Header Ads Widget

Darussalam Audio

Surat untuk Lebaran Tanpa Rendang



Oleh: Maharani

Gerimis kecil sore ini tidak lagi kelabu. Kepulan asap Rendang dari tungku yang Ibu Ranum nyalakan menambah sensasi yang padu saat disandingkan bersama dengan aroma petrikor kebanggaan hujan itu. Konon katanya jika ras terkuat dibumi telah menyuguhkan makanan, tandanya aktifitas didunia ini harus segera dihentikan. Tak heran ketika Ranum dan Aku lebih memilih mengiyakan panggilan Ibunya dulu dibanding panggilan solat Maghrib dari-Nya. Aku tahu, alangkah baiknya jika isi perut lebih didahulukan bukan?

Ibu dan Bapak memberi nama Jingga untukku. Jingga untuk senja yang dicintai orang tuaku semasa mereka masih menjadi sepasang kekasih, sampai jingga untuk hari terakhir Ibu melihat Bapak di ambang pintu. Terlalu banyak jingga dalam kenangan ibu sehingga aku kehabisan alasan autentik mengapa harus Jingga. Padahal sebenarnya ketika itu, punggung Bapak adalah Jingga yang melukis perpisahan. Mengharuskan kepergian yang tak pernah hati Ibu ikhlaskan.

***                                                                                                                               

Terdengar jelas salam jumpa dari dosen Filsafatku yang mengakhiri kelas skaligus libur akhir semester tahun ini. Teman-teman yang lain mulai berhamburan meninggalkan kelas. Suara langkah mereka benar-benar bersemangat apalagi menyambut masa liburan, sangat memekik telinga. Keluar kelas, menuruni tangga, melewati koridor, menaiki kendaraan, lalu pulang. Hari ini adalah hari yang tidak begitu menguras tenaga bagi Jingga.

Aku menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas. Menuruni anak tangga dengan pelan sambil memeluk buku. Seseorang mengikuti langkahku dari belakang. “Kenapa?” aku melontar pertanyaan sebelum ia menyapaku. Dia hanya membalas dengan senyuman. Dia, Adam.

“Aku …” tiba-tiba, terlukis di wajah Adam senyuman yang sumringah. Beda dengan tempo lalu saat ia tunjukan raut bermasamnya itu. Kali ini, aku sedikit bersyukur melihatnya.

Adam menyamai langkahku, “Aku sudah tahu bagaimana cara cukupi uang saku kita di musim liburan ini.”

“Bagaimana?” Aku memutar badan 90 derajat agar bisa bertatap dengan Adam. Menjadi sedikit tertarik dengan topik pembicaraan ini.

Adam cekikikan, “Intinya, kita harus berbisnis. Terserah apa saja bisnis yang akan Kita jalani nanti, aku akan berusaha semaksimal mungkin agar kita bisa berhasil mudik bersama.”

“Modalnya dari mana, Adaamm… dari dengkulmu!?”

“Kita kencani saja anak perempuan tunggal kaya raya! hahahaa.” Jawabnya lalu berlari menjauh dariku  sebelum aku daratkan pukulan ringan di kepalanya.

Aku membiarkan mata tajamku menelusuri parkiran roda dua yang cukup luas dan sesak dengan spion berjejer rapih untuk mengecoh letak dimana kendaraan kesayangan pemiliknya itu berdiam diri. Untung saja warna hijau mencolok Mio J keluaran tahun 2012 itu dapat tertangkap mata. Meski sudah jauh tertinggal zaman, dia cukup irit. Apalagi dalam kondisi kantong yang sedang melilit sempit ini, tentu aku tetap bersyukur masih bisa bermanja dengannya.

 Tak berselang lama, untuk kesekian kali Jingga masih bisa bercengkrama dengan senja favorit dan tenggelam bersama gelapnya hari juga gusarnya hati.

***

Sahurr..sahurr.. bapak-bapak, ibu-ibu…..

Pengeras suara Mushola samping kost itu merapalkan mantra rutinitasnya di bulan ampunan. Tidak banyak asupan untuk mengisi cadangan lambungku siang nanti, telur dadar serta aroma menyeruak indomie soto Lamongan itu masih berhasil tercium saat aku bersendawa  ketika solat subuh tadi tiba.

