Header Ads Widget

Darussalam Catering

Jika Kau Melihat Dosa

 

Karya: Aracadia

Tepat ketika palu mengetukkan kepalanya pada meja bapak hakim, tepat itu pula matahari dengan kejamnya menusuk kulit kepada siapapun yang masih berani beraktivitas di luar ruangan. Ruangan itu sempurna dibuat gemetar oleh kepala palu yang mengetuk meja pengadilan. 

Ruangan yang memiliki luas 30x50 meter persegi sudah cukup untuk menampung beberapa pihak tertentu untuk ukuran pengadilan tertutup. Warna dinding dicat netral, ubin menutupi dirinya dengan karpet merah legam, dan tentu saja meja pengadilan yang mempunyai ukuran besar – dihiasi dengan simbol keadilan. Ruangan yang benar-benar dirancang untuk menjaga kerahasiaan, tak terdapati jendela, hanya ada satu pintu besar yang berdiri dengan kokoh bersama urat kayu jati.

Untungnya, pencahayaan ruangan sidang cukup terang. Sudut-sudut ruangan mengikuti meja bapak hakim – menggambarkan simbol keadilan, dan semoga saja keadilan selaras dengan keputusan akhir bapak hakim. Tak banyak kursi yang disediakan di ruangan itu, setidaknya cukup untuk para peserta sidang: hakim, jaksa penuntut, pengacara pembela, terdakwa, dan aku sebagai saksi. Staf keamanan berdiri tegak bersama satu-satunya pintu yang kokoh tadi.

Terdakwa masih duduk di kursi panas. Salah satu sudut bibirnya tertarik, tanda tanpa bahasa yang menunjukkan ambisi selama ini direncanakan berhasil paripurna. Aura coklat kotor melekat pada wajahnya, setelah terdakwa menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. Perkataannya menghasilkan aura keruh, warna yang biasa kulihat setelah berkata dusta.

Aku sudah selesai dengan tugasku sebagai saksi. Kesaksian yang kuberikan ternyata tak cukup membuat kebijakan bapak hakim menemui kebijakan itu sendiri. Itulah sebabnya waktu yang sekarang dirasakan bernama dunia, karena sebaik-baiknya keadilan adalah milik Tuhan ketika di akhirat nanti.

Kebijakan ternyata tak selalu berbicara tentang kebijakan. Itu yang membuat aku melihat bercak darah setiap bapak hakim selesai menginjakkan sepatunya pada lantai. Peserta sidang tertutup tentu saja tidak melihat itu semua, karena itu adalah peristiwa yang menjadi masalah utamaku selama ini.

Apa yang akan kau lakukan jika kau mempunyai kesempatan untuk melihat dosa?

Semua peserta sidang selesai dengan urusan masing-masing. Kata ’selesai’ tak selalu bertemu dengan kata ’menang’ apalagi ’adil’. Keputusan yang bapak hakim berikan membuat jaksa penuntut mengepalkan tangan dan mengigit rahangnya saat keluar dari ruangan sidang. Tak ada yang benar-benar selesai. Aku tak tahu kapan dunia ini benar-benar bertemu keadilan. 

Pernahkah kalian melihat sesuatu yang lebih kotor dari kotoran? Tak ada manusia yang benar-benar suci dan luput dari dosa, tapi takaran dosa yang di atas rata-rata benar-benar membuatku muak. Dan bagian sedihnya, mereka tak melihat dosa-dosa mereka sendiri, sedangkan aku melihat itu semua. Wujud dosa mereka membuatku jelak, mengapa tidak mereka saja yang melihat wujud dosa-dosa mereka sendiri?

Aku dibungkam dengan seribu bahasa. Kapan dunia bertemu dengan keadilan? Bagaimana memberi kaki pada keadilan agar ia tidak selalu lumpuh dan dapat berjalan? Apa yang membuat mereka melumpuhkan kaki keadilan?

Setelah selesai dari ruangan sidang, sepertinya menitipkan penat ke bangku taman kota adalah pilihan yang bagus. Angin kota menelisik. Daun-daun seakan ikut menari dalam angin. Rimbun pepohonan seakan berbicara, ”Kemarilah, aku tempatmu berteduh.” Mereka benar-benar melindungi dari sengatan matahari musim panas dan membuat atmosfer hijau.

