jantung Dhiyan lupa cara berdetak. Bagaimana bisa bukunya yang jelas-jelas diletak di situ mendadak hilang?
“Ke kantor kepala sekolah, sekarang!”
Tidak mampu membela diri lagi. Satu-satunya bukti bahwa dia tidak bersalah ada wujud bukunya. Kini dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Menunduk malu, tangan di dahi, Dhiyan melangkah menuju kantor orang yang menaruh harapan terbesar padanya.
Bel berdering, semua orang mengumpulkan lembar jawaban dan meninggalkan ruang ujian. Dhiyan masih menunggu depan meja Pak Muda yang belum kembali ke kantor. Bak api melahap hutan kering, kabar kecurangan Dhiyan tersebar begitu cepat. Tak butuh waktu lama, setiap pasang telinga siswa SMA Tanjung Rejo mendengar berita mengejutkan itu, termasuk Farel. Dia bergegas ingin menghampiri rekannya disana.
“Dhiyan, gampang. Tinggal kau sekarang.” Entah datang dari mana, Farel bertemu Salman di tangga.
“Kau apain si Dhiyan?”
“Biasa, menghancurkan reputasi. Orang-orang besar kayak kalian besar karena reputasi, nama yang baik. Hilangkan itu, kalian berdua bukan apa-apa. Mana ada orang punya jabatan itu berjiwa besar, apalagi kau!” Salman berbicara selayaknya supervillain hakiki. Mereka beradu tatapan sesaat.
“Udah cukup sekali, Man. Pergi.” tegas Farel. Right hook andalannya siap melayang kapan saja.
“Hah! Hati-hati …” Salman pun pergi, namun rasanya urusan dengannya belum tuntas.
“Bapak di jalan ke sini dengar kabar yang memalukan sekali. Ketua OSIS kita ketahuan menyotek. Benar ini, Dhiyan?”
“Enggak, pak…” Dhiyan menjelaskan semua yang terjadi
“Tapi buku kamu enggak ada di situ. Sama si Miqdad bukunya.”
“Itulah, Pak. Saya juga bingung.” Dhiyan belum pernah semurung ini. Cool nya kali ini tidak bisa stay. Dia sungguh merasa dizalimi, matanya kini tidak bisa bohong.
Tok tok tok … “Assalamualaikum …” Farel masuk kantor kepala sekolah
“Nah, pas kali ada Farel. Panggilkan dulu si Miqdad. Di jalan ke sini bapak lihat dia masih di lapangan. Panggil sekarang.”
Baru saja sampai sudah disuruh pergi. Tapi loyalitas tanpa batas membuat Farel tak mempertanyakan Pak Muda lagi. Dia berlari mencari Miqdad. Benar, Miqdad berada persis seusai kata Pak Muda. Setelah sedikit “elusan”, Miqdad dengan kepala benjol ditutup topi dibawa menuju kantor kepala sekolah. Sesampainya disana, Farel langsung memberikan penjelasan kepada Pak Muda. Pak Muda terlihat bingung kenapa Miqdad mengenakan topi padahal tidak ada upacara. Namun, ia tidak mempertanyakan karena baginya siswa sekarang memang tingkahnya terbilang unik.
“Pak, saya yakin Dhiyan ini gak nyontek. Ini semua rencananya si Salman. Ya gak, dad?”
“Nah, kita perlu dengar versinya si Miqdad.”
Setelah berpanjang lebar. Ternyata ini semua merupakan skenario yang telah disutradarai si kapten tim sepak bola, si Kepala Departemen Olahraga, si yang sebenarnya ingin diberi kesempatan kedua oleh Dhiyan, Salman. Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.
Esoknya harinya, beberapa menit sebelum bel selesai ujian berbunyi, sistem pengalamatan publik kelas berbunyi. Tung Tung Tung … “Selamat siang, murid-murid. Setelah ujian dengan tepat, siswa atas nama Salman dan Miqdad, kelas 11 B, bapak tunggu di kantor kepala sekolah. Terima kasih.” Tung tung tung.
Setelah ujian, dua orang buronan itu pergi menuju kantor kepala sekolah. Tepat sebelum mereka mengetuk pintu, Farel berada di belakang mereka.
“Udah siap-siap kau?” ucap Farel dengan tangan terlipat.
Salman belum sempat menjawab, Pak Muda membuka pintu, “Dari mana aja kalian? Sudah lama bapak tunggu. Masuk!”
Tak lama kemudian, Dhiyan pun datang. Sobat satu amanat itu berdiri di depan kantor, menikmati suara teriakan Pak Muda. Entah apa yang terjadi di dalam situ, yang penting Salman dan teman-temannya tak akan mengganggu lagi.
“Tos dulu kita, wak!” Farel bahagia melihat temannya yang terzalimi kemarin kini tersenyum kembali. Mereka berpelukan, cobaan besar pertama di masa bakti mereka berhasil dilalui.
Suatu Selasa setelah masa-masa
ujian pertengahan tahun, Dhiyan dan Farel kembali di panggil Pak Muda. Beliau
telah memutuskan untuk menjatuhkan skors kepada Salman dan surat panggilan
orang tua untuk Miqdad. Dengan itu, mereka butuh melantik ketua departemen
olahraga yang baru. “Saya butuh namanya besok. Kalau saya setuju, besok
langsung saya panggil dan saya lantik.” ujar Mr. Samuel Muda. Kali ini, mereka
sudah tau apa perlu dilihat sebelum memilih ketua departemen.
0 Komentar