Header Ads Widget

SENJA DI UJUNG MATAMU

 

Adilia Rofa Naura*

Namaku Arjuna, mahasiswa dari Indonesia yang memilih untuk melanjutkan studi di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Sebuah kebanggaan bagiku menyandang gelar mahasiswa  dari universitas ternama. Namun, orang lain tidak tahu bahwa untuk merajut hidup di sini bukanlah perkara mudah. Aku adalah Mahasiswa semester akhir yang tengah berjibaku dengan ujian akhir untuk kelulusanku. Tetapi, aku merasa ujian dan kelulusanku itu adalah perkara yang rasanya tidak penting. Mengingat aku disini tengah fokus pada komunitas yang bertujuan memberdayakan seorang perempuan. Aku tidak ingin karena aku sibuk dengan segala hal tentang ujian, aku melupakan tanggung jawabku.

Dalam kesibukanku hari ini, aku buru-buru untuk mengejar waktu talaqqi yang biasa aku lakukan di masjid Sayyidina Husain. Tanpa kusadari, saat aku menaiki metro aku tengah duduk dengan seorang perempuan yang tengah murajaah hafalannya. Refleks aku langsung berdiri dan meminta maaf.

"Afwan, ya sholihah. Saya tidak bermaksud melakukannya", kataku gugup, karena merasa bersalah. Perempuan itu sesaat menjelajahi wajahku, dan seketika dia menundukkan pandangannya. Tanpa sepatah katapun dia menganggukkan kepalanya, pertanda dia memamaafkan diriku. Tapi, aku merasa ada hal lain pada perempuan ini. Aku merasa dia menghindar dari pengamatanku, atau apakah aku pernah mengenalinya? Tapi itu dimana? Matanya sekilas memberiku isyarat bahwa dia mengenaliku. Kuputar memori dalam otakku untuk mengenali perempuan bercadar yang tengah satu metro denganku ini. Nihil, dia tak ada dalam ingatku. Aku yang lupa atau memang aku yang tidak mengenalinya? Sudahlah itu perkara tidak penting, lagi pun perempuan mana yang akan aku kenali di Negeri Piramida ini?

            Menepikan tentang masalah itu, aku memilih untuk berdiri saja di dalam metro, karena aku rasa perjalananku hanya memakan waktu singkat. Dalam aktivitasku menghafalkan Al-Qur'an. Ada  penumpang baru, seorang perempuan yang memilih duduk bersama perempuan bercadar tadi. Samar kudengar percakapan mereka tentang Al-Azhar. Dan ternyata mereka juga mahasiswi di sana. Kufokuskan lagi pendengaranku pada pembicaraan dua perempuan itu.

"Aleeya, kau hendak kemana?" tanya perempuan itu.

Aleeya? Kurasa nama itu sangat dekat denganku. Apakah dia benar-benar ada disini?

Aku langsung menghampiri kursi tadi untuk memastikan bahwa perasaanku ini salah. Namun, saat aku menghampiri kursi itu, perempuan itu sontak berlari menghindari kedatanganku.

"Aleeya kau mau kemana?" teriak perempuan teman Aleeya.

Aku terus mengejar perempuan bercadar itu dalam metro. Dan saat aku memegang tangannya. Perempuan itu berusaha meloloskan diri.

"Aleeya, inikah kau? Kau benar-benar berada di Mesir?" tanyaku dengan harap.

"Lepaskan saya. Saya bukan Aleeya, mungkin anda salah orang", jawabnya ketakutan.

"Tidak Aleeya, matamu mengatakan kau sedang berbohong".

"Tidak, saya tidak berbohong. Tolong lepaskan saya", rintihnya dalam tangis.

Melihat apa yang tengah terjadi, tiba-tiba seorang pria dengan perawakan besar menghajarku habis-habisan. Dia pikir aku akan melecehkan perempuan itu.

"Hei, laki-laki bangsat! Beraninya hanya pada perempuan lemah. Kemari hadapi aku!" Dia kembali menghajarku dan perempuan bercadar itu seketika bershalawat untuk menenangkan situasi. Karena seperti yang  kutahu, amarah di Mesir bisa diredamkan dengan satu bait shalawat. Saat ini aku sudah tak berdaya lagi untuk berdiri menopang tubuhku, seluruh tubuh ini terasa sakit. Tetesan darah jatuh dari batang hidungku. Seketika dunia bagiku menjadi abu.

"Terima kasih kepada kalian semua. Sebaiknya kalian menolong laki-laki ini, karena dia sangat membutuhkan uluran tangan kalian. Kumohon bawa dia ke rumah sakit terdekat lukanya cukup parah. Kumohon demi Allah, Tuhan kalian", ucapnya pada orang-orang di dalam metro.

“Wahai saudariku, laki-laki ini akan menodaimu. Tapi mengapa kau masih berpikir untuk menolongnya?” jawab laki-laki yang tadi menghajarku.

“Tidak, dia orang baik. Saya mohon tolong bawa dia ke rumah sakit.” Setelah permintaanya itu dia segera meninggalkan metro. Bersamaan dengan hilangnya perempuan itu seketika bayangku melekat pada wajah seorang perempuan di desa. Namun, saat itu sudah terlambat, dia hilang tanpa jejak.

Aleeya, dalambenakku.

*Mahasiswi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, sekaligus musafir ilmu di bumi Annuqayah, berasal  dari keluarga hangat Lajnah Falakiyah Annuqayah ( LFA ).

 

Posting Komentar

1 Komentar