Karya: Ihya
Aku tidak mengerti lagi. Langit pondok hari ini sangat indah, masjid dan
gedung-gedung di sekitarnya juga tampak megah, nilai akhir di kasyfu darajat
yang tengah kupegang pun memuaskan, tapi entah kenapa Aku merasa muram, sempit,
dan kerdil. Entah berapa lama masa yang perlu kutempuh untuk mencapai rayon,
Aku tidak tahu, setiap langkah seperti seabad.
Suara derap langkah santri mencipta gemuruh pelan. Jalanan dipenuhi
warna-warni kemeja dan raut wajah. Sebagian bergurau, sebagian termenung, tidak
sedikit juga yang hanya datar. Berbeda-beda. Hanya satu yang menyamakan, tangan
mereka semua sedang membawa kasyfu darajat.
Ia adalah selembar kertas dengan kolom yang berisi daftar pelajaran dan
angka-angka arab. Seluruh santri akan mendapatkannya setiap semester. Saat-saat
menanti pembagian kasyfu darajat adalah saat yang mendebarkan. Bagaimana
tidak, ia laksana rapor amal perbuatan yang menentukan arah takdir seorang
santri ke depannya. Waktu seakan berjalan teramat pelan setiap kali wali kelas
masuk ke ruang kelas sambil membawa setumpuk amplop coklat yang masih menyegel
nilai hasil belajar satu semester ke belakang. Harap-harap cemas tidak dapat
tertahan di wajah anggota kelas, seperti ada rahasia jagat yang akan
tersingkap.
Semestinya kali ini, di bawah langit Gontor yang sedang cerah-cerahnya, aku
sumringah sebagaimana santri pada umumnya ketika meraih nilai yang mentereng.
Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda. Berturut-turut aku menduduki kelas B
(tertinggi) sejak kelas satu. Sudah lima tahun aku menjadi santri dan aku
selalu mendapat nilai sempurna. Awalnya, semua pencapaian itu terlihat sangat
membanggakan. Karena predikat itu, teman-teman pun jadi segan. Tahun demi
tahun, perlahan aku menjadi jemawa, merasa bahwa itu semua sudah cukup. Aku
merasa hebat. Ternyata tidak.
Satu hal yang kutahu, aku benar-benar ingin menyendiri sekarang. Saat sudah
sampai rayonku, Saudi 1 Lantai 2, aku langsung menumbangkan badanku ke atas
lantai. Tanpa mengganti pakaian atau merapikan buku dulu. Andaikan bisa, Aku
ingin tidur saja, tanpa ada yang membangunkan, tidur sampai pagi lagi. Bukan
karena tubuhku lelah, tapi ... entahlah. Aku hanya ingin berdiam, menatap
langit-langit kamar, merenungi perjalananku di pondok yang sudah hampir
berakhir. Perasaan itu mengalir di denyut nadi dan merambat ke seluruh tubuh
seiring paru-paru mengembang dan mengempis. Tarikan napas berat mengembalikan
ingatan atas satu peristiwa yang berhasil menampar sadarku. Ingatan yang
membuat hariku mendung.
***
Kasur ‘springbed’ di rumah memang tidak sepantasnya dibandingkan
dengan kasur lantai di pondok. Karam di kasur empuk rumah tentu merupakan
sebuah utopia yang didambakan para santri. Kenikmatan semacam ini hanya dapat
dirasakan enam puluh hari setiap tahunnya. Sepuluh hari untuk liburan awal
tahun, lima puluh di akhir tahun. Sisanya kami, para santri, tidur di atas
kebersahajaan.
Momen langka ini mana mungkin kulewatkan. Apalagi ini liburan terakhirku.
Tanganku merentang ke kanan, ke kiri, lalu ke atas. Sesekali melingkar ke
guling. Kepala pun tenggelam ke kedalaman bantal. Apapun yang kulakukan, scrolling,
gaming, sampai sleeping, semuanya terhelat di atas kasur. Ia
menjelma magnet yang daya tariknya teramat kuat. Aku tidak berdaya di atasnya.
