Ustadzah Rashda Diana, seorang azhariyyah alumni 98 yang memiliki warisan keilmuan dan tradisi pendidikan yang mendalam. Dalam acara sillaturrahmi PCI IKPM Gontor Kairo yang diadakan di Helwa Center Selasa (15/10) lalu, Kru Pena Darussalam berkesempatan untuk wawancara eksklusif bersama Ustadzah Rashda Diana, istri dari Prof. Din Syamsuddin. Dengan penuh kehangatan, beliau menyambut kru media Pena Darussalam untuk berbincang, berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana azhariyyah dapat memainkan peran yang signifikan dalam membangun masyarakat yang lebih baik, terutama melalui pendidikan.
Sebagai putri dari Kyai
Imam Subakir, salah satu alumni Gontor yang pertama kali diutus ke Mesir,
Ustadzah Rashda tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu pengetahuan.
Kyai Imam Subakir sendiri dikenal sebagai penulis kitab al-Qira’ah al-Wafiyah (Mata
pelajaran muthala’ah kelas 6), yang hingga kini menjadi
bagian dari kurikulum Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) di PMDG
Gontor. Pendidikan inilah yang menurutnya menjadi landasan penting bagi
perempuan dalam membentuk karakter generasi penerus.
"Perempuan, Ibu, sekaligus
sosok pendidik harus mempunyai ilmu yang mumpuni. Ghazaaratul maddah
dalam hal apapun, dimulai dari rumah. Bukan hanya ilmu, tapi bekal pengalaman
dan mental juga diperlukan," ujarnya. Menurut Ustadzah Diana, perempuan
harus terlebih dahulu membangun pondasi yang kuat untuk dirinya dan keluarga.
Dengan ilmu yang mumpuni, dapat menjadikan seseorang profesional dalam beramal
sholeh.
Beliau menyampaikan bahwa
tantangan generasi sekarang adalah gadget.
Gadget menjadi faktor perusak akhlak umat, hingga mengakibatkan banyak bayi
sekarang menjadi keras. Banyak datangnya msalah krisis moral berasal dari
keluarga. Mengapa anak kejam dan susah diatur adalah karena orang tuanya
sendiri kurangnya kasih sayang dan memperhatikannya.
“Kasih sayang, hanaan,
membuat cerdas otak manusia, cerdas mental dan hati. Jika seorang anak kurang
perhatian atau kasih sayang, maka dia tidak merasa tenang di dunia, tidak
merasa dihargai.” Perhatian yang beliau maksud bukan berarti manja, namun
perasaan dianggap. Dianggap bahwa keberadaanya penting. Dengan cara mengarahkan
dan memperhatikan.
Beliau juga menjelaskan
bahwa keluarga adalah prioritas utama. "Setelah ilmu kita cukup dan kita
mampu membina keluarga yang baik, maka barulah kita meminta izin ke suami untuk
dapat berkiprah di masyarakat," tambahnya. Dimulai dengan lingkungan
sekitar dan terdekat seperti sekolah dan pesantren. Jika diizinkan berkembang
di masyarakat, maka ke masyarakat. Jika ingin terjun ke ranah politik, maka
kita perlu pelajari dulu dari berbagai sisi.
“Perempuan jika ingin
berpolitik itu harus hati-hati. Jika sedikit saja maslahatnya dan tidak
diridhai suami, maka tinggalkan,” pesan Ibu Rashda. Beliau menegaskan bahwa
peran perempuan dalam politik dan dakwah sangat penting, namun harus dilakukan
dengan restu dan dukungan keluarga.
Beliau berharap akan
adanya pergerakan alumni Al-Azhar khususnya perempuan yang dapat menggerakkan
dan memberikan masukan kepada ibu-ibu yang minim agama, agar sadar bahwa
pendidikan dalam keluarga sangat penting. Hingga akhirnya azhariyyah
dapat terus belajar dan berkembang, serta berkontribusi positif bagi umat, baik
melalui dakwah maupun peran di masyarakat luas.
Red: Fakiha, Ishmah, Mannar
Editor: Ilmi Hatta
0 Komentar