Header Ads Widget

Darussalam Catering

Iftah! – Chapter 1

 

Karya: Ihya

Aku tidak mengerti lagi. Langit pondok hari ini sangat indah, masjid dan gedung-gedung di sekitarnya juga tampak megah, nilai akhir di kasyfu darajat yang tengah kupegang pun memuaskan, tapi entah kenapa Aku merasa muram, sempit, dan kerdil. Entah berapa lama masa yang perlu kutempuh untuk mencapai rayon, Aku tidak tahu, setiap langkah seperti seabad.

Suara derap langkah santri mencipta gemuruh pelan. Jalanan dipenuhi warna-warni kemeja dan raut wajah. Sebagian bergurau, sebagian termenung, tidak sedikit juga yang hanya datar. Berbeda-beda. Hanya satu yang menyamakan, tangan mereka semua sedang membawa kasyfu darajat.

Ia adalah selembar kertas dengan kolom yang berisi daftar pelajaran dan angka-angka arab. Seluruh santri akan mendapatkannya setiap semester. Saat-saat menanti pembagian kasyfu darajat adalah saat yang mendebarkan. Bagaimana tidak, ia laksana rapor amal perbuatan yang menentukan arah takdir seorang santri ke depannya. Waktu seakan berjalan teramat pelan setiap kali wali kelas masuk ke ruang kelas sambil membawa setumpuk amplop coklat yang masih menyegel nilai hasil belajar satu semester ke belakang. Harap-harap cemas tidak dapat tertahan di wajah anggota kelas, seperti ada rahasia jagat yang akan tersingkap.

Semestinya kali ini, di bawah langit Gontor yang sedang cerah-cerahnya, aku sumringah sebagaimana santri pada umumnya ketika meraih nilai yang mentereng. Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda. Berturut-turut aku menduduki kelas B (tertinggi) sejak kelas satu. Sudah lima tahun aku menjadi santri dan aku selalu mendapat nilai sempurna. Awalnya, semua pencapaian itu terlihat sangat membanggakan. Karena predikat itu, teman-teman pun jadi segan. Tahun demi tahun, perlahan aku menjadi jemawa, merasa bahwa itu semua sudah cukup. Aku merasa hebat. Ternyata tidak.

Satu hal yang kutahu, aku benar-benar ingin menyendiri sekarang. Saat sudah sampai rayonku, Saudi 1 Lantai 2, aku langsung menumbangkan badanku ke atas lantai. Tanpa mengganti pakaian atau merapikan buku dulu. Andaikan bisa, Aku ingin tidur saja, tanpa ada yang membangunkan, tidur sampai pagi lagi. Bukan karena tubuhku lelah, tapi ... entahlah. Aku hanya ingin berdiam, menatap langit-langit kamar, merenungi perjalananku di pondok yang sudah hampir berakhir. Perasaan itu mengalir di denyut nadi dan merambat ke seluruh tubuh seiring paru-paru mengembang dan mengempis. Tarikan napas berat mengembalikan ingatan atas satu peristiwa yang berhasil menampar sadarku. Ingatan yang membuat hariku mendung.

***

Kasur ‘springbed’ di rumah memang tidak sepantasnya dibandingkan dengan kasur lantai di pondok. Karam di kasur empuk rumah tentu merupakan sebuah utopia yang didambakan para santri. Kenikmatan semacam ini hanya dapat dirasakan enam puluh hari setiap tahunnya. Sepuluh hari untuk liburan awal tahun, lima puluh di akhir tahun. Sisanya kami, para santri, tidur di atas kebersahajaan.

Momen langka ini mana mungkin kulewatkan. Apalagi ini liburan terakhirku. Tanganku merentang ke kanan, ke kiri, lalu ke atas. Sesekali melingkar ke guling. Kepala pun tenggelam ke kedalaman bantal. Apapun yang kulakukan, scrolling, gaming, sampai sleeping, semuanya terhelat di atas kasur. Ia menjelma magnet yang daya tariknya teramat kuat. Aku tidak berdaya di atasnya. Untuk bisa melepaskan diri, harus ada daya tarik lain yang lebih kuat. Namun ini momen langka, mana mungkin aku mau melepaskan diri dari kasur surgawi ini.  Ah, nikmatnya ...

