Oleh: Aszarie
Kabut tipis menggantung di atas kota kecil itu ketika Livia turun dari bus sore hari. Udara lembap menempel di kulit, dan aroma debu bercampur hujan lama menguar dari jalanan. Ia datang bukan untuk berlibur, melainkan menuntaskan tugas liputan sederhana: menulis laporan tentang renovasi balai kota yang baru rampung.
Namun dari langkah pertama di halaman depan, sesuatu langsung terasa ganjil. Di dinding balai kota, sebuah prasasti marmer hitam berdiri tegak. Livia membaca ukirannya pelan:
“Diresmikan oleh walikota Aditya Pramana, 7 Juli 1997.”
Ia mengerutkan alis. Sepanjang pengetahuannya, kota ini tidak pernah punya walikota bernama Aditya Pramana. Ia bahkan pernah menulis artikel tentang daftar pejabat kota sejak 1980-an nama itu tak pernah ada.
“Typo kok bisa di prasasti resmi?” gumamnya.
Dina, fotografer muda yang menemaninya, mengangkat kamera tanpa banyak komentar. Dina memang asli kota itu; ia lahir dan besar di sini, hafal setiap sudut balai kota. “Mungkin salah catat. Ayo foto dulu, Liv. Cahaya udah mulai turun.”
Livia mengangguk, meski matanya tak bisa lepas dari prasasti aneh itu. Ia mencatat dalam buku kecil: Aditya Pramana – siapa dia?
***
Malam itu, Livia membuka laptop di kamar kos murahnya. Ia menelusuri arsip digital surat kabar lokal. Semua edisi tahun 1997 lengkap, kecuali satu: 7 Juli 1997. Hari yang tertulis di prasasti. File itu tak bisa diakses. Halaman yang lain normal, tapi tanggal itu seperti dilenyapkan.
Besoknya ia mendatangi kantor arsip kota. “Saya ingin lihat buku tamu balai kota tahun 1997, khusus tanggal tujuh Juli,” katanya. Petugas tua di balik meja menunduk lama sebelum menjawab. “Buku itu telah hilang, Nona. Gudang sempat kebakaran waktu renovasi.”
“Kalau begitu arsip digitalnya?”
“perangkat lama rusak.” Jawabannya singkat.
Saat ia keluar, seorang pria menyenggolnya sekilas dan menyelipkan amplop cokelat ke dalam tasnya. Livia kaget, tapi tidak langsung membukanya. Pria itu ternyata mantan staf balai kota tahun 1997 yang diam-diam mengawasinya sejak hari pertama liputan. Ia mendengar percakapan Livia dengan petugas arsip, mengetahui Livia sedang menyelidiki tanggal itu, lalu memutuskan memberi petunjuk diam-diam.
Di dalam amplop hanya ada selembar foto buram: Seorang pria muda sedang memegang palu peresmian balai kota. Di balik foto tertulis:
“Kalau ingin tahu kebenaran, datang ke lantai dua balai kota. Jam 11 malam.”
***
Jam 11 lewat lima menit, Livia memberanikan diri masuk ke balai kota yang gelap. Lorong panjang berbau cat tua dan debu. Tangga berderit di bawah langkahnya. Di lantai dua, sebuah pintu terbuka sedikit, cahaya lampu redup keluar dari dalam. Seorang pria paruh baya duduk di kursi tua, wajahnya pucat tapi matanya tajam.
“Livia?” suaranya pelan.
“Iya… Anda siapa?”
“Aku Aditya Pramana. Walikota yang tidak pernah ada.”
Livia tercekat. “Nama Anda ada di prasasti, tapi tidak ada di catatan resmi. Bagaimana bisa?”
Aditya tersenyum tipis. “Karena aku dihapus. Dua puluh delapan tahun lalu, aku dipilih jadi walikota termuda. Sehari sebelum sumpah jabatan, aku menemukan dokumen bahwa balai kota dijadikan jaminan hutang ilegal oleh sekelompok pejabat senior —Bram Santosa, Kepala Dinas Keuangan Sudarmono (ayah Dina), dan beberapa anggota dewan. Aku tak tahu itu. Aku dijadikan boneka. Semua rencana mereka kusangka hanya proyek pembangunan kota. Begitu aku sadar dan menolak tanda tangan, aku diculik. Aku dipaksa mundur dan namaku dihapus supaya aku tak bisa bersuara lagi.”
“Lalu kenapa Anda masih hidup?”
“Karena aku sembunyi. Bertahun-tahun. Tapi aku tak bisa sembunyi selamanya.”
***
Sejak malam itu, hidup Livia berubah. Laptopnya diretas, file penyelidikan hilang. Ponselnya dibanjiri pesan anonim: “Berhenti gali masa lalu, atau kau ikut terkubur.”
Dina terlihat aneh. Ia sering muncul tiba-tiba, matanya penuh cemas. “Liv, aku serius. Jangan teruskan. Kota ini nggak suka orang usil.” Tapi semakin ditekan, semakin besar dorongan Livia mencari kebenaran. Ia berhasil menyelinap masuk gudang arsip balai kota. Di balik lemari besi berkarat, ia menemukan buku tamu tahun 1997. Tangan gemetar saat membuka halaman 7 Juli.
“Aditya Pramana – Walikota.”
Tepat di bawah tanda tangan itu ada cap merah besar: BATAL.
Suara dari belakang membuatnya menoleh kaget. Dina berdiri di ambang pintu.
“Kamu nggak seharusnya lihat itu,” katanya lirih.