Untuk bisa melepaskan diri, harus ada daya tarik lain yang lebih kuat. Namun
ini momen langka, mana mungkin aku mau melepaskan diri dari kasur surgawi
ini. Ah, nikmatnya ...
“Fatih ...! Sini, Nak.”
Suara itu merambat dari ruang makan hingga mengetuk pintu kamarku. Berat
sekali badanku. Aku harus bangkit, melepaskan perekat di kasur ini. Selain
panggilan Tuhan, panggilan orangtua juga tidak bisa ditolak.
Tidak sangka hari sudah gelap sempurna. Di dinding kamarku yang tidak
transparan, kulewatkan proses matahari terbenam. Di meja makan sudah ada
orangtuaku. Dua orang yang jarang kutemui selama di pondok, hanya dapat
berhubungan lewat telepon, itu pun seringnya kalau akhir bulan saja.
Ibu masygul membawa makanan dari dapur, Ayah (yang tidak sedang dinas)
menyambut piring-piring dan menatanya di meja makan. Aku merapat ke salah satu
kursi. Seketika liurku hampir jebol. Bagaimana tidak, sepiring rendang hangat
tersaji siap disantap. Kuahnya tampak berkilau terkena cahaya. Nasi yang
ditanak Ibu pun tercium harum.
“Wah, rendang, Bu?”
Setelah semuanya siap, Ayah duduk dan Ibu menyusul. “Dimasak spesial buat
anak kebanggaan Ayah yang selalu berprestasi di pondok.”
Ibu singkat menambahkan, “Mumpung kamu di rumah. Ayo makan.”
Kami menyantap makan malam penuh kehangatan dengan lauk yang sulit didapati
di pondok. Kuhayati sepenuh hati setiap suapan rendang yang mendarat di
mulutku. Kukunyah perlahan, membiarkan cita rasanya sempurna dijamah oleh
lidah. Tidak terasa piringku sudah tandas. Tanpa perlu isyarat, kuambil porsi
selanjutnya. Ayah dan Ibu tersenyum saja. Satu piring lagi habis, aku tidak
segan mengambil porsi selanjutnya. Aku masih kuat memakan satu piring lagi.
Saat aku sedang asyik-asyiknya memakan rendang, Ayah – yang jelas tidak
makan sebrutal aku – memulai obrolan. “Nanti pulang ke pondok tanggal berapa?”
“Tanggal 15, Yah, nanti kumpul sama konsulat di alun-alun,” jawabku sambil
sibuk menghabiskan apa yang tidak bisa dihabiskan Ayah dan Ibu. Nyam, nyam,
nyam.
“Lalu liburan lagi kapan?” Sekarang Ibu yang bertanya. Tepat saat
pertanyaan itu keluar dari lisan Ibu, rendangku sudah habis.
“Ini liburan terakhir, Bu.”
“Terakhir?” Ayah belum paham. Sebenarnya aku sudah
sering menjelaskan, tapi maklum saja, Ayah mungkin lupa.
“Iya, liburan depan sudah tidak pulang, kelas lima
mukim, jaga pondok.”
“Lalu?”
“Nanti pulangnya kalau sudah lulus, Yah.”
“Sudah besar anak Ayah ternyata, ya. Sudah mau
lulus.” Ayahku mengangguk-angguk sambil tersenyum antusias. “Nanti kalau sudah
lulus, kuliah di Al-Azhar, ya! Atau mau di Yaman? Atau Maroko? Turki? Atau mau
ke Pakistan?”
“Iya, Yah, semoga saja bisa. Nanti kita lihat.”
Sejujurnya aku belum punya banyak informasi tentang kuliah di negara-negara
itu. Aku masih ingin menikmati hari-hariku – di kasur empuk surgawi – tanpa
memusingkan diri dengan kuliah. Setidaknya sampai lulus nanti. Aku hanya bisa
merespons optimisme Ayah dengan afirmasi positif.
Kalau Ayah bertanya tentang masa depan, maka Ibu
bertanya tentang masa lalu. “Kemarin ujian bagaimana?”