“Fatih ...! Sini, Nak.”

Suara itu merambat dari ruang makan hingga mengetuk pintu kamarku. Berat sekali badanku. Aku harus bangkit, melepaskan perekat di kasur ini. Selain panggilan Tuhan, panggilan orangtua juga tidak bisa ditolak.

Tidak sangka hari sudah gelap sempurna. Di dinding kamarku yang tidak transparan, kulewatkan proses matahari terbenam. Di meja makan sudah ada orangtuaku. Dua orang yang jarang kutemui selama di pondok, hanya dapat berhubungan lewat telepon, itu pun seringnya kalau akhir bulan saja.

Ibu masygul membawa makanan dari dapur, Ayah (yang tidak sedang dinas) menyambut piring-piring dan menatanya di meja makan. Aku merapat ke salah satu kursi. Seketika liurku hampir jebol. Bagaimana tidak, sepiring rendang hangat tersaji siap disantap. Kuahnya tampak berkilau terkena cahaya. Nasi yang ditanak Ibu pun tercium harum.

“Wah, rendang, Bu?”

Setelah semuanya siap, Ayah duduk dan Ibu menyusul. “Dimasak spesial buat anak kebanggaan Ayah yang selalu berprestasi di pondok.”

Ibu singkat menambahkan, “Mumpung kamu di rumah. Ayo makan.”

Kami menyantap makan malam penuh kehangatan dengan lauk yang sulit didapati di pondok. Kuhayati sepenuh hati setiap suapan rendang yang mendarat di mulutku. Kukunyah perlahan, membiarkan cita rasanya sempurna dijamah oleh lidah. Tidak terasa piringku sudah tandas. Tanpa perlu isyarat, kuambil porsi selanjutnya. Ayah dan Ibu tersenyum saja. Satu piring lagi habis, aku tidak segan mengambil porsi selanjutnya. Aku masih kuat memakan satu piring lagi.

Saat aku sedang asyik-asyiknya memakan rendang, Ayah – yang jelas tidak makan sebrutal aku – memulai obrolan. “Nanti pulang ke pondok tanggal berapa?”

“Tanggal 15, Yah, nanti kumpul sama konsulat di alun-alun,” jawabku sambil sibuk menghabiskan apa yang tidak bisa dihabiskan Ayah dan Ibu. Nyam, nyam, nyam.

“Lalu liburan lagi kapan?” Sekarang Ibu yang bertanya. Tepat saat pertanyaan itu keluar dari lisan Ibu, rendangku sudah habis.

“Ini liburan terakhir, Bu.”

“Terakhir?” Ayah belum paham. Sebenarnya aku sudah sering menjelaskan, tapi maklum saja, Ayah mungkin lupa.

“Iya, liburan depan sudah tidak pulang, kelas lima mukim, jaga pondok.”

“Lalu?”

“Nanti pulangnya kalau sudah lulus, Yah.”

“Sudah besar anak Ayah ternyata, ya. Sudah mau lulus.” Ayahku mengangguk-angguk sambil tersenyum antusias. “Nanti kalau sudah lulus, kuliah di Al-Azhar, ya! Atau mau di Yaman? Atau Maroko? Turki? Atau mau ke Pakistan?”

“Iya, Yah, semoga saja bisa. Nanti kita lihat.” Sejujurnya aku belum punya banyak informasi tentang kuliah di negara-negara itu. Aku masih ingin menikmati hari-hariku – di kasur empuk surgawi – tanpa memusingkan diri dengan kuliah. Setidaknya sampai lulus nanti. Aku hanya bisa merespons optimisme Ayah dengan afirmasi positif.

Kalau Ayah bertanya tentang masa depan, maka Ibu bertanya tentang masa lalu. “Kemarin ujian bagaimana?”

