Berlantaikan tanah, beratapkan langit, Kafe Sampah dengan keluguannya selalu sanggup menjaga eksistensi di tengah dinamika pelosok Kairo. Angin menembus celah di sekat-sekat, menyusup ke arah pengunjung di dalamnya. Hawa dingin menjadikan segelas faransawi sangat berharga.
Hampir semua sudut penuh oleh mahasiswa Indonesia yang seluruhnya dibalut
jaket. Ada yang berhijab, ada yang gondrong, ada yang bersemir. Di kanan dan
kiri banyak yang sibuk berperang menghancurkan turret dan base
musuh. Sebagian berekspresi serius, sebagian tertawa terbahak-bahak, dan ada
juga yang hanya saling menatap dan mengirim tuturan lembut. Sisanya ada
beberapa orang Mesir yang sedang menyedot-nyedot sisa-sisa shisa.
Di malam ini, tidak hanya faransawi, ahwah, atau shisa saja
yang menyumbang kehangatan, ramainya kursi-kursi yang melingkari meja juga
berhasil mencairkan kebekuan. Sayang itu tidak berlaku bagi Djata Antasari. Di
bawah langit Kairo yang penuh polusi dan tak berbintang, dia masih berusaha tabah
menahan rasa dingin yang ada di dalam gelas faransawi, dan di dalam
dirinya.
Kafe sampah, salah satu destinasi favorit Mahasiswa Indonesia di Mesir.
Mereka kerap menjadikan kafe di pedalaman Darbul Ahmar ini untuk rapat,
belajar, atau sekedar untuk ‘ngopi’ membahas masa depan atau teori konspirasi. Merujuk
pada papan di depan kafe itu, jelas “Kafe Sampah” bukan nama aslinya. Memang Masisir
– selaku entitas sosial yang punya kehidupan sendiri dan suka iseng – kerap menamai hal-hal di
Mesir seenak jidat mereka. “Simpang X”, “Tremco”, serta nomina-nomina lainnya
yang telah menjadi korban penjajahan Masisir. Tidak peduli kalau itu menyalahi
penyebutan yang sudah ada di lisan penduduk setempat.
Namun, penamaan Kafe Sampah itu bukan tanpa alasan. Kafe ini memang
berada di tengah harmonisme apartemen yang ambruk dan sampah yang menggunung. Jadilah
kafe ini laksana oase di tengah bukit-bukit sampah. Dari arah manapun
pengunjung masuk ke tempat ini, ia pasti akan disambut oleh gundukan rongsok
dan anjing-anjing jelata.
Djata menyilangkan tangan kanannya ke dada kiri. Seorang anak perempuan
kecil menjulurkan tangan kanannya, jari-jari kecilnya menadah ke arah Djata.
Tangan kirinya yang kurus menggandeng seseorang yang lebih kecil darinya –
mungkin adiknya. Djata berusaha keras menghindari tatapan memelas mereka
berdua. Isi kantong sakunya sudah nihil. Bebeberapa saat sebelumnya, Djata
langsung membayar harga dua gelas faransawi yang dipesannya, tidak ada lagi yang tersisa
untuk diberikan guna mengisi perut atau membersihkan kumal kulit dan baju dua
anak itu. Bagaimana lagi, Djata tidak punya pilihan.
Di sandaran kursi plastik kafe, Djata sandarkan badan tambunnya. Kulit
gelapnya hampir menyatu dengan malam. Seperginya dua anak itu, kenapa dia malah
jadi kasihan pada dirinya sendiri. Ternyata jaket tebal yang baru dia beli di City
Star ini tidak berguna. Dingin dari dalam diri lebih menyiksa. Dia berpikir
mau berapa lama lagi dia harus menunggu. Padahal sejak jauh-jauh hari
teman-temannya sudah mewanti-wanti untuk tepat waktu, pun beberapa saat sebelum
Djata tiba mereka sudah konfirmasi sedang bersiap dan ada yang sudah “OTW”. Dia
bertanya-tanya kenapa waktu kedatangan teman-temannya tidak lebih pasti
daripada kedatangan Ammu Bukhur?
Seorang pria paruhbaya datang dengan jubah coklat keemasan, di kepalanya
bertengger sorban putih, dan oleh tangannya perapian besi diayun-ayunkan dari rantai
kecil. Aroma asap gaharu menjajah jaket tebal Djata. Satu ayunan, dua ayunan,
Ammu Bukhur tidak kunjung beranjak. Memang jika merujuk pada SOP Asosiasi Ammu
Bukhur se-Kairo, dia baru akan pergi jika diberi upah. Dan Djata hanya bisa
mengupahinya dengan silangan tangan – sekali lagi.
