Gerimis kecil sore ini tidak lagi kelabu.
Kepulan asap Rendang dari tungku yang Ibu Ranum nyalakan menambah sensasi yang
padu saat disandingkan bersama dengan aroma petrikor kebanggaan hujan itu.
Konon katanya jika ras terkuat dibumi telah menyuguhkan makanan, tandanya
aktifitas didunia ini harus segera dihentikan. Tak heran ketika Ranum dan Aku lebih
memilih mengiyakan panggilan Ibunya dulu dibanding panggilan solat Maghrib
dari-Nya. Aku tahu, alangkah baiknya jika isi perut lebih didahulukan bukan?
Ibu dan Bapak memberi nama Jingga untukku.
Jingga untuk senja yang dicintai orang tuaku semasa mereka masih menjadi
sepasang kekasih, sampai jingga untuk hari terakhir Ibu melihat Bapak di ambang
pintu. Terlalu banyak jingga dalam kenangan ibu sehingga aku kehabisan alasan
autentik mengapa harus Jingga. Padahal sebenarnya ketika itu, punggung Bapak
adalah Jingga yang melukis perpisahan. Mengharuskan kepergian yang tak pernah
hati Ibu ikhlaskan.
***
Terdengar jelas salam jumpa dari dosen
Filsafatku yang mengakhiri kelas skaligus libur akhir semester tahun ini.
Teman-teman yang lain mulai berhamburan meninggalkan kelas. Suara langkah mereka
benar-benar bersemangat apalagi menyambut masa liburan, sangat memekik telinga.
Keluar kelas, menuruni tangga, melewati koridor, menaiki kendaraan, lalu
pulang. Hari ini adalah hari yang tidak begitu menguras tenaga bagi Jingga.
Aku menjadi orang terakhir yang keluar dari
kelas. Menuruni anak tangga dengan pelan sambil memeluk buku. Seseorang
mengikuti langkahku dari belakang. “Kenapa?” aku melontar pertanyaan sebelum ia
menyapaku. Dia hanya membalas dengan senyuman. Dia, Adam.
“Aku …” tiba-tiba, terlukis di wajah Adam
senyuman yang sumringah. Beda dengan tempo lalu saat ia tunjukan raut
bermasamnya itu. Kali ini, aku sedikit bersyukur melihatnya.
Adam menyamai langkahku, “Aku sudah tahu
bagaimana cara cukupi uang saku kita di musim liburan ini.”
“Bagaimana?” Aku memutar badan 90 derajat agar
bisa bertatap dengan Adam. Menjadi sedikit tertarik dengan topik pembicaraan
ini.
Adam cekikikan, “Intinya, kita harus
berbisnis. Terserah apa saja bisnis yang akan Kita jalani nanti, aku akan
berusaha semaksimal mungkin agar kita bisa berhasil mudik bersama.”
“Modalnya dari mana, Adaamm… dari dengkulmu!?”
“Kita kencani saja anak perempuan tunggal kaya
raya! hahahaa.” Jawabnya lalu berlari menjauh dariku sebelum aku daratkan pukulan ringan di kepalanya.
Aku membiarkan mata tajamku menelusuri
parkiran roda dua yang cukup luas dan sesak dengan spion berjejer rapih untuk
mengecoh letak dimana kendaraan kesayangan pemiliknya itu berdiam diri. Untung
saja warna hijau mencolok Mio J keluaran tahun 2012 itu dapat tertangkap
mata. Meski sudah jauh tertinggal zaman, dia cukup irit. Apalagi dalam kondisi
kantong yang sedang melilit sempit ini, tentu aku tetap bersyukur masih bisa
bermanja dengannya.
Tak berselang
lama, untuk kesekian kali Jingga masih bisa bercengkrama dengan senja favorit dan
tenggelam bersama gelapnya hari juga gusarnya hati.
***
Sahurr..sahurr.. bapak-bapak, ibu-ibu…..
Pengeras suara Mushola samping kost itu
merapalkan mantra rutinitasnya di bulan ampunan. Tidak banyak asupan untuk
mengisi cadangan lambungku siang nanti, telur dadar serta aroma menyeruak
indomie soto Lamongan itu masih berhasil tercium saat aku bersendawa ketika solat subuh tadi tiba.