Jalur setapak taman ditemani oleh bunga yang berwarna-warni penuh juga dengan aura yang dihasilkan oleh pengunjung taman. Ada yang sedih, menghasilkan aura keabu-abuan. Ada yang senang, menghasilkan aura ceria. Beberapa memang menyimpan rapi kesedihan dan luka. Aku tak mempunyai masalah dengan semua itu, karena yang paling penting aku tak mencium bau dosa.

Taman kota menawarkan kesejukan. Di bawah naungan musim panas, taman kota beserta rimbunan pohon tetap memberikan keteduhan. Anak kecil yang berlarian mengejar layang-layang. Aura mereka mengikuti, berwarna pastel menggembirakan. Beberapa keluarga kecil juga berkumpul, menikmati bekal yang mereka bawa. Aura mereka berseri-seri. 

Di antara perputaran aktivitas pengunjung taman, aku masih menitipkan punggung beserta letih di bangku taman kota. Memanjakan mataku setelah melihat hal-hal yang membuatku penat. Melihat langit yang biru. Suara gemericik air mancur. Dan bunga-bunga bersama segala keharumannya. Semua itu seperti pelukan alam, menghapus lelah dan resah. 

Bangku taman kota yang kududuki menghadap papan reklame berisi kampanye untuk memilih calon wali kota pada acara pemilihan wali kota minggu depan. Harapan yang tertulis seakan tak masuk nalar mengingat setiap bergantinya pemerintahan, harapan yang disampaikan tak ada yang menjadi kenyataan.

Kemeja putih serta celana pensil menjadi pililhan pakaian untuk kukenakan di acara persidangan tertutup tadi. Buku yang kubawa mendukung kesaksian, jam tangan hitam legam yang melekat di pergelangan tangan juga membantu untuk mengatur waktu. Topi yang melingkupi kepala menahan rambutku yang setengah ikal dan melindungi mata agar tidak langsung terkena sambaran matahari musim panas.

Sepelemparan batu dari papan reklame berdiri, rombongan bersama wali kota mengadakan kampanye sembari mengitari keindahan taman kota. Yang disayangkan dari mereka adalah – lagi-lagi aku mencium bau busuk! Aku menaikkan fungsi mataku dua kali lebih kuat, karena yang kulihat hanyalah gumpalan warna kotor yang tak bisa kujelaskan warnanya mengitari setiap kepala dari mereka. Yang berada di posisi paling tengah ialah yang paling pekat.

”Bisakah kau melihat siapa saja yang berada di gerombolan itu?” tanyaku pada orang yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk. 

”Itu adalah gerombolan calon wali kota. Pemilihan wali kota akan datang seminggu lagi, tentu mereka mengadakan kampanye,” jawabnya.

Maukah aku gambarkan apa yang aku lihat saat ini pada gerombolan manusia tersebut? Sama seperti bapak hakim tadi, setiap injakan sepatunya meninggalkan bekas darah yang membuat amis. Gumpalan yang tak bisa kudeteksi warna apa melingkari kepalanya. Aura mereka juga tak beraturan, mungkin ketiga elemen itu yang membuat mereka beraroma busuk sampai menusuk indra penciumanku. Ini terlalu sakit. Dan aku terbatuk mual karenanya, merogoh cairan wangi yang biasa kubawa dalam celana pensilku guna mengobati bau busuk yang menusuk.

Aku tak tahan jika mempertahankan posisiku untuk terus duduk di bangku taman kota. Tempat apa yang sekiranya aku tak akan mencium bau busuk sebusuk ini? Aku melangkah cepat sembari memasang fokus mata lebih kuat lagi di saat hidungku tak baik-baik saja, guna mencari rute keluar dari taman kota ini.

Kepalaku pusing. Pandanganku gelap sementara, entah ini akibat perpindahan posisi tubuh dari duduk ke berdiri yang terlalu cepat, atau akibat mencium bau busuk. Lagi-lagi aku meraba sekeliling menggunakan tanganku di saat mataku belum ingin bekerja dengan sempurna, mencari batang pohon untuk bersandar dari semua kekacauan bau busuk ini. 

