Beberapa waktu sebelumnya, ada yang sibuk mendengar rekaman bimbel, ada yang sedang mencari mood belajar, dan banyak yang masih menatap galau diktat kuliahnya. Tiba-tiba saja, tersebar berita yang membuat kepala menggeleng. Seorang masisir dipergoki mengintip kamar mandi masisirwati. Pelakunya Masri, kan? Bukan, Masisir! Kejanggalan amoral ini adalah sebuah kasus yang belum pernah masuk catatan DKKM selama 7 tahun terakhir. Walau memilukan, kejadian ini membuka mata kita terhadap beberapa hal.
Kita diperingatkan kembali bahwa
kejadian-kejadian buruk, termasuk tindak kejahatan, dapat terjadi pada siapa
saja, dan oleh siapa saja, termasuk Masisir, kepada Masisir. Saat tindak
kejahatan itu terjadi, tentunya korban perlu memperjuangkan haknya untuk
mendapatkan keadilan, pelaku perlu mendapatkan konsekuensi yang setimpal, dan
kita sebagai sebuah masyarakat harus merasa nyaman karena adanya kepastian
hukum itu. Apabila hal-hal ini belum terwujud, terbayang betapa buruk
akibatnya.
Namun, saat ingin menegakkan keadilan, apakah
langkah yang kita ambil masih asal-asalan, atau sudah berlandaskan pengetahuan
yang pasti? Ibarat seseorang yang ingin memadamkan api dari wajan berisi minyak
dengan menyiram air. Ya, air kan madamin api. Itu yang dia kira.
Ternyata setelah disiram, api malah menyambar ke atas. Begitulah orang yang
mengambil langkah yang asumtif. Niatnya tidak salah, tapi metode yang dilakukan
tidak berdasarkan pengetahuan yang benar, hanya mengira-ngira.
Mediasi: Pertolongan Pertama
Di waktu sulit, manusia belum tentu bisa
menyelesaikan masalah sendirian. Dia butuh kepada orang lain yang membantu.
Begitu pula ketika sebuah pidana terjadi, Masisir dapat melaporkan hal tersebut
kepada pihak yang dapat melindungi dan membantunya, seperti kekeluargaan,
almamater, atau jajaran yang fokus pada keamanan dan ketertiban: DKKM.
Setelah melapor, masisir akan mendapat bantuan
dari DKKM. Mereka sebagai pihak yang membantu akan mendudukkan masalah dengan
korban yang menjelaskan kronologi dan pelaku yang menyampaikan pengakuannya. Kemudian
pihak DKKM mencoba menerangkan langkah-langkah yang dapat menjadi solusi.
Proses inilah yang dikenal dengan mediasi.
Mediasi ini tidak bisa dipahami sebagai cara menutupi masalah, ketidakberpihakan kepada korban, atau bahkan ketiadaan keadilan sama sekali. Namun, mediasi dalam hal ini merupakan langkah awal penanganan kasus sebelum adanya keputusan untuk dilanjutkan ke ranah hukum. Anggap mediasi ini seperti pertolongan pertama pada kecelakaan. Tujuannya bukan untuk langsung menyembuhkan luka berat. Melainkan untuk mengurangi pendarahan agar tidak semakin parah. Baru kemudian bisa dilihat apa langkah selanjutnya, baik dirujuk ke rumah sakit atau cukup ditangani di rumah.
Mediasi untuk kasus pidana sudah seharusnya bukan sekedar forum emosional. Namun, untuk mencapai maslahat terbaik, proses ini juga melibatkan Kekeluargaan dari pelaku dan korban serta pihak-pihak terkait (rumah binaan, almamater, dll.) Resolusi dari proses ini diserahkan oleh DKKM dan forumnya kepada tuntutan korban. Baik menyelesaikannya secara internal atau kekeluargaan dengan sanksi yang disepakati bersama atau dibawa ke pengadilan. Artinya, mediasi dengan pengertian ini adalah bantuan kepada korban, dan bukan hambatan maupun upaya menyederhanakan masalah.
Pilihan Pertama: Penyelesaian Kekeluargaan
Apabila tuntunannya adalah penyelesaian secara
kekeluargaan seperti yang di maksud di atas, DKKM meninjau kembali kasus dan
menerbitkan Surat Peringatan (SP) 1 sampai 3 sesuai dengan tolok ukur yang ada.
Untuk kategori pelanggaran yang paling berat akan dikeluarkan SP 3 yang berarti
sanksi pemulangan swadaya oleh DKKM dan Kekeluargaan. Pemulangan swadaya ini
merupakan sanksi paling berat yang bisa diusahakan oleh organisasi mahasiswa
dengan keterbatasan wewenangnya.
Dengan terlibatnya Kekeluargaan, sanksi atas
pelanggar setidaknya akan terkawal dalam beberapa sisi sehingga kesempatannya
untuk kembali dan menetap di Mesir akan sulit, sebab ruang geraknya akan
terbatas dan akses izin tinggal akan dibekukan.
Pemulangan pelanggar disertai dengan arahan
untuk meminta maaf kepada orang tua. Di samping itu, pelanggar juga diberikan
beberapa persyaratan apabila akan diterima kembali di Mesir sesuai dengan
kesepakatan forum. Di antara syarat yang bisa diberlakukan adalah untuk menikah
bagi yang sebelumnya merupakan pelanggar asusila.