“Assalamualaikum, Bu...” Jingga menghentikan sapaannya sejenak untuk menunggu orang disebrang telepon menjawab salam.

“Waalaikumussalam, le..  bagaimana kabarmu?”

“Alhamdulillah Jingga baik, Bu. Bagaimana adik-adik disana? Apakah sekolahnya semakin giat?” Tanyaku, yang sebenarnya diselingi rindu tak terbendung.

“Mereka semakin aktif di sekolah, Jingga. Beberapa pertanyaan dari mulut ceriwis itu kerap membuat Ibu kewalahan dalam menjawabnya. Jangan khawatirkan Adik-adikmu. Fokus saja di studi perkuliahan itu. Ibu tidak menuntut banyak, le. Pulanglah saat lebaran nanti.”

***

Ting.

Satu pesan masuk dilaman emailku, sekian purnama aku menunggunya. Kali ini berbeda dengan rasa pertama saat aku melakukan verifikasi pendaftaran kuliah. Terasa degub jantung memompa dua kali lebih cepat dari biasanya. Tidak lama setelah itu, disusul dering telepon bertuliskan Adam disana.

“Ngga, Kau berhasil! Selamat atas diterimanya pekerjaan paruh waktu mu, ya. Tidak banyak yang aku pinta dalam doa ku selama ini, cukup kau selangkah lebih berhasil di atasku. Dan beruntungnya, Tuhan mengabulkan doaku untukmu.”

Mendengar itu, rencana berbisnis bersama Adam seketika hilang dikawal angan.

Ternyata Tuhan cukup acak sekali menentukan nasib seorang hamba-Nya.

Ya, beberapa hari yang lalu aku sempat mendaftarkan diri di salah satu Instansi ternama dalam surat menyurat. Mungkin upahnya tidak seberapa jika dibanding pria paruh waktu yang menenteng tas dengan mengenakan jas hitam atau mobil hrv penyebab macetnya Ibukota di pagi hari itu. Tapi lagi-lagi aku selalu teringat pesan Ibu dengan nada bicaranya yang khas “Bersyukur saja, le. Maka nikmat-Nya tak akan terputus.”

Aku menarik napas panjang lalu kuhembuskan pelan. Hari ketujuh setelah jadwal kerja yang ditentukan untukku ternyata cukup padat.

 Biarlah, besok gajian pertama, gumamku.

***

 “Jingga, tolong antarkan surat ini ke alamat yang pak Anton kirim di grup watsapp, yaa.” Ujar Septo sembari menaruh pelan maps berwarna coklat itu dimejaku. Dan akupun menuruti perintah itu.

Tok..tokk..tok..

“Permisi, Pak.. ini ada titipan surat untuk Ibu Ranum Aggraeni” apa? Pasti aku salah baca. Tidak mungkin, bagaimana bisa mataku hampir terbelalak mengeja nama tersebut. Berulang kali kubaca, ternyata tidak berubah. Itu memang nama Dia.

Ranum Anggraeni, ternyata dunia tak sesempit rasa pikunmu.

***

10 tahun yang lalu

Desiran ombak dan belaian lembut angin di pinggir Pantai Parangtritis itu menyapu sementara seluruh kalut yang ada dikepala dua manusia berumur 9 tahun itu. Yang satu rambut dikepang dua, dan satunya lagi membiarkan helainya yang sedikit ikal ditiup manja sang angin. Percakapan yang biasa tentang kenapa kepiting itu jalannya kesamping? atau keinginan menjadi ubur-ubur lembek dan kenyal, memperdalam rasa kekanak-kanakan yang mereka punya.

“Jingga, aku tidak tau kenapa orang-orang jahat membawa Bapakku lama sekali. Aku takut, sudah 4 hari Bapak tidak menelepon padahal, dihari kedua kepergian Bapak adalah tepat hari ulang tahunku. Aku tidak ingin kado istimewa lainnya, cukup pulangkan saja Dia.” Ujar gadis kepang dua itu sambil tertunduk pilu.

“Jangan khawatir, Ranum. Bapakku juga, dia pergi di hari yang sama dengan bapakmu. Aku yakin, mereka berdua akan pulang dengan selamat dan akan bersama kita lagi. Tidak hanya kau, Ranum. Aku juga rindu Bapakku.” 

