Header Ads Widget

Darussalam Catering

Masisir Ngaret: On Time Bukan Budaya Kita


Oleh: Naila Hafizha

Manusia dengan kecenderungan egosentrisnya seringkali mengalahkan sikap empati yang dimilikinya untuk menjadi manusia bermoral. Akibatnya, egosentris yang dominan tersebut dapat melahirkan sikap acuh terhadap lingkungan sosial. Salah satu produk dari minimnya kepedulian, ialah tidak mengindahkan waktu yang ditetapkan untuk sebuah pertemuan. Menyebabkan sang pelaku hampir tidak pernah datang atau hadir tepat waktu. Perbuatan tersebut marak dikenal dengan istilah ‘ngaret’.

Merujuk berbagai sumber, kata ‘ngaret’ diketahui berasal dari kata dasar ‘karet’ yang bersifat melar atau melonggar. Berdasarkan sifat itu, kata karet bermetafora dengan kesamaan sifat tersebut (TY, 2021). Istilah ngaret kemudian dipopulerkan oleh anak muda sebagai bahasa gaul dan dipakai untuk menggambarkan seseorang yang tidak tepat waktu.

Adapun kotak ‘Masisir’ berperan sebagai batasan masalah agar esai ini lebih efektif, efisien, relevan, terarah dan dapat dikaji lebih mendalam. Yang dalam konteks ini berarti: Kebiasaan buruk mengulur waktu yang dilakukan oleh oknum Mahasiswa Indonesia di Mesir. Lantas, apakah hanya pelajar Indonesia di Mesir saja yang tergolong pada kebiasaan tersebut? Bila merujuk pada riset agen perjalanan asal Inggris, Lastminute.com yang dilansir Tempo 2024 lalu, Indonesia menempati peringkat pertama Negara Tersantai di Dunia (berdasarkan tingkat kenyamanan dan suhu udara). Negara ini dinobatkan sebagai Most Chilled Out Country in The World (Anggita, 2024). Yang menandakan bahwa masyarakat Indonesia secara umum juga dilanda fenomena ngaret ini.

Merupakan lagu lama mengenal Masisir dengan budaya ‘ngaret’-nya. Tidak mengherankan apabila hari ini Masisir kerap terlena dengan budaya tersebut. Bahkan sejak tahun 2019 di mana perkembangan populasi Masisir belum se-masif sekarang, ngaret sudah bukan hal asing, dan melakukannya tidaklah dianggap sebagai aib. Lalu apakah dengan absennya Teladan terhadap ketepatan waktu menjadi sebab utama kultur negatif ini acap terwarisi?

Pada mulanya, kita mengamini bahwa perbuatan ngaret tergolong verba. Yaitu merupakan respon individu yang sangat tidak tepat dalam mengawali sebuah pertemuan. Padahal, merupakan asas moral seseorang yang terpelajar—khususnya mahasiswa—bertindak laiknya teladan yang baik. Paling tidak berlaku sesuai dengan waktu, kondisi, dan tempatnya agar seseorang kemudian dapat dianggap Hakim (bijak). Maka menjadi sangat tidak pantas membaurkan tindakan ngaret pada miliu terdidik sekelas Mahasiswa Mesir yang notabenenya bersekolah di kampus ternama Al-Azhar. Demikian pula yang selalu ditanamkan oleh para masayikh, ustaz, ustazah, juga dosen kepada peserta didiknya; datang tepat waktu dan melarang mahasiswa masuk kelas melebihi jam tertentu. Salah satu contohnya ialah Dosen pengajar mata kuliah fiqh muqaran Fakultas Syariah Islamiyah tingkat tiga, yang membatasi waktu kehadiran mahasiswi hanya hingga pukul 09:15 pagi. Ada pun di atas pukul tersebut, tidak diperkenankan masuk kelas.

Penjelasan ini hemat Penulis cukup menjadi jawaban bahwa keteladanan sangat berpengaruh pada kepekaan sosial. Bilamana wujud Qudwah atau Teladan mampu membentuk kultur positif, begitu pula alpanya Teladan sangat cukup untuk membuat banyak orang kehilangan arah. ‘Budaya’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Dengan meminjam diksi tersebut, ngaret dalam kasus ini dianggap sudah menempati posisi adjektiva. Sebuah perbuatan yang secara terus-menerus berulang dan dinormalisasi yang kemudian menjadikan ngaret seolah menjadi sifat asli Masisir. Singkatnya, esensi Mahasiswa Luar Negri sebagai kaum terdidik yang menghargai waktu sudah tercoreng-moreng harga dirinya—menjadikan on time ‘belum’ jadi budaya Masisir.