Penyelesaian secara internal ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi rasa keadilan bagi korban, efek jera bagi pelaku,
apalagi memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Penyelesaian secara internal
belum bisa menghadirkan rasa keadilan paling tinggi sebab masih memilki
kekurangan yaitu relativitasnya. Ukuran keadilannya masih sebatas apa yang
diridai oleh korban dan proses yang selalu berbeda tergantung forum yang
menjalankannya.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga masih memiliki celah, yaitu pada terbatasnya wewenang organisasi dan kekuatan hukumannya. Sanksi bukan merupakan hukuman administratif kampus, melainkan sebuah usaha swadaya dari organisasi mahasiswa. Bukan juga sanksi dari hukum formal atas putusan pengadilan. Di samping itu, ketidaknyamanan dapat terjadi di antara Masisir sebab proses ini biasanya terjadi dengan tertutup. Banyaknya komentar dari Masisir sering terjadi karena kurangnya transparansi tentang penyelesaian kasus.
Agar Iqomah Tidak Sia-Sia
Apabila yang dipilih adalah jalur hukum,
mula-mula Masisir harus paham bahwa terpenuhinya hak harus sejalan dengan
tertunaikannya kewajiban. Sebagai mahasiswa luar negeri, kewajiban kita
terhadap pemerintah Mesir adalah untuk memiliki izin tinggal yang valid. Ternyata
capek-capek ke mandub, menukar uang “botaq” di bank merah dan hijau,
mencari-cari nama di saluran Intif, dan menunggu antrean foto bukan hanya demi
sebuah kartu. Akan tetapi, ia datang hak-hak yang dijamin oleh pemerintahan
Mesir.
Dengan memiliki izin tinggal yang valid, kita
mendapatkan akses kepada layanan publik di Mesir dan mendapatkan kepastian
hukum. Dengan itu, apabila terjadi pelanggaran pidana, kita dapat melaporkan
kepada pihak berwajib. Fein Iqomah? Langsung mengeluarkan iqomah
dengan percaya diri, kan enak. Adanya izin tinggal merupakan syarat
utama, minimal sudah memulai pengurusannya bersama kekeluargaan.
Pilihan Kedua: Jalur Pengadilan
Kita mengetahui bahwa membawa perkara ke
pengadilan akan menghasilkan rasa keadilan lebih besar sebab proses hukumnya
jelas dan melalui seorang hakim yang sah. Sanksi yang dijatuhkan berasal dari
sebuah konstitusi yang pasti, dan efek jera yang timbul lebih kuat. Masyarakat
juga merasakan kenyamanan karena mengetahui bahwa proses pengadilan tidak
membiarkan detail apapun tersembunyi, dan mendapat peringatan untuk tidak
melakukan hal serupa.
Hanya saja, bagi Masisir prosesnya membutuhkan usaha
yang tidak sederhana. Untuk maju, harus menyiapkan bukti-bukti yang konkret,
memastikan ketersediaan pengacara, serta dana yang cukup. Yang pasti, semua
pihak, baik korban maupun terdakwa, harus siap untuk mengikuti seluruh prosedur
yang akan memakan waktu yang panjang. Jika kedua pihak merupakan Masisir, maka
harus siap untuk terganggu waktu belajar dan kegiatan lainnya.
Banyak yang belum sadar, bagaimana sebenarnya Republik Arab Mesir memberikan kepastian hukum bagi semua, termasuk Masisir. Kita akan mengambil contoh kasus pelecehan seksual. Perkara ini diatur dalam Undang-Undang Pidana Pasal 306 bis A dan B, yang menyatakan bahwa pelecehan secara umum baik kata maupun isyarat dapat dijatuhkan hukuman:
- Penjara 2 sampai 4 tahun dan denda 100.000 sampai 200.000 EGP.
- Stalking bisa dihukumi penjara 3 sampai 5 tahun dan denda 200.000 sampai 300.000 EGP.
- Dan pelecehan dengan maksud memperoleh kepuasan seksual memiliki hukuman minimal 5 tahun penjara dan denda 200.000 sampai 300.000 EGP.
Selain hukuman di atas, pelaku yang bukan warga
Mesir juga dapat dideportasi. Hal ini menujukkan bagiamana hukum di Mesir lebih
menjunjung tinggi hak perempuan. Bila terjadi kasus pelecehan terhadap
perempuan tidak ada kata toleransi lagi, atau dalam istilah Amiyah ‘El-taharrusy
malÅ«sy mubarrir’.
Atau Mungkin Ada Cara Lain?
Di samping mengambil langkah mediasi dan jalur
hukum, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Masisir bisa saja dilaporkan
kepada pihak kampus. Karena kita semua terikat oleh Al-Azhar dan sama-sama
menjaga nama baik dan norma seorang Azhari itu. Maka mendapatkan sanksi dari
Al-Azhar, seperti pencabutan gelar/status mahasiswa dapat menjadi pilihan hukuman
yang bersifat administratif. Dan apabila status mahasiswa itu dicabut, maka
visa pelajarnya akan batal. Namun hal ini tergantung pada pihak kampus yang
pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan, bukan lembaga penegak hukum.
Di akhir, mari kita sama-sama menyadari bahwa pidana bisa terjadi kapan saja tanpa didahului peringatan. Di saat itu, diam tanpa tindakan hanya akan mewariskan penghakiman subjektif terhadap hukum di Mesir dan trauma yang tidak berhenti pada korban, bahkan bisa sampai ke calon mahasiswa baru. Hak mendapatkan keadilan harus diperjuangkan. Hanya saja, perjuangan itu harus didasari pada pengetahuan, sesuai prosedur yang ada, agar tercapai keadilan itu dapat dirasakan oleh semua.
0 Komentar