Faransawi-nya yang dingin telah habis. Tersisa ampas-ampas
saja. Setelah dua gelas faransawi dan serpihan geneh di sakunya
habis, mana mungkin dia terpikir untuk pesan lagi. Dia menarik napas, mengeja
kesabaran dalam penantian ini. Djata sendiri tahu bahwa dirinya tidak senaif
itu, dia paham kalau teman-temannya pasti akan molor lama. Kalau sudah tahu
buat apalagi marah, Djata sudah siap dan terbiasa.
Dia perhatikan satu-persatu empat kursi kosong di kanan dan kirinya. Beberapa
tarikan napas berhasil menjaga emosinya. Dalam ketenangannya tiba-tiba ada
sesuatu yang terbesit di kepalanya. Entah itu ide untuk menyambut teman-teman,
atau untuk mengungkap rahasia. Djata tersenyum lebar, menjadikannya tampak
menyeramkan, apalagi tampilan angkernya didukung oleh badan besar dan kulitnya
yang gelap.
Sambil menunggu penyambutan itu terwujud, Djata mencari cara lain untuk
mengusir bosannya. Diktat yang teronggok di atas meja memanggil-manggilnya.
Djata memutuskan untuk kembali membuka Buku Mantiq itu. Dia ulas ulang bab yang
akan diajarkan kepada teman-temannya malam ini, Burhanul Khulf alias Pembuktian
Terbalik.
Premis demi premis dipindai oleh matanya yang besar diiringi kepalanya yang
mengangguk-angguk. Djata yang selalu datang tepat waktu sudah hampir satu jam
menanti. Hampir saja dinding kesabarannya keropos, sampai akhirnya datang dua
orang pertama, si kembar Neneng dan Nining.
Seketika di Kafe seperti ada syuting program TV Ceriwis. “Aduh, maaf ya, Kak.
Ini si Neneng ini gara-garanya. Dia dandannya lama banget soalnya.”
“Ih, kok salahin Aku sih padahal kamu juga lemot parah,” tangkis Neneng.
“Maaf ya, Kak, kami ini emang begini soalnya,” ucapnya sambil meringis.
“Antum sudah tunggu dari jam berapa, Kak?”
“Magrib.”
“Itu, Ning, Kalau beliau mah panutan, padahal dari ‘asyir lho.
Hehehe.”
“Aduh, maaf ya, Kak ....”
Djata heran melihat mereka. Dia selanjutnya hanya merespons, “Iya, aman.”
Neneng dan Nining meringis canggung. Hemat bicara adalah salah satu
karakter Djata yang menjadikannya tampak misterius. Beberapa menit setelahnya,
Neneng dan Nining sibuk menggulir layar ponsel sendiri-sendiri. Mereka sesekali
membicarakan tren terbaru, dan sesekali saling memperlihatkan FYP
masing-masing. Djata sementara cuma menjadi angin lewat yang menyatu dengan
alam, atau menjadi seperti lampu merah depan Enppi yang entah apa fungsinya.
Beberapa puluh menit berjalan tanpa perkembangan. Djata Antasari mulai khawatir
kalau dia akan menunggu terus sampai seabad. Setiap detik terasa lambat. Masih
terus dia berkutat dengan diktat, walau sedikit terganggu dengan Neneng dan
Nining yang asyik sendiri.
Lima belas kemudian, seseorang datang lagi. Sambil menggaruk-garuk kepala,
Arman merapat ke salah satu bangku kosong. Neneng dan Nining sejenak
meninggalkan dunia maya mereka, kembai ke dunia nyata untuk menyoal
keterlambatan Arman.
“Parah, Kamu, Man! Kami sudah tunggu lama lho. Padahal rumahnya di Aslan
lho.” Neneng mengucapkannya dengan penuh penghayatan, gerakan jarinya ikut
menggambar betapa dalam penderitaannya karena telah menunggu lama.
“Biasa aja dong! Tadi ngantre kamar mandi lama, Aku harus buang air besar
dulu tahu ....”
Nining ikut mengekspresikan rasa lara yang sama, baginya menunggu adalah
penyiksaan. “Kamu sudah salah, malah ngeles terus!”
“Iya, iya, lihat lho ini Guru kita, Djata, biasa aja dia. Udah lama kamu
nunggunya, Bro?”
“Iya ....”
“Aman, kan? Yang ngajarin kan memang harus dateng lebih dulu gak sih.”
Djata heran. Memanglah Arman empatinya sangat tinggi sampai-sampai dia
tidak perlu berpikir panjang untuk mengucap sesuatu. Dengan datangnya Arman, circle
belajar ini tinggal menunggu satu orang lagi. Entah dia akan datang di era
apa nantinya. Pemilik kafe merapat ke meja Djata dan teman-temannya. Menagih
pengunjung yang belum memesan. Neneng, Nining, dan Arman mendiktekan pesanan
mereka. Arman berbasa-basi, meminta Djata untuk memesan lagi. Tentu Djata
menggelengkan kepala, kantongnya sudah kosong. Dua gelas faransawi
tinggal ampas, ludes untuk menemaninya menunggu lama. Arman tidak tahu itu.
