Header Ads Widget

Darussalam Catering

Iftah – Epilog

 

Apa yang sebenarnya harus aku buka?

Pondok bukan penyihir, seperti itulah kami diajari. Namun, entah kenapa aku ingin sekali menyoal hal itu sekarang, karena yang terjadi, lingkungan ini selalu punya kekuatan luar biasa untuk mengubah pola pikir dan hidup santri-santrinya. Sekarang giliranku jadi korban kekuatannya. Aku seakan terkena letupan mantra magis yang menjadikanku insaf bahwa sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa. Keinginan yang meledak-ledak untuk menjadi yang terbaik malah berhasil mengantarkanku jadi yang terburuk. Aku sadar bahwa merasa pintar adalah kebodohan sejati.

Di tengah semesta kampung damai aku merasa sangat kecil – sekali lagi. Kutatap geliatnya dan mulai kupertanyakan, apakah dia tidak peduli pada perasaanku, apakah dia hanya hanya fokus melaju berdinamika meninggalkanku yang hancur lebur. Kukendurkan mataku dan kupahami bahwa tangannya selalu terjulur setiap saat aku butuh tuntunan. Terkadang aku saja yang tidak mau mengerti. Dia tidak akan abai padaku, dia akan susun jiwaku dengan cahaya, karena dia berjanji akan membentuk diri setiap santri untuk menjadi manusia yang utuh dengan:

Al-Akhlaq al-Karimah

 Al-Jism as-Salim

  Ats-Tsaqafah al-Wasi’ah

   Al-Afkar al-Munfatihah

Dalam senandika ini, aku berbalik menggugat diriku. Kenapa aku tidak belajar kepada menara, yang menjulang tapi tidak merasa harus mengungguli; atau kepada pohon, yang tinggi tapi semata-mata demi menaungi. Bisa-bisanya aku lupa betapa kecilnya aku di tengah jagat raya yang begitu besar ini. Bagaimana mungkin aku lupa kalau di atas langit masih ada langit. Aku malu saat mengingat betapa congkaknya diriku, dan aku tahu kalau aku harus berubah.

Sisa waktuku di pondok tidaklah lama. Pertanyaan-pertanyaan semacam soal ayah yang waktu itu akan banyak menghujaniku nanti setelah lulus. Aku sadar aku terlalu jauh dari kata siap. Dulu aku terbuai dengan perkataan “santri tidak hanya bisa mengaji, tapi juga bisa melakukan banyak hal”, sehingga aku terlalu gencar mengejar ‘banyak hal’ sampai lupa caranya mengaji. Sudah seharusnya aku melandasi ‘banyak hal’ di kehidupanku kelak dengan ilmu pengetahuan. Semoga tidak terbalik lagi.

Setelah Fathul Kutub, dan setelah telepon itu, hari-hariku tidak pernah lagi sama. Ataukah sebenarnya, setiap hari berganti, aku tidak pernah jadi manusia yang sama lagi. Ragaku akan selalu berubah seiring matahari muncul dan tenggelam mencipta hari. Namun, aku sadar bahwa jiwaku hanya bisa berubah selama ilmu pengetahuan terbit dan mengakar menjelma kebijaksanaan.

Sudah kuputuskan, sore-soreku akan menjelma perpustakaan. Tidak akan lagi ada seorangpun yang lebih akrab denganku dibanding buku-buku. Hanya dengan berteman bersamanya pikiranku akan bernapas dan hatiku terus bernapas, lisanku akan berisi dan gerakku akan bermakna.

Ustaz Arham dan guru staf KMI lainnya sampai hafal padaku yang hampir setiap hari berkunjung ke Maktabah Turast di Gedung Saudi 6 – depan rayonku. Kudapati surga di ruangan hening ini. Rak-rak Kitab Turast membentuk lorong-lorong yang mungkin apabila aku melangkah ke tengahnya aku akan masuk ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Tanganku takkan tahan menahan diri dari kitab-kitab itu yang menarik laksana magnet.

 

Pelajaran yang kudapat dari Fathul Kutub memang berharga sekali. Kugunakan metode belajar itu setiap kali berkutat dengan turast. Kubuka kitabnya, kucatat kosakata baru dan poin-poin pentingnya, dan kubincangkan isinya dengan orang-orang yang ada di sana. Selalu aku bertemu ke dengan Ustaz Nafi’ dan berdiskusi (juga pasti bercerita) tentang segala macam ilmu dengannya.