“Mudah, sih. Biasa saja. Hampir semuanya bisa Fatih jawab.”

“Mantap. Kamu harus rajin belajar terus, ya.” Ayah mengacungkan jempol lalu bersama Ibu berdiri membereskan meja. Piring-piring kotorku dibawa mereka ke dapur. Aku mengiyakan saja ucapan Ayah tadi. Semuanya terlihat biasa saja, sepanjang libur ini, sejauh ini. Sampai Ayah tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, iya. Tadi Pak Wildan, Imam surau, minta Fatih buat ngisi ceramah maulid di surau. Bisa, kan?”

Hah? Aku terkaget dan membisu.

“Pasti bisalah, anak Ayah.” Ayah mendekat dan menepuk bahuku. “Tadi Ayah juga sudah mengiyakan soalnya. Nanti disiapkan saja, ya.”

Celaka! Hal yang selalu kuhindari tiba-tiba datang dan tak terelakkan. Aku seakan raja yang termanjakan di satu petak papan catur dan mendadak terkunci sekakmat. Tidak ada pilihan selain mengiyakan.

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku diminta untuk mengisi ceramah di surau. Di tahun-tahun sebelumnya Aku sudah sempat mengisi kultum Ramadan. Itu pun setelah berusaha menghindar berkali-kali.  Aku selalu merasa kurang percaya diri, Aku merasa belum layak. Setiap kali diminta mengisi di surau, Ayah selalu bilang kalau kesempatan itu untuk latihan. Itu setidaknya sedikit meringankan, karena pasti ada ruang untuk salah saat latihan. Dengan i’dad pidato seadanya, Aku memberanikan diri untuk maju. Lagipula saat itu Aku masih sangat belia, jamaah pun akan menganggapku seperti anak kecil yang sedang latihan khutbah. Jamaah saat itu hanya mengangguk-angguk saja. Sebagian malah mengantuk.

Kali ini berbeda. Aku sudah semakin dewasa. Di mata masyarakat Aku terpandang sudah matang. Lima tahun sekolah di pesantren pastilah menimbulkan ekspektasi di benak mereka. Kalau aku masih mengelak-ngelak mau ditaruh mana wajah almamater, mau ditaruh mana status santri yang kusandang. Sekarang akan terasa sangat tidak pantas kalau aku menolak. Tidak ada pilihan lain, aku harus menerimanya.

Beruntungnya aku sudah mulai terbiasa. Menjadi pengurus asrama alias mudabbir di setengah tahun ini membuatku terbiasa berbicara di depan orang banyak. Cukup satu jam, kutulis poin-poin yang perlu disampaikan seputar Maulid. Berbagai macam laman dari internet kujelajahi untuk menambah referensi untukku. I’dad siap. Sederhana sekali. Di sini tidak perlu minta stampel dari Bagian Pengajaran juga.

Malam yang dijanjikan tiba. Aku merasa penuh percaya diri. Setelah salat isya dan zikir bersama, jamaah mulai duduk melingkar. Mas Mustofa menyiapkan meja lantai dan mic. Setelah dicek suaranya, Pak Wildan mempersilakanku untuk maju. Ayah dan Ibu juga hadir menyaksikan.

Mudah saja. Aku berceramah saja ala-ala mudabbir yang kesurupan motivator bermulut manis. Apa yang kudapati di internet seputar Maulid Nabi terucap tanpa hambatan. Semua itu mengalir terus hingga hampir setengah jam. Ceramah kuakhiri. Semuanya terasa lancar, hingga ada seorang jamaah yang mengangkat tangan. Dia tampak lebih tua beberapa tahun dariku. Karena jarang di rumah aku tidak mengenal pemuda itu. Aku juga tidak tahu kalau ada sesi tanya-jawab, atau sebenarnya memang tidak ada dan dia hanya spontan saja. Dengan suara yang lugu dia menghunjam pertanyaan. “Mas itu ilmunya masyaallah sekali. Saya jadi ingin tahu lebih dalam. Kalau mau coba cari tahu lebih lanjut, kira-kira baca di kitab apa ya, Mas?”