“Mudah, sih. Biasa saja. Hampir semuanya bisa
Fatih jawab.”
“Mantap. Kamu harus rajin belajar terus, ya.” Ayah
mengacungkan jempol lalu bersama Ibu berdiri membereskan meja. Piring-piring
kotorku dibawa mereka ke dapur. Aku mengiyakan saja ucapan Ayah tadi. Semuanya
terlihat biasa saja, sepanjang libur ini, sejauh ini. Sampai Ayah tiba-tiba
teringat sesuatu. “Oh, iya. Tadi Pak Wildan, Imam surau, minta Fatih buat ngisi
ceramah maulid di surau. Bisa, kan?”
Hah? Aku terkaget dan membisu.
“Pasti bisalah, anak Ayah.” Ayah mendekat dan
menepuk bahuku. “Tadi Ayah juga sudah mengiyakan soalnya. Nanti disiapkan saja,
ya.”
Celaka! Hal yang selalu kuhindari tiba-tiba datang dan tak
terelakkan. Aku seakan raja yang termanjakan di satu petak papan catur dan
mendadak terkunci sekakmat. Tidak ada pilihan selain mengiyakan.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku diminta
untuk mengisi ceramah di surau. Di tahun-tahun sebelumnya Aku sudah sempat
mengisi kultum Ramadan. Itu pun setelah berusaha menghindar berkali-kali. Aku selalu merasa kurang percaya diri, Aku
merasa belum layak. Setiap kali diminta mengisi di surau, Ayah selalu bilang
kalau kesempatan itu untuk latihan. Itu setidaknya sedikit meringankan, karena
pasti ada ruang untuk salah saat latihan. Dengan i’dad pidato seadanya,
Aku memberanikan diri untuk maju. Lagipula saat itu Aku masih sangat belia,
jamaah pun akan menganggapku seperti anak kecil yang sedang latihan khutbah.
Jamaah saat itu hanya mengangguk-angguk saja. Sebagian malah mengantuk.
Kali ini berbeda. Aku sudah semakin dewasa. Di
mata masyarakat Aku terpandang sudah matang. Lima tahun sekolah di pesantren
pastilah menimbulkan ekspektasi di benak mereka. Kalau aku masih
mengelak-ngelak mau ditaruh mana wajah almamater, mau ditaruh mana status
santri yang kusandang. Sekarang akan terasa sangat tidak pantas kalau aku
menolak. Tidak ada pilihan lain, aku harus menerimanya.
Beruntungnya aku sudah mulai terbiasa. Menjadi
pengurus asrama alias mudabbir di setengah tahun ini membuatku terbiasa
berbicara di depan orang banyak. Cukup satu jam, kutulis poin-poin yang perlu
disampaikan seputar Maulid. Berbagai macam laman dari internet kujelajahi untuk
menambah referensi untukku. I’dad siap. Sederhana sekali. Di sini tidak
perlu minta stampel dari Bagian Pengajaran juga.
Malam yang dijanjikan tiba. Aku merasa penuh
percaya diri. Setelah salat isya dan zikir bersama, jamaah mulai duduk
melingkar. Mas Mustofa menyiapkan meja lantai dan mic. Setelah dicek
suaranya, Pak Wildan mempersilakanku untuk maju. Ayah dan Ibu juga hadir
menyaksikan.
Mudah saja. Aku berceramah saja ala-ala mudabbir
yang kesurupan motivator bermulut manis. Apa yang kudapati di internet
seputar Maulid Nabi terucap tanpa hambatan. Semua itu mengalir terus hingga
hampir setengah jam. Ceramah kuakhiri. Semuanya terasa lancar, hingga ada
seorang jamaah yang mengangkat tangan. Dia tampak lebih tua beberapa tahun
dariku. Karena jarang di rumah aku tidak mengenal pemuda itu. Aku juga tidak
tahu kalau ada sesi tanya-jawab, atau sebenarnya memang tidak ada dan dia hanya
spontan saja. Dengan suara yang lugu dia menghunjam pertanyaan. “Mas itu
ilmunya masyaallah sekali. Saya jadi ingin tahu lebih dalam. Kalau mau coba
cari tahu lebih lanjut, kira-kira baca di kitab apa ya, Mas?”