Arman seketika seperti jadi gusar entah kenapa. Neneng disuruhnya untuk
menghubungi seorang yang belum datang. “Ayo, udah malam, nih. Tinggal dia
doang. Coba, Neng, telpon si Anugrah.”
Neneng menuruti Arman walau perlu ritus ‘ngedumel’ dulu. Kenapa
Arman mendadak menjadi tukang suruh. Tanda berdering terlihat di ponsel Neneng.
Namun, tidak ada jawaban. Berkali-kali. Neneng perlahan naik pitam, Nining di
sampingnya pun ikut risih. Arman malah menyudutkan mereka berdua untuk
cepat-cepat menghubungi Anugrah. Djata hemat bicara, dia sedari tadi terus
mengernyitkan dahi. Setelah sekian belas kali panggilan, Anugrah akhirnya membelas
pesan di WhatsApp. Singkat, padat, “OTW”.
Anugrah muncul sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya berantakan dan
raut wajahnya sama sekali tidak memancarkan gairah hidup untuk membangun
kejayaan peradaban Islam. Bibirnya mengecap-ngecap. Pertanda ada rasa sepat di
sana.
“Parah lu! Padahal rumahnya paling deket datengnya paling terakhir!” Arman
dengan penuh wibawa merasa dia berhak untuk menghakimi Anugrah yang merapat bak
kriminal.
Anugrah duduk saja di kursi kafe, biasa saja. Dia tidak menganggapnya kursi
pengadilan hanya karena ada Hakim Agung Arman di depannya. “Apaan, sih. Santai
aja kali.”
“Udah lengkap, nih. Ayo langsung mulai,” perintah Arman pada Djata.
Anugrah mengeluarkan sebungkus rokok Winston dari sakunya. “Ya elah, santai
dulu ngapa? Sebatang dulu bisa ini.” Dia keluarkan dua batang, satu dia suapkan
pada Arman. Langkah negosiasi yang jitu. Tepat ketika korek telah memantikkan
nyala api, Arman dan Anugrah resmi masuk ke dunia baru. Dunia asap manis yang
hanya bisa dinikmati oleh orang-orang sejenis. Anugrah khususnya, tampak
berubah penuh semangat sejak mulai nyebat.
Jaket Djata yang sebelumnya terpapar aroma bukhur, kini tercemar
sangit asap. Neneng menyoal aktivitas berbahaya itu. Jelas dia terganggu.
Nining di sisi lain menyoal mereka yang semakin mengulur masa. “Ini lho, Djata
udah nunggu lama banget.”
Anugrah menarik napas asapnya, dan meniupkannya keluar layaknya seorang
yang sedang pusing memikirkan kemelut geopolitik Timur Tengah atau duet mau
antara hukum bobrok dan budaya korupsi di Indonesia. Pikiran itu beredar di
kepalanya. Beban berat di hatinya itu menjadikannya tidak ingin repot lagi. Dia
menjawab santai saja, “Lagian datang tepat waktu banget biar apa sih?! jangan
diulangi makanya, ya. Polos banget.”
Terlihat betul, memanglah Anugrah adalah pribadi yang penuh etika, cocok
memimpin bangsa. Di setiap hirupan dan hembusan napas tembakaunya dia pikirkan
masa depan Indonesia. Wush ...
“Ya sudah, cepat, ya, kalian! Satu batang saja!” Nining baru saja memberi
dekrit yang lebih tegas dari Supersemar. Kursinya di geser sedikit, dan
tangannya menutup-nutupi hidung supaya tidak terkena limbah udara dari Arman
dan Anugrah. Waktu mereka kini tidak ditentukan oleh jarum jam, tapi oleh
panjang batang rokok yang terbakar.
Neneng dalam masa-masa menanti perokok ini seketika menjadi seorang ibu
yang empatis. Dengan lembut memberi petuah mujarab untuk Djata. “Kayanya bener
deh. Antum besok tidak usah tepat waktu banget. Molorin aja sedikit.”
Demi mendengar itu Djata ingin tertawa. Dia tidak bisa menahan seringai
muncul tipis di mulutnya karena saking herannya. Badan gempal, kulit gelap, dan
senyum tipis; sepaket tampilan yang membuat Neneng dan Nining canggung dan
takut. Djata tampak misterius lagi menyeramkan.
Nining dengan pelan menanyakan suatu hal. “Iya antum mah, kalau ada kumpul
di mana-mana pasti datengnya terlalu disiplin. Tapi, kok bisa antum bisa mudah tepat
waktu terus begitu sih?”
Seperti mendapati umpan termakan, Djata langsung menyambar pancingnya.