Aku diam sejuta bahasa. Tidak tahu apakah orang-orang bisa memotret betapa tiba-tiba tubuhku membeku dan lidahku kelu. Freeze. Kutelan ludah – kalau mungkin aku ingin menelan danau sekalian. Bagaimana mungkin aku menjawab dari internet, sedangkan dia sendiri menanyakan kitab apa. Lebih mustahil lagi untuk membual. Seketika aku teringat pelajaran Tarikh Islam, tapi judul buku Tarikh Islam itu apa, aku malah lupa. Apalagi isinya. Semua hafalan seakan ikut masuk ke kardus bersama kitabnya. Aku bersikeras mengingat tapi tidak berhasil. Hanya menambah kesan bingung dari jamaah.

Dengan lisan yang terbata-bata, Aku hanya bisa menjawab, “Sa ... Saya lu ... lu ... lupa. Saya ti ... tidak tahu. Nanti kalau ingat saya kabari.”

Kuucapkan salam setelah itu, jamaah berangsur pulang sambil membawa senyum dan nasi berkat ke rumah. Bagi jamaah barang kali kejadian itu tidak lebih dari satu menit, tapi bagiku itu terasa satu tahun lebih. Aku terkurung dalam dimensi ruang-waktu yang panjang. Gugup sekali. Sebuah momen kecil yang tidak bisa kulupakan. Langit-langit kamarku jadi penuh gambar. Renungan mengisi tarikan napas. Aku ingin mengutuk magnet kasur dan kemalasanku selama ini. Ada gejolak kecewa yang amat dalam pada diri sendiri.

Aku sama seperti santri yang lainnya, selalu merasakan berat saat tanggal liburan habis, tapi kali ini tidak sama. Sungguh, kalau bisa aku ingin pulang ke pondok saat ini juga. Aku malu. Kenalkan, Aku Fatih, santri kelas 5B dari Gontor Pusat yang selalu mendapat nilai tinggi! Malam ini aku dibuat sadar, bahwa ternyata tingkat keilmuanku masih rendah sekali.

***

Ditelan hangat cahaya mentari, di tengah keramaian yang suci

Kehidupan yang tak pernah terjadi, di belahan lain di bumi ini

 

Dendangan nasyid legendaris itu dibawakan angin yang berhembus. Suara itu singgah di pelataran rayon hingga menyusupi kamar-kamarnya. Langkah para santri yang turun dari tangga masjid mengundang pagi. Kabut yang masih menyelimuti disibak mereka. Butiran embun yang bertengger di ranting dan dedaunan menadah sinar mentari.

Ketika suara saling sahut kosakata berhenti beberapa saat yang lalu, anggota rayonku mulai sibuk beraktivitas pagi. Ada yang membawa ember dan buntelannya, ada yang menenteng sepatu futsal, ada yang memegang kertas ukuran A7 dan pergi untuk memenuhi panggilan dari berbagai bagian OPPM.

Di tengah dinamika itu, Aku hanya bisa termangu. Berdiri bersandar ke pagar rayon sambil menatap entah apa. Hatiku merasa kosong dan berharap ada sesuatu yang bisa mengisinya. Namun, kepalaku penuh pertanyaan. Berisik ingin menyoal banyak hal. Berharap ada yang bisa memuaskan haus akalku dan meredam gejolaknya. Di mana aku bisa mereguk air yang memuaskan itu? Ke mana aku harus mencari jawaban atas gejolak hatiku?

Lagu nasyid tadi masih menggema. Kali ini ia berusaha mengetuk telinga supaya bisa menjamah hatiku. Kuizinkan suaranya singgah dan merambah setiap sudut sanubari. Andai semua pertanyaanku mendapat jawaban hanya dari mendengar nasyid, pasti tidak akan jadi serumit ini. Kutarik napas dan berdoa, semoga ilmuku tidak hanya tempelan nilai di kertas, tapi dia juga dapat jadi nyala api, yang menghangatkan lagi mencerahkan.

