Teruntuk alumni Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ingatkah kita pada salah satu momen paling bersejarah di hidup kita. Momen di mana tinggal satu kedipan mata lagi gelar alumni akhirnya disematkan pada diri kita. Momen itu adalah haflatul wada', pertemuan terakhir sebagai sosok santri. Pada pertemuan itu para calon alumni dibagikan sejilid kertas bertajuk: Wasiat, Pesan, Nasehat, & Harapan, dari judulnya saja sudah tergambarkan seberapa keramatnya tulisan ini. Dan bagaimana ia dijilid sekali-kali tidak membuatnya kehilangan kemegahannya.
Lalu pertanyaannya, sejauh mana kita mendalami isinya? Sudah berapa kali
kita tamat membacanya? Apakah tiga kali? Dua kali? Atau jangan-jangan sekalipun
belum pernah? Atau malah kita tidak terlalu peduli dengan tulisan ini? Atau malah sudah berdebu tidak dihiraukan bertahun-tahun, bahkan
dilupakan dan sekarang entah di mana.
Isi buku ini memang selalu dibacakan ketika 'khataman', dan siswa akhir
diberi buku ini untuk pegangan dalam mengarungi fase hidup yang baru sebagai alumni. Namun, apakah kita akan menjadikan tulisan
sekeramat ini hanya sebatas formalitas acara khataman. Apakah serendah itu kita
memaknai isi buku ini?
Jika kita membaca buku ini, akan kita
dapati bahwa setiap huruf yang merajut kalimat di
dalamnya mengandung makna, jiwa, dan cinta. Tak terbayang bagaimana haru telah
menyelimuti jemari beliau-beliau ketika menulis wasiat-wasiat ini. Mungkinlah
peluh beliau-beliau menetes ketika merangkai kalimat-kalimat ini.
Seorang karib yang harus meninggalkan sahabatnya pastilah merasakan perasaan duka yang mendalam, atau wali kelas yang harus berpisah dengan murid-muridnya juga terkadang tak kuasa membendung air mata, juga alumni-alumni yang meninggalkan almamaternya, orang tua yang harus berpisah dengan anak-anaknya, apalagi beliau-beliau yang harus berpisah dengan santri-santri tercintanya yang sudah bersama dari kecil sehingga dewasa. Sosok yang sudah merintis lembaga sebesar ini dari nol harus berpisah dengan anak-anak yang sangat dicintai demi membawa harapan mulia demi umat. Nurani mana yang tak haru? Hati mana yang tak biru? Tegakah kita membiarkan buku itu berdebu?
“Bosankah kami/saya kepada anak-anakku sekalian? Ketahuilah orang yang cinta, orang yang tahu kepentingan, tidak merasa bosan. Tidak ada orang yang bosan melihat anaknya!” (K.H. Imam Zarkasyi).
“Selama rasa cinta-mencintai telah mendalam dalam hati, kita dapat berbicara sehari-hari.” (K.H Ahmad Sahal)
Pedulinya kita dengan jilidan kertas ini mungkin bisa menjadi tolak ukur kepedulian kita
terhadap almamater kecintaan dan kebanggaan kita. Apakah mungkin ada santri
yang mengaku cinta pondoknya, sedangkan ia dengan wasiat Kyainya saja masa bodoh? Mari maknai kembali nilai-nilai yang pernah Gontor beri, salah satunya dengan membuka kembali buku
0 Komentar