Mereka berdua tak tau, didepan sana ada sejarah yang akan mengubah segalanya dan merebut kebersamaan keduanya dengan paksa.

30 September 1965, kembalikan Bapakku.

***

Suara solawat baru saja melintasi rumahku. Begitu nyaring puji-pujian dilantunkan anak-anak yang menabuh rebana sambil menyenandungkan kecintaan dan doa keselamatan pada Nabi Besar kita. Ya, kesemarakan amat terasa, sebab hari inilah hari terakhir dalam setahun mereka mesti berlapar-lapar, menahan dahaga dan nafsunya pada sesama, sebagai persiapan menuju hari kemenangan 1 Syawal besok, diawali Salat Idulfitri di lapangan sebelah Masjid.

Aku dan Ibu, turut menyemarakkan hari kemenangan ini dengan mendatangi rumah-rumah tetangga dengan bergilir. Sekedar duduk, berjabat tangan alih-alih penggugur dosa, justru kadang terselip rezeki THR disana.

Tapi kali ini lebaran terasa berbeda, melihat rumah kosong yang berpagar hitam dengan gradasi putih abu didinding bangunannya. Rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Tapi disana, setengah dari hati ini terselip rasa rindu yang memanggil. Dan sekelebat kisah itu terpanggil lagi..

Bagaimana keluargamu? Ah, Ra, entah kenapa, aku mesti selalu ingat pada tradisi keluargamu itu. Dulu, di meja makan rumahmu selalu dua keluarga kita berkumpul. Bapak, ibu, dan tiga adikku turut serta meramaikannya bersama bapak, ibu, dan dua adikmu. Tentu, tentu. Kau masih ingat, kan? Makanku selalu yang paling banyak, penuh selera, dan piringku selalu penuh isian. Ibumu paling senang melihat masakannya kusantap kelewat dokoh dan marem.

Ra, engkau tentu masih ingat ketupat rendang buatan Ibumu. Hangat pulen nasi padat dalam ikatan simpul rumbia kelapa, dilumuri bumbu hitam kecoklatan dan pedas dari rendang yang dimasak berjam- jam oleh Ibumu itu selalu memancing selera bahkan sebelum bapakku mengetuk pintu depan rumahmu.

Keluargamu begitu baik padaku, Ranum. Bahkan saking dekatnya keluarga kita, nama belakangku dan nama belakangmu juga dibuat semirip mungkin oleh orangtua kita. Di kotaku ini, yang jaraknya tak kurang dua ratus kilometer dari kampung kita, aku sudah terlalu lama tidak merasakan rendang senikmat buatan Ibumu. Ya, tentu saja aku takkan lupa, Ra. Keluargamu kini memusuhi rendang daging. Bukan, percayalah, itu bukan kesalahan kau atau aku. Itu ulah sejarah yang dulu mengubah jalannya dunia, dunia kita tepatnya. Sejarah menjauhkan aku dari rendang ibumu, juga dari bapakku. Untuk yang pertama, mungkin dapat saja kubeli rendang di restoran lain yang rasanya teramat jauh di bawah rendang ibumu. Tetapi sampai sekarang, aku belum tahu toko mana yang menjual Bapak yang sepelit Bapakku.

Kau dan aku masih sama-sama kecil saat peristiwa itu terjadi. Siapa yang sebenarnya tahu, manusia kurang ajar yang di malam itu merampas pedang dari tangan Tuhan dan dipakainya mencabut nyawa tujuh jenderal yang digelari “Pahlawan Revolusi” itu? Ya, kau bertanya, seperti aku juga bertanya. Di antara kita tak ada yang bisa menjawab soal. Kata Bu Guru, itu rahasia negara. Anak kecil jangan banyak tanya! Agar jadi anak yang berbakti bagi nusa bangsa, kita cukup beramai-ramai menudingkan jari sambil menyerapah mereka yang tak pernah memasuki pengadilan untuk dijatuhi hukuman.

Kata bapakmu, siapa salah itu tak penting. Satu yang jelas: jauhi aku sekeluarga. Kau lantas patuh saja pada perintah bapakmu. Persahabatan, keakraban, dan kedekatan kita begitu saja digunting putus waktu.