 

Semoga harum ini kan tetap terjaga di gejolak kehidupan dunia ...

Jatuh bangun, segala usahanya, kemurnian indah untuk pendidikan ...    

***

Bosan, bosan sekali. Setelah menahan jenuh dari jam pelajaran pertama, sekarang aku merasa tidak kuat lagi. Yang ada di hadapanku kali ini adalah wali kelasku yang sedang antusias mengajar mata pelajaran muthala’ah. Ustaz Sajid Mujaddid sesungguhnya bukan orang yang membosankan. Cara mengajarnya sangat menarik. Sifatnya yang energik dan jenaka memberi getaran positif di kelas. Aura kharismatik terpancar dari sosoknya yang ekspresif, interaktif, dan inspiratif. Penampilannya pun selalu rapi. Rambutnya klimis dan parfumnya semerbak. Tidak pernah absen mengenakan jas dan dasi yang warnanya serasi. Setelan yang padu dengan badannya yang tinggi dan tegap.

Kelasku selalu ramai kalau beliau mengajar. Tidak bisa dipungkiri beliau adalah guru yang selalu kami nanti-nanti kehadirannya. Namun, aneh aku bisa merasa bosan di hadapan sosok Ustaz Sajid. Mungkin karena hatiku mengharapkan sesuatu yang lebih.

“Nakhtatim bil hamdalah!” Jam pelajaran keempat telah sampai pada penutupnya. Teman sekelas serentak berhamdalah. Semangat mereka memenuhi ruang kelas hingga keluar untuk menggetarkan seluruh gedung Yaqzhah. “Sebelum Ustaz keluar, hal yujad as-sual? ‘an ayyi syain kaan ... tafadhal!”

Seketika jantungku berdegup kencang. Seperti ada dorongan dari dalam hati untuk menumpahkan segala pertanyaan yang selama ini bergejolak. Aku tidak menahan diri untuk tidak mengangkat tangan. Dengan bahasa Arab fasih yang dibalut dengan tutur sopan khas Indonesia. Kulesatkan apa yang selama ini tertahan, “Ustaz, kenapa kita harus belajar mata pelajaran muthala’ah?”

Teman-teman sekelas serempak melirikku keheranan. Pertama karena bel istirahat sebentar lagi berbunyi. Kedua, mereka mungkin berpikir “pertanyaan macam apa itu?”.

Ustaz Sajid dengan tenang memberi jawaban. Dari arah kursi guru, wali kelasku bergerak ke arah tengah. Bahasa Arabnya fasih sekali. Ketika bertutur dengan bahasa Arab, beliau seakan melepaskan sesaat lidah Indonesianya dan menggantinya dengan lidah versi Arab. “Dari muthala’ah kita dapat mengembangkan kemampuan bahasa Arab kita melalui kosakata-kosakata baru yang ada di kisah-kisahnya. Kita juga bisa mendapat contoh pengaplikasian dari kaidah-kaidah yang kita dapat di pelajaran nahwu dalam sebuah cerita-cerita utuh berbahasa Arab dan ditulis juga oleh tangan penutur bahasa Arab itu sendiri.”

Aku terpana. Teman-teman kelasku mengangguk setelah mendengarkan bagaimana beliau memberi penjelasan. Namun, aku masih merasa belum puas. Tanpa mempedulikan jam pelajaran atau jam istirahat dan warna udang rebus di wajah teman-temanku, Aku kembali bertanya, “Kenapa antum harus mengajar muthala’ah dan insya’ sekaligus?”

