Oleh: Rahmadi Prima
Satu tahun belakangan ini, penulis sedang asyik dengan dunia baru yang bernama Digital Marketing. Ragam alasan yang pada akhirnya mengerucut pada satu muara yakni dunia karir. Belakangan ini juga mulai tumbuh geliat di sekitar kita tentang jalur karir baru yang dilirik, yakni industri digital. Sebatas pandang penulis; ada yang masuk melalui jalur kreasi digital, ada yang masuk melalui jalur digital marketing. Lalu pada tulisan kali ini, penulis hendak memberikan beberapa catatan yang penulis lirik, sepertinya menarik untuk dibahas.
Dalam proses pembelajaran tentang digital marketing, penulis mendapatkan beberapa teori dasar dari marketing secara umum dan penerapannya dalam digital marketing. Meski beberapa di antaranya adalah teori (dan istilah) dalam digital marketing itu sendiri. Setidaknya penulis dapat memberikan beberapa contohnya.
Pertama adalah Funnel Marketing. Sederhananya ia adalah corong yang menjelaskan perjalanan target pasar sedari tidak mengenal produk, mulai mengenal, mulai tertarik, hingga akhirnya melakukan transaksi produk. Termasuk di dalamnya pembelian berulang dan melakukan pemasaran kepada sekitarnya. Ada beberapa jenis ‘corong’ yang dapat dipakai, kembali pada strategi apa yang ingin digunakan. Seperti AIDA (Awareness - Interest - Desire - Action), PAS (Problem - Agitation - Solution), dan ACC (Awareness - Consideration - Conversion).
Kedua adalah STP, atau Segmentasi Pasar, Target Audiens, dan Positioning. Dalam segmentasi pasar kita diminta untuk melakukan pengelompokan berdasarkan umur, jenis kelamin, kelas ekonomi, dll. Dalam target audiens, kita diminta untuk menentukan target spesifik siapa yang ingin kita kejar sebagai ‘calon pembeli’. Lalu positioning adalah mengemas produk agar sesuai dengan target pasar kita.
Ketiga adalah KOL atau Key Opinion Leader. KOL sederhananya adalah seseorang yang memiliki kapasitas dalam sebuah bidang dan pendapatnya didengar oleh audiensnya. Berdasarkan apa yang penulis fahami, KOL sedikit berbeda dengan influencer. Perbedaannya adalah KOL berbasis pada kapasitas dalam bidangnya, sedangkan influencer berbasis pada besar pengikutnya. Meski demikian banyak irisan antara keduanya. Dalam marketing, KOL dapat membantu untuk memasarkan produk berdasarkan kapasitas bidang mereka. KOL juga memiliki jenjang skala berdasarkan pengikutnya; nano (1-10K), mikro (10-100K), Makro (100K-1B), dan Mega (>1B).
Keempat adalah Customer Relationship Management (CRM). Sederhananya adalah pendekatan perusahaan terhadap pelanggan produk dengan mengelola interaksi secara strategis. Tujuannya adalah agar dapat membangun hubungan baik, memahami kebutuhan, dan menjaga citra positif perusahaan di mata pelanggan. Tentunya hal ini memberikan dampak positif jangka panjang terhadap nilai perusahaan.
Setidaknya empat hal di atas penulis temukan dalam proses pembelajaran. Lalu ketika penulis kembali ke pembacaan terhadap dakwah dan pendidikan Islam, penulis menyadari bahwasanya di sebagian besar kita sudah melakukan hal yang demikian. Sebagai tambahan, dalam hal ini penulis akan meletakkan Islam sebagai ‘produk’ yang ‘dipasarkan’.
Seperti penerapan Funnel Marketing dalam membina umat. Tidak semua hal langsung disampaikan secara mendetail. Cukup kenalkan nilai-nilai universal Islam seperti kasih sayang, kemanusiaan, keberadilan, etika dan adab. Lalu ketika melaju ke corong selanjutnya, baru dikenalkan perlahan tentang hukum-hukum syari’at dan konsep ketuhanan secara mendasar. Berlanjut hingga pembelajaran yang lebih lanjut sebagaimana kita pelajari.
