Apa yang sebenarnya harus aku buka?
Pondok bukan penyihir, seperti itulah kami diajari. Namun, entah kenapa aku
ingin sekali menyoal hal itu sekarang, karena yang terjadi, lingkungan ini
selalu punya kekuatan luar biasa untuk mengubah pola pikir dan hidup
santri-santrinya. Sekarang giliranku jadi korban kekuatannya. Aku seakan terkena
letupan mantra magis yang menjadikanku insaf bahwa sesungguhnya aku tidak tahu
apa-apa. Keinginan yang meledak-ledak untuk menjadi yang terbaik malah berhasil
mengantarkanku jadi yang terburuk. Aku sadar bahwa merasa pintar adalah
kebodohan sejati.
Di tengah semesta kampung damai aku merasa sangat kecil – sekali lagi. Kutatap
geliatnya dan mulai kupertanyakan, apakah dia tidak peduli pada perasaanku,
apakah dia hanya hanya fokus melaju berdinamika meninggalkanku yang hancur
lebur. Kukendurkan mataku dan kupahami bahwa tangannya selalu terjulur setiap
saat aku butuh tuntunan. Terkadang aku saja yang tidak mau mengerti. Dia tidak
akan abai padaku, dia akan susun jiwaku dengan cahaya, karena dia berjanji akan
membentuk diri setiap santri untuk menjadi manusia yang utuh dengan:
Al-Akhlaq al-Karimah
Al-Jism
as-Salim
Ats-Tsaqafah al-Wasi’ah
Al-Afkar
al-Munfatihah
Dalam senandika ini, aku berbalik menggugat diriku. Kenapa aku tidak
belajar kepada menara, yang menjulang tapi tidak merasa harus mengungguli; atau
kepada pohon, yang tinggi tapi semata-mata demi menaungi. Bisa-bisanya aku lupa
betapa kecilnya aku di tengah jagat raya yang begitu besar ini. Bagaimana
mungkin aku lupa kalau di atas langit masih ada langit. Aku malu saat mengingat
betapa congkaknya diriku, dan aku tahu kalau aku harus berubah.
Sisa waktuku di pondok tidaklah lama. Pertanyaan-pertanyaan semacam soal
ayah yang waktu itu akan banyak menghujaniku nanti setelah lulus. Aku sadar aku
terlalu jauh dari kata siap. Dulu aku terbuai dengan perkataan “santri tidak
hanya bisa mengaji, tapi juga bisa melakukan banyak hal”, sehingga aku terlalu
gencar mengejar ‘banyak hal’ sampai lupa caranya mengaji. Sudah seharusnya aku
melandasi ‘banyak hal’ di kehidupanku kelak dengan ilmu pengetahuan. Semoga
tidak terbalik lagi.
Setelah Fathul Kutub, dan setelah telepon itu, hari-hariku tidak pernah
lagi sama. Ataukah sebenarnya, setiap hari berganti, aku tidak pernah jadi
manusia yang sama lagi. Ragaku akan selalu berubah seiring matahari muncul dan
tenggelam mencipta hari. Namun, aku sadar bahwa jiwaku hanya bisa berubah
selama ilmu pengetahuan terbit dan mengakar menjelma kebijaksanaan.
Sudah kuputuskan, sore-soreku akan menjelma perpustakaan. Tidak akan lagi
ada seorangpun yang lebih akrab denganku dibanding buku-buku. Hanya dengan
berteman bersamanya pikiranku akan bernapas dan hatiku terus bernapas, lisanku
akan berisi dan gerakku akan bermakna.
Ustaz Arham dan guru staf KMI lainnya sampai hafal padaku yang hampir
setiap hari berkunjung ke Maktabah Turast di Gedung Saudi 6 – depan rayonku. Kudapati
surga di ruangan hening ini. Rak-rak Kitab Turast membentuk
lorong-lorong yang mungkin apabila aku melangkah ke tengahnya aku akan masuk ke
dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Tanganku takkan tahan menahan diri dari kitab-kitab
itu yang menarik laksana magnet.
Pelajaran yang kudapat dari Fathul Kutub memang berharga sekali. Kugunakan
metode belajar itu setiap kali berkutat dengan turast. Kubuka kitabnya,
kucatat kosakata baru dan poin-poin pentingnya, dan kubincangkan isinya dengan
orang-orang yang ada di sana. Selalu aku bertemu ke dengan Ustaz Nafi’ dan
berdiskusi (juga pasti bercerita) tentang segala macam ilmu dengannya.
