Header Ads Widget

Darussalam Catering

Membangun Azhari Mandiri: Belajar tanpa Talkhisan dan Bimbel

 

Oleh: Hasna Nabilatushafaa

Setiap dari Mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Mesir pastinya tidak asing dengan istilah talkhisan dan bimbel. Ketika jadwal ujian telah ditetapkan oleh pihak kuliah, talkhisan tersebar melalui media sosial dan tercetak di berbagai percetakan. Percetakan yang menyediakan talkhisan instan menjadi ladang emas bagi para pemburu talkhisan. Tidak lupa dengan pamflet-pamflet promosi bimbel yang menawarkan keunggulannya dan memenuhi beranda media sosial, bahkan juga saling bertumpang-tindih dalam obrolan grup.

Bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), talkhisan menjadi hal pendukung dalam memahami diktat perkuliahan (Muqorror) menjelang ujian Universitas Al-Azhar, Kairo. Talkhisan sendiri adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu talkhis yang kemudian diberi imbuhan dalam Bahasa Indonesia, dan kini akrab didengar dengan istilah talkhisan. Talkhisan di sini adalah ringkasan yang bertujuan untuk memberi gambaran umum yang mencakup seluruh materi yang tengah dipelajari di Universitas Al-Azhar. Umumnya, talkhisan tersebar ketika menjelang ujian tiba, baik talkhisan yang dihasilkan dari percetakan tertentu atau hasil ringkasan seseorang atau suatu kelompok belajar yang kebanyakan diperjualbelikan. Sedangkan, bimbel adalah singkatan dari bimbingan belajar, yang biasanya diadakan oleh beberapa lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang Indonesia di Mesir untuk membantu mempermudah masisir dalam memahami mata kuliah yang tengah dipelajari. Tentunya, talkhisan dan bimbel menjadi hal pendukung seseorang untuk memahami materi yang disampaikan di perkuliahan.

Namun, alih-alih menjadi hal pendukung bagi para pelajar, talkhisan dan bimbel berevolusi menjadi suatu hal pokok bagi sebagian mahasiswa yang bersifat mendesak. Di antara sebab mengapa kedua hal tersebut berevolusi menjadi hal pokok, mungkin bisa timbul dari kebiasaan sejumlah Masisir yang tidak menempatkan belajar sebagai prioritas utama. Mereka punya banyak kesibukan di luar pembelajaran yang membuat mereka lalai atas pelajaran yang tengah ditempuh dan mengorbankan yang seharusnya menjadi prioritas mereka. Seperti halnya ketika terlalu banyak mengikuti acara-acara yang tidak berkaitan dengan perkuliahan, tidak menghadiri kuliah sama sekali hingga mendekati waktu ujian dengan alasan malas, memprioritaskan organisasi sepanjang waktu hingga melupakan prioritas belajar, atau bahkan tenggelam dalam dunia berbisnis hingga tak ada waktu luang untuk menyentuh diktat perkuliahan (Muqorror). Sehingga, beberapa kebiasaan ini justru akan menyulitkan diri mereka sendiri ketika menjelang ujian. 

Penurunan Proses Belajar Mandiri 

Pada akhirnya, karena kebiasaan sejumlah masisir tersebut, talkhisan dan bimbel mengambil peran utama dalam pemberi pemahaman terhadap diktat kuliah. Padahal, seharusnya yang berperan utama dalam hal ini, ialah proses belajar mandiri yang kita jalani ketika berkuliah, mulai dari menghadiri muhadhoroh, mencatat materi kuliah, dan membuat ringkasan belajar pribadi. Perlu kita ingat juga sebagai acuan ketika belajar, bahwa belajar adalah hal yang menjadi kewajiban setiap orang, tak memandang jenis kelamin, status sosial, maupun keturunan. Itu artinya, belajar adalah tuntutan bagi semua orang, terutama bagi seorang mahasiswa. Bahkan, seorang mahasiswa itu dituntut untuk lebih kritis dalam belajar dan tidak hanya belajar di dalam kelas atau menjelang ujian saja. Dalam hal ini, seharusnya setiap dari kita menyadari bahwa setiap waktu dan setiap detik adalah kesempatan belajar yang tak akan terulang kembali. Oleh karena itu, belajar dan mengulang materi setiap hari itu penting meski hanya sedikit, tahapan-tahapan itulah yang nantinya meringankan pemahaman di kemudian hari. Kemudian, hari-hari menjelang ujian adalah waktu di mana kita mengulang kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya, bukan waktu untuk memulai memahami. Proses-proses belajar itulah yang sejatinya harus terpenuhi dalam diri kita untuk membangun kemandirian dalam belajar.

Tidak heran jika proses belajar yang utama tersebut tidak terpenuhi secara utuh. Maka, akan mempengaruhi tingginya angka ketergantungan masisir terhadap talkhisan dan bimbel. Sehingga apabila tidak ada talkhisan atau tidak mengikuti bimbel beberapa masisir akan merasa kesulitan dengan mata kuliah yang sedang ditempuh. Itu artinya, banyak masisir mengalami ketergantungan terhadap talkhisan dan bimbel.

Akibat lain yang dapat ditimbulkan dari ketergantungan masisir terhadap talkhisan dan bimbel adalah banyaknya masisir yang mengandalkan SKS (Sistem Kebut Sehari) untuk menghafal materi perkuliahan dalam satu hari. Sehingga mayoritas dari mereka yang melakukan hal ini hanya sebatas hafal tanpa paham apa yang sedang mereka hafalkan. Hal ini menyebabkan penurunan standar kualitas belajar mandiri bagi masisir selama menempuh pendidikan dan akan mempengaruhi kiprahnya di kemudian hari sebagai alumni. 