Penerapan selanjutnya adalah STP dan KOL. Setidaknya kita dapat melihat
bahwasanya terdapat beberapa
pendakwah (as KOL); baik dia ‘solo’ atau ‘group’ memiliki target pasarnya
masing-masing. Ada yang memiliki target pasar (as STP) berdasarkan
umur, seperti kelompok pemuda hijrah
yang berfokus pada anak muda. Ada yang berdasarkan kelas ekonomi, seperti da’i yang memiliki audiens ‘kelas menengah ke
atas’. Ada yang memiliki target pasar
berdasarkan berdasarkan interest, seperti kpopers, wibu, dan gamers. Penulis rasa pembaca dapat
menemukan contohnya di media sosialnya masing-masing.
Lalu penerapan CRM juga telah diterapkan di beberapa lini seperti optimalisasi masjid sebagai ruang bersama masyarakat yang tidak sebatas sebagai tempat shalat. Penulis dapat memberikan contoh seperti Masjid Jogokariyan Yogyakarta. Selain manajemen infaqnya yang profesional, terdapat beberapa fasilitas yang menunjang kebutuhan umat seperti kajian rutin hingga penginapan bagi jama’ah dari luar kota.
Lebih lanjut, masih banyak penerapan teori marketing yang telah diterapkan dalam dakwah Islam apabila kita jeli melihatnya. Namun bersamaan dengan fenomena ini, penulis rasa masih banyak peluang dan tantangan yang hadir.
Di antara
peluang yang dapat
penulis lirik adalah
bagaimana apabila calon da’i masa depan diberikan ruang untuk mendalami ilmu
marketing ini secara mendalam. Bukan sekedar
kulitnya saja, tapi benar-benar menguasai dan memahami. Sehingga mereka
dapat mengimplementasikan teori tersebut dalam praktek nyata.
Peluang lain adalah adanya potensi hadirnya ‘Marketing Agency’ dengan ‘Dakwah Model Canvas’ yang baru. Bahkan mendisrupsi dunia dakwah Islam itu sendiri. Sebenarnya istilah ‘Model Canvas’ ini diambil dari ‘Bussiness Model Canvas’ dalam ilmu manajemen bisnis. Tapi hal ini ‘mungkin’ dapat menjadi masa depan dunia dakwah Islam bagi elemen masyarakat yang belum tersentuh secara optimal.
Namun bersamaan dengan peluang, hadir juga tantangan. Seperti terjadinya resistensi terhadap model dakwah baru yang beberapa kali terjadi. Seperti sinisme terhadap kelompok-kelompok hijrah anak muda yang pernah terjadi di awal masa kehadirannya. Atau resistensi sebab penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa dakwah pada umumnya.
Meski terdapat beberapa sebab hal yang terjadi seperti kurangnya pendalaman ilmu dari da’i yang bersangkutan atau latar belakang ‘investor’ dari gerakan tersebut, penulis batasi catatan hanya dari sudut pandang metode dakwahnya saja. Sebab intoleransi kepada sesama ‘ahlul kiblat’ juga masih kerap terjadi. Penulis anggap itu sebagai PR dalam konteks dakwah, bukan dalam konteks metode dakwah.
Akhir kalam, penulis sangat mengapresiasi beberapa dari kita yang mulai mengambil langkah model dakwah yang tidak konvensional dan tradisional. Bukan dalam artian model dakwah tradisional tidak baik, namun dengan adanya diversifikasi ‘metode berdakwah’ sama saja kita membuka peluang yang lebih besar agar dakwah ini lebih didengar dan diterima oleh ‘audiens’ atau ‘pasar’ yang lebih luas.
Teringat ucap kata bijak itu, sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.
0 Komentar