Header Ads Widget

Darussalam Catering

Jika di Antara Masisir Terjadi Pidana (Lagi), Kita Harus Apa?

 Oleh: Haekal Afriadi

Beberapa waktu sebelumnya, ada yang sibuk mendengar rekaman bimbel, ada yang sedang mencari mood belajar, dan banyak yang masih menatap galau diktat kuliahnya. Tiba-tiba saja, tersebar berita yang membuat kepala menggeleng. Seorang masisir dipergoki mengintip kamar mandi masisirwati. Pelakunya Masri, kan? Bukan, Masisir! Kejanggalan amoral ini adalah sebuah kasus yang belum pernah masuk catatan DKKM selama 7 tahun terakhir. Walau memilukan, kejadian ini membuka mata kita terhadap beberapa hal.

Kita diperingatkan kembali bahwa kejadian-kejadian buruk, termasuk tindak kejahatan, dapat terjadi pada siapa saja, dan oleh siapa saja, termasuk Masisir, kepada Masisir. Saat tindak kejahatan itu terjadi, tentunya korban perlu memperjuangkan haknya untuk mendapatkan keadilan, pelaku perlu mendapatkan konsekuensi yang setimpal, dan kita sebagai sebuah masyarakat harus merasa nyaman karena adanya kepastian hukum itu. Apabila hal-hal ini belum terwujud, terbayang betapa buruk akibatnya.

Namun, saat ingin menegakkan keadilan, apakah langkah yang kita ambil masih asal-asalan, atau sudah berlandaskan pengetahuan yang pasti? Ibarat seseorang yang ingin memadamkan api dari wajan berisi minyak dengan menyiram air. Ya, air kan madamin api. Itu yang dia kira. Ternyata setelah disiram, api malah menyambar ke atas. Begitulah orang yang mengambil langkah yang asumtif. Niatnya tidak salah, tapi metode yang dilakukan tidak berdasarkan pengetahuan yang benar, hanya mengira-ngira.


Mediasi: Pertolongan Pertama

Di waktu sulit, manusia belum tentu bisa menyelesaikan masalah sendirian. Dia butuh kepada orang lain yang membantu. Begitu pula ketika sebuah pidana terjadi, Masisir dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang dapat melindungi dan membantunya, seperti kekeluargaan, almamater, atau jajaran yang fokus pada keamanan dan ketertiban: DKKM.

Setelah melapor, masisir akan mendapat bantuan dari DKKM. Mereka sebagai pihak yang membantu akan mendudukkan masalah dengan korban yang menjelaskan kronologi dan pelaku yang menyampaikan pengakuannya. Kemudian pihak DKKM mencoba menerangkan langkah-langkah yang dapat menjadi solusi. Proses inilah yang dikenal dengan mediasi.

Mediasi ini tidak bisa dipahami sebagai cara menutupi masalah, ketidakberpihakan kepada korban, atau bahkan ketiadaan keadilan sama sekali. Namun, mediasi dalam hal ini merupakan langkah awal penanganan kasus sebelum adanya keputusan untuk dilanjutkan ke ranah hukum. Anggap mediasi ini seperti pertolongan pertama pada kecelakaan. Tujuannya bukan untuk langsung menyembuhkan luka berat. Melainkan untuk mengurangi pendarahan agar tidak semakin parah. Baru kemudian bisa dilihat apa langkah selanjutnya, baik dirujuk ke rumah sakit atau cukup ditangani di rumah.

Mediasi untuk kasus pidana sudah seharusnya bukan sekedar forum emosional. Namun, untuk mencapai maslahat terbaik, proses ini juga melibatkan Kekeluargaan dari pelaku dan korban serta pihak-pihak terkait (rumah binaan, almamater, dll.) Resolusi dari proses ini diserahkan oleh DKKM dan forumnya kepada tuntutan korban. Baik menyelesaikannya secara internal atau kekeluargaan dengan sanksi yang disepakati bersama atau dibawa ke pengadilan. Artinya, mediasi dengan pengertian ini adalah bantuan kepada korban, dan bukan hambatan maupun upaya menyederhanakan masalah.


Pilihan Pertama: Penyelesaian Kekeluargaan

Apabila tuntunannya adalah penyelesaian secara kekeluargaan seperti yang di maksud di atas, DKKM meninjau kembali kasus dan menerbitkan Surat Peringatan (SP) 1 sampai 3 sesuai dengan tolok ukur yang ada. Untuk kategori pelanggaran yang paling berat akan dikeluarkan SP 3 yang berarti sanksi pemulangan swadaya oleh DKKM dan Kekeluargaan. Pemulangan swadaya ini merupakan sanksi paling berat yang bisa diusahakan oleh organisasi mahasiswa dengan keterbatasan wewenangnya.

Dengan terlibatnya Kekeluargaan, sanksi atas pelanggar setidaknya akan terkawal dalam beberapa sisi sehingga kesempatannya untuk kembali dan menetap di Mesir akan sulit, sebab ruang geraknya akan terbatas dan akses izin tinggal akan dibekukan.

Pemulangan pelanggar disertai dengan arahan untuk meminta maaf kepada orang tua. Di samping itu, pelanggar juga diberikan beberapa persyaratan apabila akan diterima kembali di Mesir sesuai dengan kesepakatan forum. Di antara syarat yang bisa diberlakukan adalah untuk menikah bagi yang sebelumnya merupakan pelanggar asusila.