Kebiasaan ini tumbuh dari ketiadaan rasa hormat individu terhadap waktu, atau sejak dini tidak diajarkan betapa pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Padahal, datang tepat waktu adalah bukti menghargai kesediaan orang lain yang turut hadir dalam forum tersebut. Tidak disiplin waktu dapat merugikan semua pihak. Pil pahit yang terpaksa ditelan ialah meningkatnya populasi Mahasiswa Indonesia di Mesir tahun 2025 hingga mencapai nominal luar biasa yakni lebih dari 15.000 orang, yang tidak serta-merta menjamin perkembangan adab dan moralnya. Dewasa ini minoritas Masisir masih mengindahkan kenyamanan hidup berdisiplin waktu. Pernyataan ini tumbuh dari sejumlah pengamatan terhadap tepat waktu atau tidaknya sebuah forum antar-Masisir dilaksanakan. Bersumber dari studi kasus terhadap forum penting yaitu Sidang Pleno yang mengatasnamakan organisasi induk pada Maret lalu, yang seyogyanya sangat vital menjadi ajang sosialisasi keteladanan disiplin waktu. Naasnya, keterlambatan seluruh elemen sidang justru mengakibatkan pengunduran 4 jam dari waktu yang telah ditetapkan. Sehingga berujung ditangguhkannya Sidang Pleno III tiga hari ke depan karena ‘keterbatasan waktu’.

Nyaman karena terbiasa. Ngaret dan terlambat hadir pun menjelma kenyamanan ketika sudah biasa dijalani. Semakin menipislah sensitivitas manusia di lingkaran budaya bobrok ini, tidak berusaha keluar apalagi berevolusi menjadi lebih baik. Bagaimana tidak, banyak oknum tak menyadari bahwa mereka tengah berada pada jalan yang salah dan sedang memupuk keburukan bagi generasi selanjutnya. Jikalau memahami urgensi on time, tidak mungkin terulang kembali kejadian yang bahkan lebih memalukan berupa keterlambatan waktu hingga 5 jam. Ini baru kondisi lapangan yang jelas terlihat dan dipertontonkan. Lalu apakah bisa dibayangkan butuh berapa jam lagi waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk saling tunggu dalam janji temu antar-individu, perkumpulan internal, forum diskusi, dan semacamnya?

Melihat kondisi memprihatinkan di atas, apakah pada kamus Masisir memang tidak tercantum kosakata ‘On Time’? Atau apakah Masisir masih memiliki harapan untuk menjalani hidup lebih baik—dengan  disiplin waktu—di kemudian hari? Yang justru pada masa ini, reputasi serta kredibilitas seseorang tergantung pada apakah orang tersebut bisa tepat waktu (Ong, Susy. 2016). Untuk menjawabnya, Bahasan ‘ngaret’ tidak bisa hadir tanpa adanya standar ‘tepat waktu’ yang benar. Bila ‘tepat waktu’ adalah subyek, maka Idealnya, Pelaku ‘tepat waktu’ ialah yang menyadari betapa kondisi ngaret bukanlah budaya yang perlu dibudidayakan.

Pemeran on time ialah seorang manajer waktu yang baik. Ia terbiasa berdisiplin waktu. Maka tidak heran bila jadwalnya tertata dengan estimasi waktu yang disusun sedemikian rupa. Wujud usaha merealisasikan komitmennya pun dengan menghadiri janji, pertemuan, persidangan, dan atau perkumpulan tepat waktu agar tidak mengganggu rutinitas dan pekerjaannya yang lain. Juga sebagai wujud penghargaan terhadap rekan-rekan yang turut hadir di sana. Sayangnya, pegiat on time seringkali menjelma ‘korban’. Penulis menganalogikannya sebagai korban karena pada umumnya individu yang datang tepat waktu menjadi yang paling dirugikan saat terjadi keterlambatan forum. Terlepas dari setiap manusia memiliki urusan masing-masing, terdapat manusia yang rela menyempatkan hadir tepat waktu dan meninggalkan urusan pribadinya.

Pelaku on time ini memiliki integritas tinggi, berkomitmen untuk selalu tepat waktu (on time) dan sangat diharapkan mendominasi kultur. Namun, akibat sering dirugikan oleh pelaku ngaret, maka tidak menutup kemungkinan minoritas ini bersifat subordinat atau tergantung dengan dominasi (pengulur waktu). Stereotip ini menimbulkan paranoid kepada individu, membuat mereka berasumsi: Lebih baik datang (lebih) akhir daripada harus menunggu. Kejanggalan yang dipandang normal ini harus segera menjumpai titik akhir. Sejalan dengan itu, keresahan pada fenomena ngaret Masisir perlu disuarakan lebih masif dengan penuh kesadaran.