“Assalamualaikum, Bu...” Jingga menghentikan
sapaannya sejenak untuk menunggu orang disebrang telepon menjawab salam.
“Waalaikumussalam, le.. bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulillah Jingga baik, Bu. Bagaimana
adik-adik disana? Apakah sekolahnya semakin giat?” Tanyaku, yang sebenarnya
diselingi rindu tak terbendung.
“Mereka semakin aktif di sekolah, Jingga.
Beberapa pertanyaan dari mulut ceriwis itu kerap membuat Ibu kewalahan
dalam menjawabnya. Jangan khawatirkan Adik-adikmu. Fokus saja di studi
perkuliahan itu. Ibu tidak menuntut banyak, le. Pulanglah saat lebaran
nanti.”
***
Ting.
Satu pesan masuk dilaman emailku, sekian
purnama aku menunggunya. Kali ini berbeda dengan rasa pertama saat aku
melakukan verifikasi pendaftaran kuliah. Terasa degub jantung memompa dua kali lebih
cepat dari biasanya. Tidak lama setelah itu, disusul dering telepon bertuliskan
Adam disana.
“Ngga, Kau berhasil! Selamat atas diterimanya
pekerjaan paruh waktu mu, ya. Tidak banyak yang aku pinta dalam doa ku selama
ini, cukup kau selangkah lebih berhasil di atasku. Dan beruntungnya, Tuhan
mengabulkan doaku untukmu.”
Mendengar itu, rencana berbisnis bersama Adam
seketika hilang dikawal angan.
Ternyata Tuhan cukup acak sekali menentukan
nasib seorang hamba-Nya.
Ya, beberapa hari yang lalu aku sempat mendaftarkan
diri di salah satu Instansi ternama dalam surat menyurat. Mungkin upahnya tidak
seberapa jika dibanding pria paruh waktu yang menenteng tas dengan mengenakan
jas hitam atau mobil hrv penyebab macetnya Ibukota di pagi hari itu.
Tapi lagi-lagi aku selalu teringat pesan Ibu dengan nada bicaranya yang khas
“Bersyukur saja, le. Maka nikmat-Nya tak akan terputus.”
Aku menarik napas panjang lalu kuhembuskan
pelan. Hari ketujuh setelah jadwal kerja yang ditentukan untukku ternyata cukup
padat.
Biarlah,
besok gajian pertama, gumamku.
***
“Jingga,
tolong antarkan surat ini ke alamat yang pak Anton kirim di grup watsapp,
yaa.” Ujar Septo sembari menaruh pelan maps berwarna coklat itu dimejaku. Dan
akupun menuruti perintah itu.
Tok..tokk..tok..
“Permisi, Pak.. ini ada titipan surat untuk
Ibu Ranum Aggraeni” apa? Pasti aku salah baca. Tidak mungkin, bagaimana
bisa mataku hampir terbelalak mengeja nama tersebut. Berulang kali kubaca,
ternyata tidak berubah. Itu memang nama Dia.
Ranum Anggraeni, ternyata dunia tak sesempit
rasa pikunmu.
***
10 tahun yang lalu
Desiran ombak dan belaian lembut angin di
pinggir Pantai Parangtritis itu menyapu sementara seluruh kalut yang ada
dikepala dua manusia berumur 9 tahun itu. Yang satu rambut dikepang dua, dan
satunya lagi membiarkan helainya yang sedikit ikal ditiup manja sang angin.
Percakapan yang biasa tentang kenapa kepiting itu jalannya kesamping? atau
keinginan menjadi ubur-ubur lembek dan kenyal, memperdalam rasa kekanak-kanakan
yang mereka punya.
“Jingga, aku tidak tau kenapa orang-orang
jahat membawa Bapakku lama sekali. Aku takut, sudah 4 hari Bapak tidak
menelepon padahal, dihari kedua kepergian Bapak adalah tepat hari ulang
tahunku. Aku tidak ingin kado istimewa lainnya, cukup pulangkan saja Dia.” Ujar
gadis kepang dua itu sambil tertunduk pilu.
“Jangan khawatir, Ranum. Bapakku juga, dia
pergi di hari yang sama dengan bapakmu. Aku yakin, mereka berdua akan pulang
dengan selamat dan akan bersama kita lagi. Tidak hanya kau, Ranum. Aku juga
rindu Bapakku.”
