Header Ads Widget

Darussalam Catering

Kemerosotan Moral Mubalig: Dampak Negatif Hebohnya Fenomena Jual Agama

Oleh: Febdiyu Akhmad

Pendarmesir.com - Belakangan, fenomena menjual agama sedang hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan-mulai dari cendekiawan, pelajar, hingga masyarakat awam. Efek berkembangnya teknologi terutama media sosial beberapa tahun terakhir membuat segala informasi cepat tersebar. Di zaman ini, bahkan orang yang tidak memiliki kapasitas bisa dengan mudah untuk menyebarkan informasi, termasuk informasi penggiringan opini tentang penjualan agama yang berdampak buruk bagi citra agama itu sendiri.

Secara sederhana, pada hakikatnya menjual agama adalah tindakan memanfaatkan simbol atau ajaran agama demi keuntungan duniawi, dengan cara yang menyimpang dari nilai-nilai luhur agama itu sendiri. Lalu siapakah pelaku dari penjual agama? Pada dasarnya, semua orang bisa terjerumus dalam tindakan ini, akan tetapi mayoritas dan yang paling tersorot adalah dari kalangan Mubalig, karena mereka memiliki privilege sebagai pemegang otoritas religius dan dianggap sebagai panutan umat.

Harus kita akui, bahwa belakangan ini, muncul banyak sekali oknum seperti kiai, gus, dan habaib yang dengan seenaknya sendiri menjual agama. Mereka memanfaatkan agama hanya untuk memperoleh keuntungan dunia secara terang-terangan, seperti menjual air biasa dengan harga tinggi hanya karena didoakan. Para oknum-oknum Mubalig yang seharusnya menjadi pewaris Nabi ini justru menjual agamanya hanya untuk kepentingan dunia mereka sendiri. Maka ramailah diksi menjual agama ini, mulai dari perbincangan sederhana di warung kopi hingga perdebatan di media sosial.

Lalu apa dampak negatifnya?

Dampak negatif yang paling serius adalah penyamarataan masyarakat terhadap semua pemuka agama. Oknum yang salah langkah dianggap mewakili keseluruhan Mubalig. Akibatnya, Mubalig-Mubalig yang lurus dan ikhlas dalam berdakwah pun ikut tercoreng namanya. Ditambah-seperti yang penulis singgung diawal-bahwa di era digital ini semua orang bebas untuk menyampaikan informasi, termasuk informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaranya. Narasi tentang menjual agama ini lama-kelamaan mulai berlebihan, mulai muncul opini dan kritik berlebihan yang bukanya membangun, tapi justru berdampak buruk bagi agama itu sendiri. Akibatnya, sebagian masyarakat sekarang menganggap bahwa semua pemuka agama hanya memanfaatkan agama untuk kepentingan duniawi. Maka terjadilah penurunan tingkat kepercayan masyarakat terhadap agama.

Seperti contoh, sebuah video beberapa waktu yang menunjukan seorang Mubalig terkenal, Gus Iqdam sedang menyalakan motor Fiz R nya heboh di media sosial. Bukannya melihat hal itu sebagai ekspresi pribadi yang wajar, sebagian warganet justru menghujat dan menyangkutpautkannya dengan menjual agama. Bahkan beberapa kreator konten seperti ‘Gus Pikmen’ ikut memperkeruh suasana dengan membuat video bernada menghina. Padahal, jika dilihat dengan kacamata objektif, tidak ada salahnya seorang Mubalig memiliki hobi bermain motor. Tetapi di zaman ini, sebagian masyarakat melihat semua hal yang dilakukan oleh para Mubalig adalah bagian dari menjual agama .

Kembali lagi, penulis mengakui bahwa belakangan memang banyak sekali oknum-oknum penjual agama, dan penulis juga setuju bahwa para oknum-oknum ini harus diberi sanksi dan peringatan atas kelakuan buruk yang mereka perbuat. Penulis tidak mengingkari bahwasanya di zaman ini, moral sebagian Mubalig memang mengalami kemerosotan, terbukti dengan banyaknya para oknum penjual agama bermunculan. Tapi perlu diingat , bahwa sebanyak-banyaknya para oknum-oknum tersebut, para Mubalig yang masih berjalan di jalan lurus dan tidak menjual agama masih lebih banyak, dan sangat-sangat banyak. Bahkan jika bisa dibandingankan, maka rasio perbandinganya akan jauh sekali. Maka tidak adil rasanya jika menyamaratakan semua Mubalig sebagai seorang penjual agama.

Di masa lalu, sebenarnya oknum-oknum penjual agama seperti sekarang sudah ada, namun diksinya tidak ramai seperti sekarang. Sehingga tidak terjadi penyamarataan atau kesalahpahaman masyarakat terhadap para Mubalig. Penulis memandang segala dampak negatif tersebut adalah murni dari ramainya diksi ini.

Baca Juga: Melukis Wajah Tuhan di Kanvas Hati

Oleh karena itu, agaknya kita perlu mengurangi penggunaan diksi menjual agama. Karena sebenarnya, sebagian masyarakat belum paham dengan diksi ini secara benar. Ketika mendengar atau melihat hal yang berkaitan dengan Mubalig, sebagian masyarakat langsung mengaitkannya dengan praktik jual agama. Jika ini terus dibiarkan, maka dampaknya bisa sangat buruk bagi agama kita sendiri. Maka mari kita mulai mengurangi penggunaaan diksi itu, demi mencegah dampak negatif yang sangat buruk. Kita tentunya tidak mau, jika kelak semua masyarakat tidak lagi percaya dengan para Mubalig.

Terakhir, sebagai solusi atas permasalahan munculnya para Mubalig yang menjual agama, maka wajib bagi pemegang otoritas keagamaan resmi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan standarisasi mengenai kelayakan seorang Mubalig, termasuk kriteria siapa yang pantas disebut Mubalig dan siapa yang layak berbicara atas nama agama. Langkah ini penting untuk mencegah munculnya oknum perusak citra agama yang akan merugikan kita semua.

Seperti yang Allah firmankan didalam surah Al-Baqarah:41

… وَلََا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًۖا وَّاِيَّايَ فَاتَّقُوْنِ

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku ...”.

Semoga Allah selalu menjaga dan menjauhkan kita dari segala laranganya, terkhusus dari perilaku menjual agama.

Wallahu ‘alam bi shawab.


Posting Komentar

1 Komentar