Aku tak pernah mengetahui apa yang dilakukan bapakku. Di tengah keluarganya, bapak tak pernah mengakui, apakah dia ikut-ikutan dalam barisan manusia yang malam itu bergerak dalam kegelapan, beraksi nista mencabut nyawa sesamanya, kukira itu jadi rahasia bapak yang akhirnya ia bawa ke keabadian.

Ya, Bapak tak pernah mengakui itu.

Aku jelas tak mendengar perintah bapakmu untuk menjauhkan anak sulungnya dariku. Bapakmu yang pendiam tak memberi kemungkinan untuk siapapun kecuali ia sendiri dan Tuhan tentang mengetahui apa yang ia pikir dan rasakan. Cukup dari gelagatmu, aku sudah cukup menerima berita penahbisan keluargaku sebagai musuh keluargamu sejak hari itu.

Hari-hari ketika itu memang tidak jelas. Kau pernah cerita di Pantai, waktu kita bermain istana pasir-pasiran terakhir kalinya, bapakmu pernah tidak pulang empat hari. Ia berurusan dan diajak tentara yang malam-malam menjemputnya. Kau bilang, kau takut sekali, sampai ibumu menggelar selamatan supaya bapakmu cepat pulang. Ah, bapakmu memang pantas untuk dikasihani. Cuma semalam sesudah selamatan digelar, bapakmu kembali.

Bapakku sama. Ia juga diajak  tentara yang tinggi berseragam loreng itu, menaiki bak mobil besar dan berisik. Meninggalkan rekam punggungnya  yang pada hari itu tak mampu ibu dan aku ikhlaskan. Bedanya, bapakmu kembali setelah empat hari, sedang bapakku mengembalikan namanya saja untuk kupakai sampai sekarang, sesudah empat puluh tahun.

Sesudah hari-hari itu lewat, bapakmu mendadak takut daging. Lucu memang, orang yang takut pada daging. Tapi sejak itu, ibumu tak pernah lagi memasak rendang di hari Lebaran. Lebaran tahun itu, sebelum aku merantau nan jauh diseberang. Aku dan ibuku masih menyempatkan diri datang. Bapakmu menyambut di ambang pintu ikut menyalami. Aku dan ibuku mengucap minal aidin wal faizin, tapi dalam mata yang dingin sekaligus wajah sendu.

“Kali ini, lebaran tanpa rendang daging,” cerita ibumu. Akhirnya ibu dan aku cuma menyantap ketupat dengan kuah opor yang sudah dingin. Daging ayamnya habis disantap rekan-rekan bapakmu yang datang lebih dulu, menggasak dan meninggalkan kuah dan bawang goreng itu buat ibu dan aku. Ya, jangan bilang aku tidak mengingat itu lagi, Ra! Apakah keluargamu atau keluargaku yang berubah, kurasa kau yang mengetahui jawabannya.

Siapa sangka, itulah lebaran terakhirku di rumahmu. Setahun sejak itu, ibu dan aku diajak tentara untuk pindah ke rumah baru berbentuk barak besar dan panjang. Oh, sungguh tidak enak. Kami keluar dari sana setiap pagi, dimaki-maki sepuasnya oleh bapak- bapak tentara berseragam hijau loreng, lalu masuk lagi dan menunggu datangnya kiriman dari sanak-semenda yang tidak kunjung sampai.

Barak besar itu tak perlu kau cari. Kekuasaan yang puas bermandi darah merasa tak lagi membutuhkannya. Di sana sekarang berdiri kantor pusat sebuah korporasi asing yang pernah kau pertuankan. Tapi, asal kau tahu, di atas sebidang tanah di seberang Kantor Walikota itu, masih dapat kau raba tapak kaki ibuku yang berdarah-darah setelah disuruh berjalan kaki di atas beling agar mengakui telah ikut dengan suaminya di malam kelabu, pas pergantian bulan itu.

Orang menamai barak itu, Kodim.

Tidak banyak yang dapat kuingat dari empat tahun penahanan itu. Ibu tak pernah mendengar apa dosa yang menjerumuskan dia. Pun ibu tak mengerti apakah sudah impas dosanya ketika ia menerima pembebasan. Tapi, dan ini dia yang kuingat terus, kau tak pernah datang menjengukku. Kau, Ra, yang mengaku jadi sahabatku yang sejati dan paling erat, yang berbunga-bunga meyakinkan hatiku bahwa selamanya engkau takkan sudi meninggalkanku sendirian, ternyata diserang pikun yang begitu cepat.