Mereka berdua tak tau, didepan sana ada
sejarah yang akan mengubah segalanya dan merebut kebersamaan keduanya dengan
paksa.
30 September 1965, kembalikan Bapakku.
***
Suara solawat baru saja melintasi rumahku.
Begitu nyaring puji-pujian dilantunkan anak-anak yang menabuh rebana sambil
menyenandungkan kecintaan dan doa keselamatan pada Nabi Besar kita. Ya,
kesemarakan amat terasa, sebab hari inilah hari terakhir dalam setahun mereka
mesti berlapar-lapar, menahan dahaga dan nafsunya pada sesama, sebagai
persiapan menuju hari kemenangan 1 Syawal besok, diawali Salat Idulfitri di
lapangan sebelah Masjid.
Aku dan Ibu, turut menyemarakkan hari
kemenangan ini dengan mendatangi rumah-rumah tetangga dengan bergilir. Sekedar
duduk, berjabat tangan alih-alih penggugur dosa, justru kadang terselip rezeki THR
disana.
Tapi kali ini lebaran terasa berbeda, melihat
rumah kosong yang berpagar hitam dengan gradasi putih abu didinding
bangunannya. Rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Tapi disana, setengah dari
hati ini terselip rasa rindu yang memanggil. Dan sekelebat kisah itu terpanggil
lagi..
Bagaimana keluargamu? Ah, Ra, entah kenapa,
aku mesti selalu ingat pada tradisi keluargamu itu. Dulu, di meja makan rumahmu
selalu dua keluarga kita berkumpul. Bapak, ibu, dan tiga adikku turut serta
meramaikannya bersama bapak, ibu, dan dua adikmu. Tentu, tentu. Kau masih
ingat, kan? Makanku selalu yang paling banyak, penuh selera, dan piringku
selalu penuh isian. Ibumu paling senang melihat masakannya kusantap kelewat
dokoh dan marem.
Ra, engkau tentu masih ingat ketupat rendang
buatan Ibumu. Hangat pulen nasi padat dalam ikatan simpul rumbia kelapa,
dilumuri bumbu hitam kecoklatan dan pedas dari rendang yang dimasak berjam- jam
oleh Ibumu itu selalu memancing selera bahkan sebelum bapakku mengetuk pintu
depan rumahmu.
Keluargamu begitu baik padaku, Ranum. Bahkan
saking dekatnya keluarga kita, nama belakangku dan nama belakangmu juga dibuat
semirip mungkin oleh orangtua kita. Di kotaku ini, yang jaraknya tak kurang dua
ratus kilometer dari kampung kita, aku sudah terlalu lama tidak merasakan
rendang senikmat buatan Ibumu. Ya, tentu saja aku takkan lupa, Ra. Keluargamu
kini memusuhi rendang daging. Bukan, percayalah, itu bukan kesalahan kau atau
aku. Itu ulah sejarah yang dulu mengubah jalannya dunia, dunia kita tepatnya.
Sejarah menjauhkan aku dari rendang ibumu, juga dari bapakku. Untuk yang pertama, mungkin
dapat saja kubeli rendang di restoran lain yang rasanya teramat jauh di bawah
rendang ibumu. Tetapi sampai sekarang, aku belum tahu toko mana yang menjual Bapak
yang sepelit Bapakku.
Kau dan aku masih sama-sama kecil saat
peristiwa itu terjadi. Siapa yang sebenarnya tahu, manusia kurang ajar yang di
malam itu merampas pedang dari tangan Tuhan dan dipakainya mencabut nyawa tujuh
jenderal yang digelari “Pahlawan Revolusi” itu? Ya, kau bertanya, seperti aku
juga bertanya. Di antara kita tak ada yang bisa menjawab soal. Kata Bu Guru,
itu rahasia negara. Anak kecil jangan banyak tanya! Agar jadi anak yang
berbakti bagi nusa bangsa, kita cukup beramai-ramai menudingkan jari sambil
menyerapah mereka yang tak pernah memasuki pengadilan untuk dijatuhi hukuman.
Kata bapakmu, siapa salah itu tak penting.
Satu yang jelas: jauhi aku sekeluarga. Kau lantas patuh saja pada perintah
bapakmu. Persahabatan, keakraban, dan kedekatan kita begitu saja digunting
putus waktu.