Aku diam sejuta bahasa. Tidak tahu apakah
orang-orang bisa memotret betapa tiba-tiba tubuhku membeku dan lidahku kelu. Freeze.
Kutelan ludah – kalau mungkin aku ingin menelan danau sekalian. Bagaimana
mungkin aku menjawab dari internet, sedangkan dia sendiri menanyakan kitab apa.
Lebih mustahil lagi untuk membual. Seketika aku teringat pelajaran Tarikh
Islam, tapi judul buku Tarikh Islam itu apa, aku malah lupa. Apalagi isinya.
Semua hafalan seakan ikut masuk ke kardus bersama kitabnya. Aku bersikeras
mengingat tapi tidak berhasil. Hanya menambah kesan bingung dari jamaah.
Dengan lisan yang terbata-bata, Aku hanya bisa
menjawab, “Sa ... Saya lu ... lu ... lupa. Saya ti ... tidak tahu. Nanti kalau
ingat saya kabari.”
Kuucapkan salam setelah itu, jamaah berangsur
pulang sambil membawa senyum dan nasi berkat ke rumah. Bagi jamaah barang kali
kejadian itu tidak lebih dari satu menit, tapi bagiku itu terasa satu tahun
lebih. Aku terkurung dalam dimensi ruang-waktu yang panjang. Gugup sekali.
Sebuah momen kecil yang tidak bisa kulupakan. Langit-langit kamarku jadi penuh
gambar. Renungan mengisi tarikan napas. Aku ingin mengutuk magnet kasur dan
kemalasanku selama ini. Ada gejolak kecewa yang amat dalam pada diri sendiri.
Aku sama seperti santri yang lainnya, selalu
merasakan berat saat tanggal liburan habis, tapi kali ini tidak sama. Sungguh,
kalau bisa aku ingin pulang ke pondok saat ini juga. Aku malu. Kenalkan, Aku
Fatih, santri kelas 5B dari Gontor Pusat yang selalu mendapat nilai tinggi! Malam
ini aku dibuat sadar, bahwa ternyata tingkat keilmuanku masih rendah sekali.
***
Ditelan hangat cahaya mentari, di tengah keramaian
yang suci
Kehidupan yang tak pernah terjadi, di belahan lain
di bumi ini
Dendangan nasyid legendaris itu dibawakan angin yang berhembus. Suara itu
singgah di pelataran rayon hingga menyusupi kamar-kamarnya. Langkah para santri
yang turun dari tangga masjid mengundang pagi. Kabut yang masih menyelimuti
disibak mereka. Butiran embun yang bertengger di ranting dan dedaunan menadah
sinar mentari.
Ketika suara saling sahut kosakata berhenti beberapa saat yang lalu, anggota
rayonku mulai sibuk beraktivitas pagi. Ada yang membawa ember dan buntelannya,
ada yang menenteng sepatu futsal, ada yang memegang kertas ukuran A7 dan
pergi untuk memenuhi panggilan dari berbagai bagian OPPM.
Di tengah dinamika itu, Aku hanya bisa termangu. Berdiri bersandar ke pagar
rayon sambil menatap entah apa. Hatiku merasa kosong dan berharap ada sesuatu
yang bisa mengisinya. Namun, kepalaku penuh pertanyaan. Berisik ingin menyoal
banyak hal. Berharap ada yang bisa memuaskan haus akalku dan meredam
gejolaknya. Di mana aku bisa mereguk air yang memuaskan itu? Ke mana aku harus
mencari jawaban atas gejolak hatiku?
Lagu nasyid tadi masih menggema. Kali ini ia berusaha mengetuk telinga
supaya bisa menjamah hatiku. Kuizinkan suaranya singgah dan merambah setiap
sudut sanubari. Andai semua pertanyaanku mendapat jawaban hanya dari mendengar
nasyid, pasti tidak akan jadi serumit ini. Kutarik napas dan berdoa, semoga
ilmuku tidak hanya tempelan nilai di kertas, tapi dia juga dapat jadi nyala
api, yang menghangatkan lagi mencerahkan.