Al-Azhar memang tak mengharuskan alumninya untuk menjadi ulama. Tetapi, untuk menjadi alumni Al-Azhar mengharuskan kita untuk memiliki kemampuan yang paling mendasar dalam tangga pembelajaran, yaitu membaca. Maka, kemampuan membaca adalah kemampuan paling mendasar untuk menjadi alumni Al-Azhar. Dalam konteks ini, membaca adalah suatu kebutuhan primer yang menunjang pendidikan selama di Al-Azhar. Sebagai mahasiswa di luar negeri—Mesir, kita juga dituntut untuk memahami apa yang kita baca dalam balutan kosakata Arab. Sebagian masisir mungkin merasa kesulitan sebab tidak memiliki bekal yang cukup ketika sampai di Negeri Kinanah ini. Namun, di situlah letak pentingnya proses belajar. Proses belajar memang tidak selalu mudah, bahkan seringnya sulit untuk ditempuh. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kita akan terbiasa menjalani proses belajar itu. 

Di sisi lain, ketika ditanya tujuan utama setiap masisir menapakkan kaki di Mesir, tentunya mereka akan menjawab untuk belajar. Belajar adalah hal pokok yang menjadi tujuan setiap mahasiswa di Mesir. Mahasiswa punya kebebasan waktu dalam belajar dan tidak adanya keterikatan dengan waktu belajar yang seformal waktu belajar para siswa Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Itu artinya, mahasiswa telah dituntut untuk mampu belajar dengan mandiri, begitu pula dengan masisir. Selama proses belajar, diperlukan juga konsistensi serta komitmen yang tinggi. Salah satu cara untuk melatih konsistensi dan komitmen kita dalam belajar adalah dengan membaca. Membaca atau memahami suatu bacaan yang dilakukan secara konsisten dan dengan komitmen yang tinggi tentunya membutuhkan waktu yang panjang dan tidak harus selesai dalam satu waktu, kita bisa melakukannya satu demi satu halaman secara bertahap. 

Selain mendengarkan penjelasan dosen di perkuliahan ataupun membaca sendiri, belajar juga bisa dilakukan dengan membuat kelompok diskusi kecil dan menelaah suatu permasalahan bersama. Ada juga bentuk pembelajaran lainnya, seperti mengaji berbagai cabang ilmu dengan masyaikh atau bertanya kepada guru yang dipercaya, hingga membuat ringkasan pembelajaran sendiri. Salah satu hal yang juga mendukung kita dalam belajar adalah membuat jadwal membaca rutin, sehingga kita bisa menyesuaikan waktu kita lebih banyak untuk membaca. Kita tak perlu menunggu arahan dari dosen untuk membaca buku, mengaji, menelaah sesuatu atau mencari referensi yang mendukung mata kuliah yang sedang dipelajari. Kita bisa membuat ringkasan materi berdasarkan apa yang telah dibaca dan dipahami. Jadi, kita tidak perlu bergantung dengan talkhisan orang lain maupun bimbel manapun ketika menjelang ujian.

Pojok Refleksi

Lantas, bagaimana jika ternyata hasil belajar kita selama ini tidak menjadikan kita sebagai alumni Al-Azhar yang berkualitas? Bagaimana jika tidak sesuai dengan apa yang diharapkan? Menjadi alumni Al-Azhar bukan hanya soal menyandang status, tetapi juga bertanggung jawab atas segala ilmu yang telah kita pelajari selama di Mesir. Talkhisan dan bimbel tak cukup untuk mempertanggungjawabkan hal itu. Di satu sisi, Al-Azhar telah melahirkan ulama-ulama besar dan terkenal yang berkiprah untuk bangsa bahkan agama. Di sisi lain, kita juga akan dikenal sebagai alumni Al-Azhar sebagaimana ulama-ulama besar tersebut. Lantas, kita ini sebenarnya ingin dikenang sebagai alumni Al-Azhar yang seperti apa? Apakah yang hanya mengandalkan talkhisan dan bimbel saja? Sebenarnya akan terasa tidak adil apabila kita turut dikenang sebagai alumni Al-Azhar, sedangkan selama proses belajar, kita tak mencerminkan sosok alumni Al-Azhar sejati, yaitu jika hanya belajar dengan mengandalkan talkhisan dan bimbel saja. Seharusnya, kita dikenang dengan cara kita menghargai ilmu dan sejauh mana usaha kita dalam memperjuangkan ilmu tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan citra Al-Azhar dengan sikap tanggung jawab atas keilmuan yang diraih. 

Di perantauan ini, khususnya di Negeri Kinanah, talkhisan dan bimbel tidak menjadikan diri kita bernilai. Sebab, kita tidak hanya sedang belajar mendalami keilmuan dengan baik untuk menjadi bernilai, tetapi juga belajar tentang hakikat hidup lebih baik dengan cara belajar yang lebih baik. Bahkan, kita tidak hanya sedang memperdalam keilmuan saja, tetapi kita juga sedang belajar cara menghidupi diri kita dengan ilmu. Maka, mari senantiasa menghidupkan jiwa kita dengan ilmu kemana pun kita melangkahkan kaki dan mengembalikan citra Azhari yang berkualitas, mandiri, serta bertanggung jawab. Setiap dari kita adalah jiwa-jiwa hebat yang Allah ciptakan, bahkan sejatinya setiap dari kita mampu untuk menjadi pribadi yang unggul tanpa bergantung kepada talkhisan dan bimbel. Maka, cukup jadikan talkhisan dan bimbel sebagai media untuk membantu, bukan sebagai alat bertumpu. Mulai dari diri sendiri dengan menjaga konsistensi, kita ciptakan Azhari unggul tanpa tapi dan tanpa nanti.




Posting Komentar

0 Komentar