Aku tak pernah mengetahui apa yang dilakukan
bapakku. Di tengah keluarganya, bapak tak pernah mengakui, apakah dia
ikut-ikutan dalam barisan manusia yang malam itu bergerak dalam kegelapan,
beraksi nista mencabut nyawa sesamanya, kukira itu jadi rahasia bapak yang
akhirnya ia bawa ke keabadian.
Ya, Bapak tak pernah mengakui itu.
Aku jelas tak mendengar perintah bapakmu untuk
menjauhkan anak sulungnya dariku. Bapakmu yang pendiam tak memberi kemungkinan
untuk siapapun kecuali ia sendiri dan Tuhan tentang mengetahui apa yang ia
pikir dan rasakan. Cukup dari gelagatmu, aku sudah cukup menerima berita
penahbisan keluargaku sebagai musuh keluargamu sejak hari itu.
Hari-hari ketika itu memang tidak jelas. Kau pernah
cerita di Pantai, waktu kita bermain istana pasir-pasiran terakhir kalinya,
bapakmu pernah tidak pulang empat hari. Ia berurusan dan diajak tentara yang
malam-malam menjemputnya. Kau bilang, kau takut sekali, sampai ibumu menggelar
selamatan supaya bapakmu cepat pulang. Ah, bapakmu memang pantas untuk
dikasihani. Cuma semalam sesudah selamatan digelar, bapakmu kembali.
Bapakku sama. Ia juga diajak tentara yang tinggi berseragam loreng itu,
menaiki bak mobil besar dan berisik. Meninggalkan rekam punggungnya yang pada hari itu tak mampu ibu dan aku
ikhlaskan. Bedanya, bapakmu kembali setelah empat hari, sedang bapakku
mengembalikan namanya saja untuk kupakai sampai sekarang, sesudah empat puluh tahun.
Sesudah hari-hari itu lewat, bapakmu mendadak
takut daging. Lucu memang, orang yang takut pada daging. Tapi sejak itu, ibumu
tak pernah lagi memasak rendang di hari Lebaran. Lebaran tahun itu, sebelum aku
merantau nan jauh diseberang. Aku dan ibuku masih menyempatkan diri datang.
Bapakmu menyambut di ambang pintu ikut menyalami. Aku dan ibuku mengucap minal
aidin wal faizin, tapi dalam mata yang dingin sekaligus wajah sendu.
“Kali ini, lebaran tanpa rendang daging,”
cerita ibumu. Akhirnya ibu dan aku cuma menyantap ketupat dengan kuah opor yang
sudah dingin. Daging ayamnya habis disantap rekan-rekan bapakmu yang datang
lebih dulu, menggasak dan meninggalkan kuah dan bawang goreng itu buat ibu dan
aku. Ya, jangan bilang aku tidak mengingat itu lagi, Ra! Apakah keluargamu atau
keluargaku yang berubah, kurasa kau yang mengetahui jawabannya.
Siapa sangka, itulah lebaran terakhirku di
rumahmu. Setahun sejak
itu, ibu dan aku diajak tentara untuk pindah ke rumah baru berbentuk
barak besar dan panjang. Oh, sungguh tidak enak. Kami keluar dari sana setiap
pagi, dimaki-maki sepuasnya oleh bapak- bapak tentara berseragam hijau loreng,
lalu masuk lagi dan menunggu datangnya kiriman dari sanak-semenda yang tidak
kunjung sampai.
Barak besar itu tak perlu kau cari. Kekuasaan
yang puas bermandi darah merasa tak lagi membutuhkannya. Di sana sekarang
berdiri kantor pusat sebuah korporasi asing yang pernah kau pertuankan. Tapi,
asal kau tahu, di atas sebidang tanah di seberang Kantor Walikota itu, masih
dapat kau raba tapak kaki ibuku yang berdarah-darah setelah disuruh berjalan
kaki di atas beling agar mengakui telah ikut dengan suaminya di malam kelabu,
pas pergantian bulan itu.
Orang menamai barak itu, Kodim.
Tidak banyak yang dapat kuingat dari empat tahun penahanan
itu. Ibu tak pernah mendengar apa dosa yang menjerumuskan dia. Pun ibu tak
mengerti apakah sudah impas dosanya ketika ia menerima pembebasan. Tapi, dan
ini dia yang kuingat terus, kau tak pernah datang menjengukku. Kau, Ra, yang
mengaku jadi sahabatku yang sejati dan paling erat, yang berbunga-bunga
meyakinkan hatiku bahwa selamanya engkau takkan sudi meninggalkanku sendirian,
ternyata diserang pikun yang begitu cepat.