Selain berjumpa di Maktabah Turast, aku juga sering mendapati Ustaz Nafi’ di Masjid ‘Atiq. Dia duduk di tengah orang-orang yang melingkarinya, terkadang asatidz terkadang santri. Terlihat mereka sedang berdiskusi atau mengaji satu kitab tertentu. Perlahan aku paham bahwa nadi keilmuan di pondok juga didenyutkan oleh pertemuan-pertemuan kecil seperti ini. Akhirnya, selain perpustakaan turast atau perpustakaan lainnya, halaqah di masjid ‘atiq juga kupilih untuk jadi kesibukanku. Rupanya ini tempat pulang bagi Ustaz Nafi’, semoga bisa jadi demikian juga bagiku.

Aku pun mengerti bahwa Fathul Kutub tidak mengajari para santri untuk belajar karya-karya klasik dari kitab ke kitab. Namun, aku dan santri lainnya diajari cara-cara mendekati kitab-kitab turast, di mana dasarnya dengan dibentuk untuk menjadi pembelajar seumur hidup.

Memang dengan cara ini, aku tidak akan langsung menjadi ahli, tapi berangkat dari modal bahasa Arab yang cukup, aku bisa membaca kitab secara mandiri. Atau setidaknya dengan bekal ini aku bisa tahu buku mana yang bisa kukaji sendiri dan buku mana yang butuh guru, dan dengan itu pula aku akan tahu ke guru atau tempat yang mana aku harus melanjutkan belajarku.

Sekali pernah aku bertanya kepada Ustaz Nafi’ saat sama-sama sedang di Maktabah. “Kira-kira setelah dari pondok, ke mana saya bisa melanjutkan belajar saya, Taz?”

Alih-alih langsung menjawab, ia memberikan mukadimah berupa cerita tentang sanad keilmuan pendiri pondok. Disebutlah nama-nama seperti Tremas, Siwalan Panji, Jamsaren, Manba’ul Ulum, Madrasah Arabiyyah Islamiyyah, Sumatera Thawalib, sampai Normaal Islam. Nama-nama yang rasanya kukenal tapi asing di waktu yang sama. Setelah selesai dengan mukadimah, Ustaz Nafi’ kemudian melanjutkan, “Pertanyaan kamu tadi itu juga pernah ditanyakan ke pendiri pondok dulu, dan jawaban beliau, ‘pergilah ke toko buku Salim Nabhan di Surabaya!”

Setelah jutaan detik, tahun telah berganti, tapi syukur kebiasaanku berkunjung ke perpustakaan tidak berubah. Seragam hitam putih ala kelas lima sudah beralih menjadi kemeja dan jas angkatan, tapi perkencananku dengan buku-buku masih tetap setia. Rutinitas ini berhasil mendukung perjalanan akademisku. Pengetahuan bertambah, kebijaksanaan bertumbuh. Aku belajar lebih mendapati bahwa proses menimba ilmu terkadang lebih penting dari ilmu itu sendiri.

Kini di sinilah aku, bergulat lagi dengan Fathul Kutub pada level yang lebih tinggi. Tidak akan kuulangi kecerobohanku yang lama. Dari pembukaan hingga penutupan, seluruh materi, setiap giliran, kunikmati seluruh prosesnya tanpa peduli bonus apapun. Dan ternyata benar, ketika seseorang terlalu berharap pada sesuatu, ia malah akan menjauh darinya. Namun, jika dia merelakan sesuatu ini tanpa banyak berekspektasi, apa yang diharapnya malah akan mendekat padanya. Kini di sinilah aku, berdiri di atas podium untuk berbagi kesan dan pengalaman tentang Fathul Kutub. Seluruh siswa akhir bertepuk tangan meriah, tapi itu sama sekali tidak akan melenakan hingga menutup hatiku. Aku sudah paham apa yang sesungguhnya harus kubuka.

Aku di sini diberi kunci, dan kunciku sama sekali tidak akan berguna selama dia hanya tergeletak dan tidak digunakan untuk membuka pintu. Kalau masa-masa di pondok cuma berlalu untuk sekedar jadi galeri foto atau celoteh nostalgia kelak, artinya aku menyia-nyiakan kunci yang kupunya dan kubiarkan pintu-pintu kebermanfaatan tertutup selamanya.

Aku tidak akan melek walang seperti itu. Kuhayati dari sekarang filosofi tentang kunci dan pintu, dengan terus mengamalkan ilmu yang sudah kumiliki. Semasih hidup terus berdetak, aku akan terus belajar, dari guru-guruku, dari buku-buku yang kubaca, dari jagat pikiran yang kubuka. Tidak peduli predikat, tidak peduli penghargaan. Aku akan terus membuka pintu-pintu pengetahuan semata-mata karena Tuhan.

Posting Komentar

0 Komentar