Kendati demikian, bukan berarti Masisir luput dari pemahaman berdisiplin waktu. Sangat mungkin pula baginya menjalani pola hidup modern (yang dalam konteks ini berarti menjalani hidup lebih baik) dengan disiplin waktu. Namun tentunya, ambisi rekonstruksi budaya ini perlu pengawalan proaktif seluruh elemen Masisir dan Diaspora tanpa terkecuali, baik individu, komunitas, organisasi kedaerahan, hingga pemangku kebijakan. Adapun wujud kealpaan salah satu pihak terhadap kesadaran berdisiplin diri, sama dengan sengaja menghambat mobilisasi perbaikan kualitas Masisir.         

Berkaca pada kampanye di Jepang sejak tahun 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat berupaya ‘meningkatkan moral publik’, yaitu kampanye untuk mengajak rakyat agar bertingkah laku ‘sesuai dengan masyarakat yang beradab’. Salah satu himbauannya adalah agar membiasakan hidup ‘tepat waktu’. Perusahaan-perusahaan produsen arloji dan jam dinding menjadi sponsor dalam kampanye tepat waktu tersebut. Kantor-kantor dan instansi pemerintah pada jam-jam tertentu membunyikan lonceng tanda waktu, supaya warga sekitarnya dapat mencocokkan dengan arloji masing-masing (Rustam, Reza. 2017). Kampanye itu mencapai puncaknya dan menuai hasil positif ketika diselenggarakannya Olimpiade Tokyo 1964. Kala itu tentunya Jepang dikunjungi pekerja media dari seluruh dunia. Di mana pada saat itu, rakyat Jepang dinilai tertib, tepat waktu, dan sopan.

Masisir dengan segudang aktifitasnya pun mustahil lepas dari kebutuhan memiliki skill manajemen waktu. Sudah semestinya, mereka menjadi duta penyuluhan ‘anti-ngaret’ dengan sosialisasi dan persuasi antar sesamanya. Menerapkan keteladanan saja belum cukup mengobati penyakit turunan yang sudah mendarah-daging ini. Seperti strategi yang telah dilangsungkan pemerintah Jepang pasca perang dunia II tersebut, langkah berikutnya yang perlu diambil adalah dengan giat mengerahkan pemegang kontrol yang berwenang; seperti pemimpin organisasi, ketua acara, dsb. untuk memberlakukan sistem.

Demi terwujudnya modernisasi moral Masisir maka sistem yang perlu diterapkan ialah;

  1. Pembiasaan keteladanan
  2. Proaktif mensosialkan disiplin
  3. Pemberian penghargaan bagi yang tepat waktu
  4. Penuntutan sanksi bagi yang terlambat

Langkah ini tidak akan menemui jalan buntu jika pemegang kontrol bertanggungjawab dan memiliki integritas. Bukti nyata lapangan telah diupayakan dalam kegiatan Dauroh Matan Jazariy (Dauman) yang diadakan oleh IAC Kairo setiap tahunnya, dan berbuah nyata. Di mana panitia menegaskan dan menuntut kehadiran tepat waktu seluruh peserta Dauman dengan memberlakukan sistem denda sebagai sanksi bagi yang terlambat hadir, walau berselang lima menit. Nominal dendanya pun dikali lipat sebanyak berapa menit selisih keterlambatannya. Dengan diberlakukannya sistem tersebut, menunjukkan bahwa peserta yang datang terlambat tidaklah sama derajatnya dengan yang mengusahakan hadir tepat waktu. Maka peserta yang hadir tepat waktu pun merasa tindakannya benar dan dihargai, sehingga bertanggungjawab untuk konsisten melakukannya.

Jika sistem ini dihimbau secara berkala dan berkelanjutan, maka akan sangat berpengaruh menuntun tatanan sosial. Dengan membenahi kualitas SDM masyarakat, merupakan langkah kongkrit memulai revolusi dan perbaikan drastis di lingkungan Masisir khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dalam jangka waktu tertentu, konsistensi pada hal ini perlahan akan menciptakan pola hidup modern; yakni hidup berdisiplin, rajin, tepat waktu, dan giat positif lainnya. Maka kalimat “On Time Bukan Budaya Kita” tidak akan lagi relevan pada kehidupan Masisir.

 

Refrensi:

Anggita. (2024) https://www.tempo.co/internasional/5-daftar-negara-tersantai-di-dunia-indonesia-peringkat-1-61642 Diakses pada 15 Maret 2025.

Rustam, Reza. (2017) https://rezarustam.com/2017/03/09/menjadi-jepang-hari-ini-metamorphosis-of-japan-from-myth-to-reality/ Diakses pada 19 Maret 2025.

Ong, Susy. (2016) Revolusi Pola Hidup

 

Posting Komentar

0 Komentar