Aku masih bisa berbahagia, tentu. Bapakmu
sekarat sewaktu ibuku dan aku dilepas. Kau datang padaku buat mengemis,
menunaikan wasiat bapakmu yang minta supaya aku bersedia mengimami salat
jenazahnya. Akupun kau ajak menyaksikan malaikat bermain catur dengan bapakmu.
Dasar payah, bapakmu kalah. Ia diajak memasuki pintu alam keabadian. Waktu
itulah semua yang tak pernah bapakmu bicarakan kuketahui.
Maklum saja, ia tak menyukai rendang. Ia
membenci daging, sebab daging terakhir yang ia pegang ialah batang kepala
bapakku yang dia jagal di kaki Jembatan Bacem. Darah bapakku ikut menghilir
bersama derasnya arus Bengawan Solo yang membawanya ke keabadian. Bapakmu itu takut
pada daging, sebab daging terakhir yang dipegangnya dan darah terakhir yang
disaksikannya masih mewujud dalam daging dan darahku.
Tidak, tidak. Kau tak salah membaca surat ini,
Ra. Surat ini datang kepadamu bukan sebagai perkawanan, tapi juga bukan rupa
permusuhan. Surat ini kukirimkan kepadamu supaya engkau tidak lagi pikun.
Jangan menyangka sudah terbit perdamaian di antara kita. Pengakuan bapakmu
sebelum ajal itu hanya memberiku keterangan tentang dosa yang sudah ia lakukan
pada bapakku. Pada jenazah yang kuimami salatnya itu masih terendus bau amis
darah orang yang teramat dalam kucintai, kukagumi, kubanggakan.
Dan surat ini. Surat ini tak akan mungkin
sampai ke tanganmu, juga takkan kau baca, kalau aku memilih batal mengirimkan
dan menulisnya. Ingatanku terlalu pedih untuk menulis sebuah pengakuan pada
sejarah kita berdua yang dicerai-beraikan sang waktu. Kepikunanmu itu, ku-
yakini adalah caramu melupakan, meski darah penjagal bapakmu tetaplah mengaliri
pembuluhmu sampai kau mampus nanti.
Sudahlah,
aku tak berniat menabur dendam di atas kertas. Terlalu pahit dan ia memang
tidak akan tumbuh jadi apa-apa. Malam lebaran ini, aku hanya mengakhiri pikun
yang kau derita dengan perdamaian antara kita. Besok pagi, sebagai Muslim, aku
mesti menunaikan kewajibanku merayakan kemenangan, seperti juga engkau.
Marilah, bersama-sama kita hapus keburukan bapak-bapak kita, bapakku dan
bapakmu, dan menyerahkan mereka pada penghakiman Tuhan yang tidak pernah keliru
meski tanpa jaksa, naik banding, atau kasasi.
Lupakan dan redamkan yang telah lalu, itu adalah bisa tanpa penawar.
Kalau kau mau, datanglah ke rumahku. Di sini
selalu ada rendang daging ibuku yang dimasak dengan keikhlasan, tanpa dendam
dan kebencian. Hanya sebutir cinta yang membumbuinya; cinta yang tak pernah
padam karena ia sejati.
“Heh! Jangan melamun, le. Ayo kita
pulang ini sudah keburu sore, Adik-adikmu pasti sudah menunggu dirumah. Ibu
belum menyiapkan Rendang dimeja makan. Taruh saja surat itu di tepi pagar
hitamnya. Semoga saja keajaiban bisa membawa Ranum mu itu kembali lagi.”
Ibu memecah lamunan luka itu, mungkin merasa
kasihan melihat Putranya bertahun tahun menantikan jawaban dari tumpukan surat
yang tak bertuan.
Aku terlambat. Terlambat untuk semuanya. Tak
bisa kukejar rasa sesal yang sudah tertinggal jauh dibelakang.
Ranum, Jingga mu ini sangat rindu.
***
Senja mulai membiru, Menunggu yang berlalu
Haru air mata menyela, Iringi rindunya (for Revenge ; serana)
0 Komentar