Aku masih bisa berbahagia, tentu. Bapakmu sekarat sewaktu ibuku dan aku dilepas. Kau datang padaku buat mengemis, menunaikan wasiat bapakmu yang minta supaya aku bersedia mengimami salat jenazahnya. Akupun kau ajak menyaksikan malaikat bermain catur dengan bapakmu. Dasar payah, bapakmu kalah. Ia diajak memasuki pintu alam keabadian. Waktu itulah semua yang tak pernah bapakmu bicarakan kuketahui.

Maklum saja, ia tak menyukai rendang. Ia membenci daging, sebab daging terakhir yang ia pegang ialah batang kepala bapakku yang dia jagal di kaki Jembatan Bacem. Darah bapakku ikut menghilir bersama derasnya arus Bengawan Solo yang membawanya ke keabadian. Bapakmu itu takut pada daging, sebab daging terakhir yang dipegangnya dan darah terakhir yang disaksikannya masih mewujud dalam daging dan darahku.

Tidak, tidak. Kau tak salah membaca surat ini, Ra. Surat ini datang kepadamu bukan sebagai perkawanan, tapi juga bukan rupa permusuhan. Surat ini kukirimkan kepadamu supaya engkau tidak lagi pikun. Jangan menyangka sudah terbit perdamaian di antara kita. Pengakuan bapakmu sebelum ajal itu hanya memberiku keterangan tentang dosa yang sudah ia lakukan pada bapakku. Pada jenazah yang kuimami salatnya itu masih terendus bau amis darah orang yang teramat dalam kucintai, kukagumi, kubanggakan.

Dan surat ini. Surat ini tak akan mungkin sampai ke tanganmu, juga takkan kau baca, kalau aku memilih batal mengirimkan dan menulisnya. Ingatanku terlalu pedih untuk menulis sebuah pengakuan pada sejarah kita berdua yang dicerai-beraikan sang waktu. Kepikunanmu itu, ku- yakini adalah caramu melupakan, meski darah penjagal bapakmu tetaplah mengaliri pembuluhmu sampai kau mampus nanti.

Sudahlah, aku tak berniat menabur dendam di atas kertas. Terlalu pahit dan ia memang tidak akan tumbuh jadi apa-apa. Malam lebaran ini, aku hanya mengakhiri pikun yang kau derita dengan perdamaian antara kita. Besok pagi, sebagai Muslim, aku mesti menunaikan kewajibanku merayakan kemenangan, seperti juga engkau. Marilah, bersama-sama kita hapus keburukan bapak-bapak kita, bapakku dan bapakmu, dan menyerahkan mereka pada penghakiman Tuhan yang tidak pernah keliru meski tanpa jaksa, naik banding, atau kasasi.

Lupakan dan redamkan yang telah lalu,  itu adalah bisa tanpa penawar.

Kalau kau mau, datanglah ke rumahku. Di sini selalu ada rendang daging ibuku yang dimasak dengan keikhlasan, tanpa dendam dan kebencian. Hanya sebutir cinta yang membumbuinya; cinta yang tak pernah padam karena ia sejati.  

“Heh! Jangan melamun, le. Ayo kita pulang ini sudah keburu sore, Adik-adikmu pasti sudah menunggu dirumah. Ibu belum menyiapkan Rendang dimeja makan. Taruh saja surat itu di tepi pagar hitamnya. Semoga saja keajaiban bisa membawa Ranum mu itu kembali lagi.”

Ibu memecah lamunan luka itu, mungkin merasa kasihan melihat Putranya bertahun tahun menantikan jawaban dari tumpukan surat yang tak bertuan.

Aku terlambat. Terlambat untuk semuanya. Tak bisa kukejar rasa sesal yang sudah tertinggal jauh dibelakang.

Ranum, Jingga mu ini sangat rindu.

***

Senja mulai membiru, Menunggu yang berlalu

Haru air mata menyela, Iringi rindunya     (for Revenge ; serana)                              

Posting Komentar

0 Komentar