”Tuan, apakah Anda baik-baik saja?” sebuah suara serak tiba-tiba mengagetkanku. Dengan tangannya ia menepuk-nepuk bagian atas kemeja putihku, dan dengan tangannya yang lain ia membersihkan debu yang menempel di bagian lain kemeja putihku.

Apakah aku baik-baik saja?

”Tuan, Anda bisa beristirahat ke mari,” tangan lembutnya meraih tanganku, menunjukkan setapak demi setapak jalan. Ia seperti tahu, di mana seharusnya aku berada. Menyelematkanku dari carut-marut kehidupan. Terlebih pada bau busuk.

Gerakan kakiku mengikuti gerakan kakinya berjalan. Ia benar-benar membawaku ke tempat di mana seharusnya aku berada – sehingga aku tak melihat aura aneh terlebih bau busuk. Indah sekali pemandangan yang aku lihat: warna-warna suara yang begitu cantik. Ia berwarna pelangi, begitu banyak macam warna, begitu indah dan teratur menuju langit.

”Tuan, silakan beristirahat sebentar,” entah kapan ia mengambil segelas air putih, dan memberikannya pada tanganku. Lalu, pergi dengan meninggalkan senyuman yang membekas di kepala.

Tempat ini bersih, dilengkapi dua menara yang mengapit satu kubah besar bewarna putih. Setiap ubin anak tangga memiliki keharuman, sepertinya itu adalah cara mereka menyambutku dan mengobatiku dari bau busuk. Dan benar saja, di dalamnya kumpulan manusia baik berkumpul di sini, masing-masing dari mereka membaca surat cinta Tuhan yang abadi hingga saat ini. Ternyata mereka pembuat warna suara pelangi indah itu.

Tak ada bau busuk di sini. Tak ada aura gelap ataupun sesuatu berbentuk aneh yang membuatku mual di sini. Hidungku menikmati harum kasturi, mataku masih tak ingin lepas dengan warna suara pelangi yang berhamburan indah menuju langit. Mereka seperti berlomba menjadi siapa yang paling cantik dan siapa yang paling cepat.

Angin segar itu masih ada. Lihatlah, di tengah hiruk-pikuknya dunia, bukankah semesta senantiasa menyebut nama-Nya? Daun yang bergesekan itu. Burung yang berkicauan di langit. Pergantian warna langit. Suara-suara yang hewan miliki. Tinggal bagaimana cara memahaminya. Mungkin, jika terbiasa menyimpan rapi luka, datanglah kemari. Bukankah Ia sendiri yang berfirman, janganlah bersedih karena Ia selalu bersama kita? Sedangkan kita tahu, Ia tak pernah mengingkari janji yang ia buat sendiri. Dunia ternyata masih memiliki sisi indahnya. Bagaimana dengan gambar surga nanti jika di tempat ini terasa menemukan keindahan yang abadi? Hanya duduk termenung mendengarkan apa yang mereka baca, aku merasa terikut dipeluk oleh-Nya. Aku tak tahu pemilik suara ini, suaranya berkicau begitu saja dalam benak kepalaku.

”Tuan, apakah Tuan sudah baik-baik saja?” tanyanya lagi dengan suara serak yang masih sama. ”Tuan bisa mengikutiku ke mari,” lanjutnya tanpa meminta persetujuanku dahulu.

Ia membawaku ke tepi sungai, jarak yang bisa ditempuh sepeluru bedil dari tempat sebelumnya. ”Apa yang membuat Tuan punya kemampuan melihat dosa?” ia memberiku pertanyaan yang membuatku terkejut sempurna.

Sungai itu jernih. Dengan kejernihannya, ia memantulkan awan putih. Seakan akrab dengan pemilik suara serak, ia patuh mengikuti permintaan yang diberikan oleh sorotan mata pemilik suara serak. Kejernihan dan ketenangannya berubah menjadi sesuatu yang menampakkan kegelapan secara tiba-tiba dari permukaan airnya. Lalu menunjuk ke arahku dengan caranya. 

”Tuan, apakah sekarang Tuan sudah mengerti mengapa Tuan dapat melihat dosa? Ini adalah kegelapan yang Tuan punya,” ia melanjutkan kalimatnya setelah terputus, bersama suara serak khas miliknya. Lalu, lagi-lagi meninggalkanku sendirian, bersama senyuman yang meninggalkan bekas di kepala.



Posting Komentar

0 Komentar