***
“Dina? Kamu… ngikutin aku?” sahut Livia.
“Aku harus pastikan kamu nggak bikin masalah.”
“Masalah? Ini bukti penting!”
“Tapi Liv…”
Tiba-tiba langkah berat terdengar. Percakapan antara mereka terhenti. Beberapa pria bersetelan jas masuk gudang, dipimpin seorang lelaki tua berwajah keras dengan bekas luka tipis di pelipis. Dialah Bram Santosa—dulu Sekretaris Daerah, dalang proyek ilegal balai kota 1997, atasan ayah Dina sekaligus orang yang menculik Aditya. Bram sudah tahu keberadaan Livia dari laporan anak buahnya yang menguntit sejak sore.
“Livia!” Bram mengangkat pistol, suaranya berat penuh amarah. “Aku sudah dengar tentangmu. Wartawan muda yang terlalu penasaran. Serahkan buku tamu itu. Sekarang juga!”
Aditya muncul dari pintu samping. Wajahnya menegang. “Bram. Jadi benar kau dalangnya.” Bram tersenyum dingin. “Kau pikir aku lupa, Aditya? Dua puluh delapan tahun lalu kau hampir membocorkan rahasia ini. Dan kau,” pandangannya beralih ke Dina, “anak Sudarmono. Ayahmu yang dulu jadi tangan kananku.”
Mendengar itu, Dina mendadak pucat. Ia melangkah maju, tubuhnya gemetar, air matanya pecah tanpa ia sadari. “Cukup! Jangan sebut nama ayahku lagi!” suaranya serak memohon. “Dia sudah tua… dia sudah bayar harga kesalahannya… dia cuma menjalankan perintahmu, Bram. Jangan tarik dia lagi ke dalam ini!”
Bram menatap tajam, seperti menikam dengan kata-kata. “Memangnya aku peduli? Ayahmu dulu ikut tanda tangan. Tanpa dia, semua ini tak akan berjalan.”
Dina terisak keras, lalu berdiri di depan Livia, seolah melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Liv, kita harus pergi sekarang. Aku nggak bisa lihat ini lagi.”
***
Segalanya meledak dalam hitungan detik. Salah satu anak buah Bram menyerang, mencoba merebut buku tamu. Aditya menarik Livia ke belakang rak arsip, sementara Dina menendang meja hingga ambruk, menghalangi jalan.
“Lewat pintu belakang!” teriak Aditya.
Mereka bertiga berlari di lorong sempit. Suara tembakan memecahkan lampu neon di atas kepala. Pecahan kaca berjatuhan seperti hujan kilat.
Pintu darurat terkunci. Dina menghantam kaca kecil dengan kamera yang dibawanya, meraih kunci dari dalam, dan membuka paksa. Alarm berdering keras, menggema ke seluruh gedung.
Di halaman belakang, mobil hitam menunggu dengan mesin menyala. Seorang pria menembak ke arah mereka. Livia hampir terjatuh, tapi Aditya menariknya ke gang samping.
Mereka menyelinap di antara tiang-tiang gedung, lalu memanjat pagar kawat berduri. Nafas terengah, jantung berpacu. Saat mobil pengejar berhenti di ujung gang, mereka sudah hilang ke keramaian pasar malam.
***
Di sebuah rumah aman, Aditya akhirnya membuka suara. “Kalian sudah tahu sekarang. Aku dijadikan boneka oleh mereka. Semua tanda tanganku dulu cuma alat melegalkan proyek ilegal mereka. Begitu aku sadar dan menolak, aku dibuang. Mereka hapus namaku supaya aku tak bisa bersuara lagi.”
Livia terdiam. Ia ingin marah, tapi juga tahu kesaksian Aditya adalah kunci membuka segalanya.
Dina menunduk, air matanya jatuh. “Ayahku juga ada di daftar itu. Kalau semua terbongkar, dia masuk penjara di usia senja. Aku cuma mau lindungi dia, Liv…”
Dilema menggantung di udara. Mengungkap berita berarti menghancurkan banyak keluarga. Tetapi diam berarti membiarkan kebohongan bertahan.
***
Pagi berikutnya, Livia duduk di meja kos dengan laptop baru. Ia menulis laporan investigasi paling berbahaya dalam hidupnya. Tulisan itu ia kunci dengan enkripsi, lalu ia kirim ke seorang jaksa yang pernah ia percayai.
Dua hari kemudian, berita itu meledak di media nasional:
“Skandal Balai Kota 1997: Jejak Korupsi Terungkap.”
Puluhan nama pejabat lama masuk daftar penyelidikan. Kota kecil itu mendadak jadi pusat perhatian negeri.
Aditya menyerahkan diri ke polisi. Dalam konferensi pers ia berkata:
“Aku bukan orang suci. Tapi aku tak mau lagi jadi bayang yang tak tercatat.”
Dina menatap layar televisi dengan mata sembab. “Ayahku akan dihukum. Tapi mungkin ini memang waktunya.” Livia menggenggam tangannya. “Kota ini butuh kebenaran, meski pahit.”
Beberapa minggu kemudian, prasasti balai kota diperbarui. Nama Aditya Pramana tetap terukir, tapi ditambahkan catatan kecil:
“Mengundurkan diri sebelum menjabat. Skandal terungkap tahun 2025.”
Livia berdiri menatap batu hitam itu lama. Ia tahu hidupnya tak akan lagi tenang. Tapi di dalam hati, ia juga tahu: kebenaran akhirnya menemukan jalannya.

0 Komentar