Penyelesaian secara internal ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi rasa keadilan bagi korban, efek jera bagi pelaku, apalagi memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Penyelesaian secara internal belum bisa menghadirkan rasa keadilan paling tinggi sebab masih memilki kekurangan yaitu relativitasnya. Ukuran keadilannya masih sebatas apa yang diridai oleh korban dan proses yang selalu berbeda tergantung forum yang menjalankannya.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga masih memiliki celah, yaitu pada terbatasnya wewenang organisasi dan kekuatan hukumannya. Sanksi bukan merupakan hukuman administratif kampus, melainkan sebuah usaha swadaya dari organisasi mahasiswa. Bukan juga sanksi dari hukum formal atas putusan pengadilan. Di samping itu, ketidaknyamanan dapat terjadi di antara Masisir sebab proses ini biasanya terjadi dengan tertutup. Banyaknya komentar dari Masisir sering terjadi karena kurangnya transparansi tentang penyelesaian kasus.


Agar Iqomah Tidak Sia-Sia

Apabila yang dipilih adalah jalur hukum, mula-mula Masisir harus paham bahwa terpenuhinya hak harus sejalan dengan tertunaikannya kewajiban. Sebagai mahasiswa luar negeri, kewajiban kita terhadap pemerintah Mesir adalah untuk memiliki izin tinggal yang valid. Ternyata capek-capek ke mandub, menukar uang “botaq” di bank merah dan hijau, mencari-cari nama di saluran Intif, dan menunggu antrean foto bukan hanya demi sebuah kartu. Akan tetapi, ia datang hak-hak yang dijamin oleh pemerintahan Mesir.

Dengan memiliki izin tinggal yang valid, kita mendapatkan akses kepada layanan publik di Mesir dan mendapatkan kepastian hukum. Dengan itu, apabila terjadi pelanggaran pidana, kita dapat melaporkan kepada pihak berwajib. Fein Iqomah? Langsung mengeluarkan iqomah dengan percaya diri, kan enak. Adanya izin tinggal merupakan syarat utama, minimal sudah memulai pengurusannya bersama kekeluargaan.

 

Pilihan Kedua: Jalur Pengadilan

Kita mengetahui bahwa membawa perkara ke pengadilan akan menghasilkan rasa keadilan lebih besar sebab proses hukumnya jelas dan melalui seorang hakim yang sah. Sanksi yang dijatuhkan berasal dari sebuah konstitusi yang pasti, dan efek jera yang timbul lebih kuat. Masyarakat juga merasakan kenyamanan karena mengetahui bahwa proses pengadilan tidak membiarkan detail apapun tersembunyi, dan mendapat peringatan untuk tidak melakukan hal serupa.

Hanya saja, bagi Masisir prosesnya membutuhkan usaha yang tidak sederhana. Untuk maju, harus menyiapkan bukti-bukti yang konkret, memastikan ketersediaan pengacara, serta dana yang cukup. Yang pasti, semua pihak, baik korban maupun terdakwa, harus siap untuk mengikuti seluruh prosedur yang akan memakan waktu yang panjang. Jika kedua pihak merupakan Masisir, maka harus siap untuk terganggu waktu belajar dan kegiatan lainnya.

Banyak yang belum sadar, bagaimana sebenarnya Republik Arab Mesir memberikan kepastian hukum bagi semua, termasuk Masisir. Kita akan mengambil contoh kasus pelecehan seksual. Perkara ini diatur dalam Undang-Undang Pidana Pasal 306 bis A dan B, yang menyatakan bahwa pelecehan secara umum baik kata maupun isyarat dapat dijatuhkan hukuman:

  • Penjara 2 sampai 4 tahun dan denda 100.000 sampai 200.000 EGP.
  • Stalking bisa dihukumi penjara 3 sampai 5 tahun dan denda 200.000 sampai 300.000 EGP.
  • Dan pelecehan dengan maksud memperoleh kepuasan seksual memiliki hukuman minimal 5 tahun penjara dan denda 200.000 sampai 300.000 EGP.

Selain hukuman di atas, pelaku yang bukan warga Mesir juga dapat dideportasi. Hal ini menujukkan bagiamana hukum di Mesir lebih menjunjung tinggi hak perempuan. Bila terjadi kasus pelecehan terhadap perempuan tidak ada kata toleransi lagi, atau dalam istilah Amiyah ‘El-taharrusy malÅ«sy mubarrir’.


Atau Mungkin Ada Cara Lain?

Di samping mengambil langkah mediasi dan jalur hukum, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Masisir bisa saja dilaporkan kepada pihak kampus. Karena kita semua terikat oleh Al-Azhar dan sama-sama menjaga nama baik dan norma seorang Azhari itu. Maka mendapatkan sanksi dari Al-Azhar, seperti pencabutan gelar/status mahasiswa dapat menjadi pilihan hukuman yang bersifat administratif. Dan apabila status mahasiswa itu dicabut, maka visa pelajarnya akan batal. Namun hal ini tergantung pada pihak kampus yang pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan, bukan lembaga penegak hukum.

Di akhir, mari kita sama-sama menyadari bahwa pidana bisa terjadi kapan saja tanpa didahului peringatan. Di saat itu, diam tanpa tindakan hanya akan mewariskan penghakiman subjektif terhadap hukum di Mesir dan trauma yang tidak berhenti pada korban, bahkan bisa sampai ke calon mahasiswa baru. Hak mendapatkan keadilan harus diperjuangkan. Hanya saja, perjuangan itu harus didasari pada pengetahuan, sesuai prosedur yang ada, agar tercapai keadilan itu dapat dirasakan oleh semua.

 

Posting Komentar

0 Komentar