Semoga harum ini kan tetap terjaga di gejolak
kehidupan dunia ...
Jatuh bangun, segala usahanya, kemurnian indah
untuk pendidikan ...
***
Bosan, bosan sekali. Setelah menahan jenuh dari jam pelajaran pertama,
sekarang aku merasa tidak kuat lagi. Yang ada di hadapanku kali ini adalah wali
kelasku yang sedang antusias mengajar mata pelajaran muthala’ah. Ustaz
Sajid Mujaddid sesungguhnya bukan orang yang membosankan. Cara mengajarnya
sangat menarik. Sifatnya yang energik dan jenaka memberi getaran positif di
kelas. Aura kharismatik terpancar dari sosoknya yang ekspresif, interaktif, dan
inspiratif. Penampilannya pun selalu rapi. Rambutnya klimis dan parfumnya
semerbak. Tidak pernah absen mengenakan jas dan dasi yang warnanya serasi.
Setelan yang padu dengan badannya yang tinggi dan tegap.
Kelasku selalu ramai kalau beliau mengajar. Tidak bisa dipungkiri beliau
adalah guru yang selalu kami nanti-nanti kehadirannya. Namun, aneh aku bisa
merasa bosan di hadapan sosok Ustaz Sajid. Mungkin karena hatiku mengharapkan
sesuatu yang lebih.
“Nakhtatim bil hamdalah!” Jam pelajaran keempat telah sampai pada
penutupnya. Teman sekelas serentak berhamdalah. Semangat mereka memenuhi ruang
kelas hingga keluar untuk menggetarkan seluruh gedung Yaqzhah. “Sebelum Ustaz
keluar, hal yujad as-sual? ‘an ayyi syain kaan ... tafadhal!”
Seketika jantungku berdegup kencang. Seperti ada dorongan dari dalam hati
untuk menumpahkan segala pertanyaan yang selama ini bergejolak. Aku tidak
menahan diri untuk tidak mengangkat tangan. Dengan bahasa Arab fasih yang
dibalut dengan tutur sopan khas Indonesia. Kulesatkan apa yang selama ini
tertahan, “Ustaz, kenapa kita harus belajar mata pelajaran muthala’ah?”
Teman-teman sekelas serempak melirikku keheranan. Pertama karena bel istirahat
sebentar lagi berbunyi. Kedua, mereka mungkin berpikir “pertanyaan macam apa
itu?”.
Ustaz Sajid dengan tenang memberi jawaban. Dari arah kursi guru, wali
kelasku bergerak ke arah tengah. Bahasa Arabnya fasih sekali. Ketika bertutur
dengan bahasa Arab, beliau seakan melepaskan sesaat lidah Indonesianya dan
menggantinya dengan lidah versi Arab. “Dari muthala’ah kita dapat
mengembangkan kemampuan bahasa Arab kita melalui kosakata-kosakata baru yang
ada di kisah-kisahnya. Kita juga bisa mendapat contoh pengaplikasian dari
kaidah-kaidah yang kita dapat di pelajaran nahwu dalam sebuah cerita-cerita
utuh berbahasa Arab dan ditulis juga oleh tangan penutur bahasa Arab itu
sendiri.”
Aku terpana. Teman-teman kelasku mengangguk setelah mendengarkan bagaimana
beliau memberi penjelasan. Namun, aku masih merasa belum puas. Tanpa
mempedulikan jam pelajaran atau jam istirahat dan warna udang rebus di wajah
teman-temanku, Aku kembali bertanya, “Kenapa antum harus mengajar muthala’ah
dan insya’ sekaligus?”