Dia merespons dengan jawaban yang tidak kuduga. “Kalau orang pintar adalah dia yang bisa menjawab pertanyaan dengan tepat, maka orang cerdas adalah dia yang bisa menanyakan pertanyaan dengan cermat.” Ustaz Sajid menyungging senyuman yang membuatku ikut berbinar-binar. Kharismanya terpancar hingga bangku bagian belakang. “Kecakapan bahasa itu ada mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Di pelajaran muthala’ah kita belajar membaca bahasa Arab dengan baik, di pelajaran Insya’ kita belajar menulis karangan berbahasa Arab dengan baik. Seberapa baik kita bisa membaca, sebaik itu pula kita bisa menulis. Dua pelajaran ini punya keterhubungan, Fatih. Baik, cukup ya ....”

Kepalaku belum pernah merasakan sensasi seantusias dan sepuas ini. Saking girangnya, aku mengangkat lagi tanganku tanpa sadar kalau teman-teman sekitarku sudah berubah menjadi singa yang mengamuk karena waktu istirahatnya terancam.

Demi melihatku yang kesurupan jin tukang tanya, dan teman-temanku menjelma garang, alih-alih marah Ustaz Sajid malah tertawa ringan. “Kalau kamu masih punya pertanyaan, Fatih, setelah ini ikut saya. Kita mengobrol di luar, ya.”

Bel berbunyi, kelas dibubarkan. Teman-temanku melempar tatapan sinis. Aku tidak peduli. Ustaz Sajid mengajakku duduk di bangku depan gedung. Bangku semen itu mengelilingi pohon yang menjulang setinggi gedung Yaqzhah. Siapapun yang duduk di bawahnya akan merasakan teduh atau merasakan daun hinggap di kepalanya ketika angin lewat.

“Jadi, kamu ada pertanyaan apa, Fatih?”

Aku ambil jeda untuk berpikir. Sebenarnya yang ingin kutumpahkan bukanlah pertanyaan. Karena pertanyaan mungkin tidak pernah habis. Yang kutanyakan tadi muncul hanya karena selama ini Aku memendam gejolak yang menyala-nyala. Saat mendapati Ustaz Sajid ternyata adalah sosok yang sanggup melawan gejolak itu dariku. Aku jadi keranjingan ingin bertanya banyak-banyak. Mungkin yang sebenarnya aku ingin adalah mengungkapkan keresahan yang selama ini berisik di hatiku dan butuh diredamkan. Akhirnya, kuceritakan apa yang terjadi saat liburan. Ustaz Sajid mendengarkan khidmat. “Saya merasa kurang familiar dengan kitab-kitab itu, Ustaz. Saya pun tidak bisa jawab. Memangnya di pondok kita ini tidak diajarkan yang seperti itu, ya?”

Ustaz Sajid tertawa renyah mendengar pertanyaanku. “Fatih, memang yang selama ini kamu pelajari bukan kitab ...?”

“Ee ... iya itu benar kitab sih, Ustaz, tapi maksud saya yang ....”

“Saya paham, saya paham. Sekarang saya tanya balik. Sebenarnya ketidaktahuanmu itu sebabnya karena pondok memang tidak mengajarkan, atau kamu saja yang masih tidur ketika penjelasan? Atau kamu belum benar-benar kenal buku-buku pelajaranmu, hanya dibuka sekilas-sekilas saja untuk dihafal saat ujian?” Senyum kharismatiknya kembali terbit. Aku pun tertegun. “Coba setelah ini, kamu ulas lagi kitab-kitab yang ada. Baca dari awal, dari biografi penulisnya, lalu pengantarnya. Coba kamu hayati lagi, Fatih ....”

Kira-kira apa sebutan glorifikatif yang cocok untuk Ustaz Sajid? Malaikat? Pahlawan? Ah, mungkin terlalu berlebihan. Pasti juga beliau tidak suka disebut-sebut seperti itu. Mengusik keikhlasan. Tapi aku tidak bohong kalau beliau telah berhasil menyalakan pijar api di dadaku, sesuatu yang hilang selama ini. Tidak ada lagi hati yang hampa, tidak ada lagi kepala yang bingung. Sejak saat itu, aku menjadi semakin giat mengurusi rayon,  semakin rajin memperhatikan pelajaran di kelas. Semangatku kembali membara untuk menghidupi segala aktivitas di pondok.