Selain berjumpa di Maktabah Turast, aku juga sering mendapati Ustaz Nafi’
di Masjid ‘Atiq. Dia duduk di tengah orang-orang yang melingkarinya, terkadang asatidz
terkadang santri. Terlihat mereka sedang berdiskusi atau mengaji satu kitab
tertentu. Perlahan aku paham bahwa nadi keilmuan di pondok juga didenyutkan
oleh pertemuan-pertemuan kecil seperti ini. Akhirnya, selain perpustakaan turast
atau perpustakaan lainnya, halaqah di masjid ‘atiq juga kupilih
untuk jadi kesibukanku. Rupanya ini tempat pulang bagi Ustaz Nafi’, semoga bisa
jadi demikian juga bagiku.
Aku pun mengerti bahwa Fathul Kutub tidak mengajari para santri untuk
belajar karya-karya klasik dari kitab ke kitab. Namun, aku dan santri lainnya
diajari cara-cara mendekati kitab-kitab turast, di mana dasarnya dengan dibentuk
untuk menjadi pembelajar seumur hidup.
Memang dengan cara ini, aku tidak akan langsung menjadi ahli, tapi berangkat
dari modal bahasa Arab yang cukup, aku bisa membaca kitab secara mandiri. Atau setidaknya
dengan bekal ini aku bisa tahu buku mana yang bisa kukaji sendiri dan buku mana
yang butuh guru, dan dengan itu pula aku akan tahu ke guru atau tempat yang
mana aku harus melanjutkan belajarku.
Sekali pernah aku bertanya kepada Ustaz Nafi’ saat sama-sama sedang di
Maktabah. “Kira-kira setelah dari pondok, ke mana saya bisa melanjutkan belajar
saya, Taz?”
Alih-alih langsung menjawab, ia memberikan mukadimah berupa cerita tentang
sanad keilmuan pendiri pondok. Disebutlah nama-nama seperti Tremas, Siwalan
Panji, Jamsaren, Manba’ul Ulum, Madrasah Arabiyyah Islamiyyah, Sumatera
Thawalib, sampai Normaal Islam. Nama-nama yang rasanya kukenal tapi asing di
waktu yang sama. Setelah selesai dengan mukadimah, Ustaz Nafi’ kemudian
melanjutkan, “Pertanyaan kamu tadi itu juga pernah ditanyakan ke pendiri pondok
dulu, dan jawaban beliau, ‘pergilah ke toko buku Salim Nabhan di Surabaya!”
Setelah jutaan detik, tahun telah berganti, tapi syukur kebiasaanku
berkunjung ke perpustakaan tidak berubah. Seragam hitam putih ala kelas lima
sudah beralih menjadi kemeja dan jas angkatan, tapi perkencananku dengan
buku-buku masih tetap setia. Rutinitas ini berhasil mendukung perjalanan
akademisku. Pengetahuan bertambah, kebijaksanaan bertumbuh. Aku belajar lebih
mendapati bahwa proses menimba ilmu terkadang lebih penting dari ilmu itu
sendiri.
Kini di sinilah aku, bergulat lagi dengan Fathul Kutub pada level yang
lebih tinggi. Tidak akan kuulangi kecerobohanku yang lama. Dari pembukaan
hingga penutupan, seluruh materi, setiap giliran, kunikmati seluruh prosesnya
tanpa peduli bonus apapun. Dan ternyata benar, ketika seseorang terlalu
berharap pada sesuatu, ia malah akan menjauh darinya. Namun, jika dia merelakan
sesuatu ini tanpa banyak berekspektasi, apa yang diharapnya malah akan mendekat
padanya. Kini di sinilah aku, berdiri di atas podium untuk berbagi kesan dan
pengalaman tentang Fathul Kutub. Seluruh siswa akhir bertepuk tangan meriah,
tapi itu sama sekali tidak akan melenakan hingga menutup hatiku. Aku sudah
paham apa yang sesungguhnya harus kubuka.
Aku di sini diberi kunci, dan kunciku sama sekali tidak akan berguna selama
dia hanya tergeletak dan tidak digunakan untuk membuka pintu. Kalau masa-masa
di pondok cuma berlalu untuk sekedar jadi galeri foto atau celoteh nostalgia
kelak, artinya aku menyia-nyiakan kunci yang kupunya dan kubiarkan pintu-pintu
kebermanfaatan tertutup selamanya.
Aku tidak akan melek walang seperti itu. Kuhayati dari sekarang
filosofi tentang kunci dan pintu, dengan terus mengamalkan ilmu yang sudah
kumiliki. Semasih hidup terus berdetak, aku akan terus belajar, dari
guru-guruku, dari buku-buku yang kubaca, dari jagat pikiran yang kubuka. Tidak
peduli predikat, tidak peduli penghargaan. Aku akan terus membuka pintu-pintu
pengetahuan semata-mata karena Tuhan.
0 Komentar