Dia merespons dengan jawaban yang tidak kuduga. “Kalau orang pintar adalah
dia yang bisa menjawab pertanyaan dengan tepat, maka orang cerdas adalah dia
yang bisa menanyakan pertanyaan dengan cermat.” Ustaz Sajid menyungging
senyuman yang membuatku ikut berbinar-binar. Kharismanya terpancar hingga
bangku bagian belakang. “Kecakapan bahasa itu ada mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis. Di pelajaran muthala’ah kita belajar membaca
bahasa Arab dengan baik, di pelajaran Insya’ kita belajar menulis
karangan berbahasa Arab dengan baik. Seberapa baik kita bisa membaca, sebaik
itu pula kita bisa menulis. Dua pelajaran ini punya keterhubungan, Fatih. Baik,
cukup ya ....”
Kepalaku belum pernah merasakan sensasi seantusias dan sepuas ini. Saking
girangnya, aku mengangkat lagi tanganku tanpa sadar kalau teman-teman sekitarku
sudah berubah menjadi singa yang mengamuk karena waktu istirahatnya terancam.
Demi melihatku yang kesurupan jin tukang tanya, dan teman-temanku menjelma
garang, alih-alih marah Ustaz Sajid malah tertawa ringan. “Kalau kamu masih
punya pertanyaan, Fatih, setelah ini ikut saya. Kita mengobrol di luar, ya.”
Bel berbunyi, kelas dibubarkan. Teman-temanku melempar tatapan sinis. Aku
tidak peduli. Ustaz Sajid mengajakku duduk di bangku depan gedung. Bangku semen
itu mengelilingi pohon yang menjulang setinggi gedung Yaqzhah. Siapapun yang
duduk di bawahnya akan merasakan teduh atau merasakan daun hinggap di kepalanya
ketika angin lewat.
“Jadi, kamu ada pertanyaan apa, Fatih?”
Aku ambil jeda untuk berpikir. Sebenarnya yang ingin kutumpahkan bukanlah
pertanyaan. Karena pertanyaan mungkin tidak pernah habis. Yang kutanyakan tadi
muncul hanya karena selama ini Aku memendam gejolak yang menyala-nyala. Saat
mendapati Ustaz Sajid ternyata adalah sosok yang sanggup melawan gejolak itu
dariku. Aku jadi keranjingan ingin bertanya banyak-banyak. Mungkin yang
sebenarnya aku ingin adalah mengungkapkan keresahan yang selama ini berisik di
hatiku dan butuh diredamkan. Akhirnya, kuceritakan apa yang terjadi saat
liburan. Ustaz Sajid mendengarkan khidmat. “Saya merasa kurang familiar dengan
kitab-kitab itu, Ustaz. Saya pun tidak bisa jawab. Memangnya di pondok kita ini
tidak diajarkan yang seperti itu, ya?”
Ustaz Sajid tertawa renyah mendengar pertanyaanku. “Fatih, memang yang
selama ini kamu pelajari bukan kitab ...?”
“Ee ... iya itu benar kitab sih, Ustaz, tapi maksud saya yang ....”
“Saya paham, saya paham. Sekarang saya tanya balik. Sebenarnya
ketidaktahuanmu itu sebabnya karena pondok memang tidak mengajarkan, atau kamu
saja yang masih tidur ketika penjelasan? Atau kamu belum benar-benar kenal buku-buku
pelajaranmu, hanya dibuka sekilas-sekilas saja untuk dihafal saat ujian?” Senyum
kharismatiknya kembali terbit. Aku pun tertegun. “Coba setelah ini, kamu ulas
lagi kitab-kitab yang ada. Baca dari awal, dari biografi penulisnya, lalu
pengantarnya. Coba kamu hayati lagi, Fatih ....”
Kira-kira apa sebutan glorifikatif yang cocok untuk Ustaz Sajid? Malaikat?
Pahlawan? Ah, mungkin terlalu berlebihan. Pasti juga beliau tidak suka
disebut-sebut seperti itu. Mengusik keikhlasan. Tapi aku tidak bohong kalau
beliau telah berhasil menyalakan pijar api di dadaku, sesuatu yang hilang
selama ini. Tidak ada lagi hati yang hampa, tidak ada lagi kepala yang bingung.
Sejak saat itu, aku menjadi semakin giat mengurusi rayon, semakin rajin memperhatikan pelajaran di
kelas. Semangatku kembali membara untuk menghidupi segala aktivitas di pondok.