Benarlah kata Ustaz Sajid. Aku saja yang masih belum mengenal apalagi menghayati kitab yang setiap pagi dibawa oleh tanganku ke kelas. Hari-hari ini aku gemar sekali membaca mukadimah kitab-kitab. Kata Ustaz Sajid, ‘Sirrul Kutubi fil Muqaddimah’. Aku pun jadi lebih sering membaca diktat di luar jam kelas. Aku sadar kalau sungguh terlalu cepat seratus tahun untuk menghakimi.

Bertahap kuhayati sedikit lebih jauh buku-buku pelajaranku sendiri. Kitab Taysir Musthalahil Hadist dari Dr. Mahmud Thahan, ulama ahli hadist kontemporer asal Syiria. Dari Bidayatul Mujtahid, aku dapat mengenal sedikit kenal siapa sebenarnya Ibnu Rusyd, dan jadi semakin penasaran tentangnya. Sampai Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, kunikmati tarjamah (biografi) tentang sang penulis di lembaran awal buku. Lumayan memuaskan. Namun, tidak ada yang lain, kah? Kalau aku mau lebih banyak aku harus ke mana?

Gejolak kembali muncul. Memang tidak menggoncang kencang seperti sebelumnya, tapi cukup menggetarkan. Hanya ada satu pribadi yang kupercaya bisa menjawab rasa penasaranku. Siapa lagi kalau bukan Ustaz Sajid. Aku akan bertanya saat belajar malam.

***

Langit kota Ponorogo sedang menawan malam ini. Bintang-bintang menghiasinya sejauh mata memandang. Di bawah atap sang langit, para santri sibuk bergelut dengan pelajaran. Di depan gedung Al-Azhar, anak-anak kelas lima tengah berjuang melawan lelah mengurusi asrama seharian untuk memperjuangkan nasib akademiknya masing-masing. Para guru mengisi meja-meja yang berfungsi seperti pos. Kalau ada yang ingin bertanya atau setor hafalan, bisa mendatangi pos-pos yang tersedia. Tempat belajar kami direkayasa sedemikian rupa untuk menjadi lingkungan yang mendukung pembelajaran. Sebagian kelas bergumul di karpet inventaris kelas, ada juga kelas yang punya asupan kopi susu hangat untuk anggotanya.

Aku yang sedang gandrung akan pertanyaan tanpa basa-basi mendatangi wali kelasku. Bukan setor hafalan memang, bukan tanya tentang pelajaran juga sebenarnya. Cuma aku tidak bisa menahan gejolak hati yang meronta-ronta ini. Semoga saja beliau terima.

“Ustaz, saya ada pertanyaan lagi,” ucapku. Mata wali kelasku seperti memindaiku dari atas ke bawah. Dia seperti langsung tahu apa yang sedang kurasakan. Aku pun dipersilakannya untuk duduk di sampingnya (lagi).

Ustaz Sajid tersenyum dengan tenang, seakan-akan dia siap merespons pertanyaan-pertanyaanku, sebanyak apapun itu. “Bagaimana, Fatih. Jadi, ada pertanyaan apa lagi?”

“Benar kata antum, Ustaz. Saya sudah berusaha untuk lebih menghayati kitab-kitab yang dipelajari di kelas, tapi ... memangnya kita tidak diajari lagi kitab-kitab selain itu?”

Ustaz Sajid meraih gelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya. “Walau sudah kelas lima, Fatih, perjalananmu itu masih panjang. Masih ada banyak hal di pondok ini yang belum kamu tahu. Sejak kelas satu, pondok memberikan santri-santrinya banyak kunci untuk membuka berbagai hal di berbagai bidang. Dan salah satu kunci keilmuan yang terpenting baru akan diberikan saat santri sudah duduk di kelas lima. Jadi, kamu itu bukannya tidak diajari membuka Kitab Turast, tapi belum.”

“Lalu kapan saya diajari itu, Ustaz?”

“Setelah ini ....”

 

– Bersambung

 

Posting Komentar

0 Komentar