Djata menutup buku dan meletakkannya di atas meja. Bersiap untuk mengungkap
sebuah rahasia. “Sebenarnya Aku punya cara rahasia.”
Djata resmi mengucapkan kalimat yang berisi lebih dari tiga kata. Dia
menanggalkan sisi hemat bicara dari kepribadiannnya. Alamat bahwa akan ada yang
besar akan terjadi. Mendengar Djata punya cara rahasia, Neneng dan Nining
menjadi penasaran bukan main. FYP Tiktok tidak lagi penting, saat tercium ada
cerita menarik untuk bahan gosip. Dia memohon Djata menceritakan rahasia itu,
dalihnya “sudah bilang jadi sekalian”. Di sisi dunia yang lain, Arman dan
Anugrah masih sibuk dengan masa depan Tanah Air di antara setiap hembusan
asapnya.
Djata akhirnya bercerita, “Aku sebenarnya lahir di keluarga yang aneh. Kami
punya rahasia gelap. Tapi karena kalian teman-temanku. Tidak apa Aku ceritakan
saja.”
Arman dan Anugrah menoleh setelah mendengar kata “rahasia gelap”. Selama
ini mereka kira teori konspirasi hanya topik obrolan di antara kaum Adam saja.
Kali ini rasanya rahasia keluarga Djata akan membatalkan anggapan itu. Mereka
berempat seperti kesurupan penunggu Darbul Ahmar. Mereka jadi diam dan fokus
pada Djata, menunggunya mengungkap rahasia. Entah kapan mereka jadi peduli dan
antusias.
“Leluhur kami dulu berasal dari pedalaman. Mereka secara turun temurun
punya kesaktian. Dan itu diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi sampai kepadaku. Dulu kakek moyangku sangat kuat, sampai mereka punya
portal di tengah hutan yang bisa menghubungkan mereka ke masa lalu. Ayahku bisa
terbang dari tempat ke tempat dengan cepat. Ibuku bisa menghentikan waktu, jadi
dia tidak pernah terlambat di manapun ...”
Neneng dan Nining melongo. Ucapan Djata sangat meyakinkan. Kesan misterius
atasnya seakan mengamini segala apa yang diceritakannya. Mereka merasa tidak
punya alasan untuk tidak percaya. Arman dan Anugrah menahan tawa dan setengah
percaya. Mereka termangu menanti Djata melanjutkan ceritanya.
“Kalau aku sendiri diberkati salah satu kekuatan terhebat sepanjang sejarah
garis keturunan. Aku bisa teleportasi. Aku punya bakat berpindah langsung dari
satu tempat ke tempat lain dari kecil. Dan itu kukembangkan terus dengan
berlatih. Setelah berkali-kali latihan, meretas ruang bukan jadi hal yang sulit
untukku. Sekarang di Mesir, Aku sering melakukan teleportasi untuk pergi ke
tempat-tempat tujuan. Aku hanya butuh fokus sebentar, maka dari rumah aku bisa langsung
berpindah tempat. Walau ada batasannya, ya. Selama ini Aku paling jauh
teleportasi dari rumah ke CS. Kalau ke Darbul Ahmar, atau Hay Sabi’ itu
mudah saja. Cuma Aku tidak akan terang-terangan menampakkan kesaktianku. Aku
akan memilih tempat-tempat yang tersembunyi untuk muncul. Biasanya Aku memilih
muncul di sutuh, bawah kubri, atau kalau seperti tadi Aku
teleportasi ke lorong imarah itu.” Djata menunjukkan salah satu
apartemen yang di bawahnya ada lorong yang menghubungkan dua gang.
Lingkaran itu lengang beberapa detik sampai Arman melepaskan tawanya
memecahkan keheningan. Tidak mengerti maksud Djata. “Hah?!”
“Eh, itu serius kan? Tidak apa kok.
Aku tidak akan bocorin ke siapa-siapa.” Neneng mengomentari dengan penuh
keluguan. Disambut Nining yang malah heboh sendiri. “Ih, keren banget tahu. Coba
mau lihat dong!”
“Gak mungkin ada yang begituan, lah. enak banget dong kalau begitu, serba
instan gak ada usahanya!” Anugrah merasa kebenaran yang dia yakini terancam,
dia juga merasa kalau waktunya untuk merokok sambil membahas kepentingan umat
dibatalkan hanya untuk mendengar omong kosong. “Ah, udahlah ayo mulai belajar.
Dasar kamu, malah ngibul.”
Dengan satu kata singkat Djata menutup malam itu, “memang.”
Tubuh besarnya dia angkat dari kursi, Djata mengambil bukunya dan pergi
meninggalkan mereka. Menghilang karena merasa pelajaran telah disampaikan.
1 Komentar
Always🔥🔥🔥
BalasHapus