Benarlah kata Ustaz Sajid. Aku saja yang masih belum mengenal apalagi
menghayati kitab yang setiap pagi dibawa oleh tanganku ke kelas. Hari-hari ini
aku gemar sekali membaca mukadimah kitab-kitab. Kata Ustaz Sajid, ‘Sirrul
Kutubi fil Muqaddimah’. Aku pun jadi lebih sering membaca diktat di luar
jam kelas. Aku sadar kalau sungguh terlalu cepat seratus tahun untuk
menghakimi.
Bertahap kuhayati sedikit lebih jauh buku-buku pelajaranku sendiri. Kitab Taysir
Musthalahil Hadist dari Dr. Mahmud Thahan, ulama ahli hadist kontemporer
asal Syiria. Dari Bidayatul Mujtahid, aku dapat mengenal sedikit kenal siapa
sebenarnya Ibnu Rusyd, dan jadi semakin penasaran tentangnya. Sampai Bulughul
Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, kunikmati tarjamah (biografi)
tentang sang penulis di lembaran awal buku. Lumayan memuaskan. Namun, tidak ada
yang lain, kah? Kalau aku mau lebih banyak aku harus ke mana?
Gejolak kembali muncul. Memang tidak menggoncang kencang seperti
sebelumnya, tapi cukup menggetarkan. Hanya ada satu pribadi yang kupercaya bisa
menjawab rasa penasaranku. Siapa lagi kalau bukan Ustaz Sajid. Aku akan
bertanya saat belajar malam.
***
Langit kota Ponorogo sedang menawan malam ini. Bintang-bintang menghiasinya
sejauh mata memandang. Di bawah atap sang langit, para santri sibuk bergelut
dengan pelajaran. Di depan gedung Al-Azhar, anak-anak kelas lima tengah
berjuang melawan lelah mengurusi asrama seharian untuk memperjuangkan nasib
akademiknya masing-masing. Para guru mengisi meja-meja yang berfungsi seperti
pos. Kalau ada yang ingin bertanya atau setor hafalan, bisa mendatangi pos-pos
yang tersedia. Tempat belajar kami direkayasa sedemikian rupa untuk menjadi
lingkungan yang mendukung pembelajaran. Sebagian kelas bergumul di karpet
inventaris kelas, ada juga kelas yang punya asupan kopi susu hangat untuk
anggotanya.
Aku yang sedang gandrung akan pertanyaan tanpa basa-basi mendatangi wali
kelasku. Bukan setor hafalan memang, bukan tanya tentang pelajaran juga
sebenarnya. Cuma aku tidak bisa menahan gejolak hati yang meronta-ronta ini.
Semoga saja beliau terima.
“Ustaz, saya ada pertanyaan lagi,” ucapku. Mata wali kelasku seperti
memindaiku dari atas ke bawah. Dia seperti langsung tahu apa yang sedang
kurasakan. Aku pun dipersilakannya untuk duduk di sampingnya (lagi).
Ustaz Sajid tersenyum dengan tenang, seakan-akan dia siap merespons
pertanyaan-pertanyaanku, sebanyak apapun itu. “Bagaimana, Fatih. Jadi, ada
pertanyaan apa lagi?”
“Benar kata antum, Ustaz. Saya sudah berusaha untuk lebih menghayati
kitab-kitab yang dipelajari di kelas, tapi ... memangnya kita tidak diajari
lagi kitab-kitab selain itu?”
Ustaz Sajid meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya. “Walau sudah
kelas lima, Fatih, perjalananmu itu masih panjang. Masih ada banyak hal di pondok
ini yang belum kamu tahu. Sejak kelas satu, pondok memberikan santri-santrinya
banyak kunci untuk membuka berbagai hal di berbagai bidang. Dan salah satu kunci
keilmuan yang terpenting baru akan diberikan saat santri sudah duduk di kelas
lima. Jadi, kamu itu bukannya tidak diajari membuka Kitab Turast, tapi belum.”
“Lalu kapan saya diajari itu, Ustaz?”
“Setelah ini ....”
– Bersambung
0 Komentar