Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil Rara
mulai menjerang air untuk membuat segelas susu hangat. Rara adalah seorang
gadis lugu yang tidak pernah mengetahui kerasnya dunia luar. Ia hidup dalam
lingkup keluarga yang sangat Islami sehingga ia sudah memakai cadar sejak masih
sekolah dasar.
Rara merupakan gadis ceria dari keluarga berkecukupan, penuh
kasih sayang, dan bisa dibilang cukup kaya. Ia adalah anak terakhir dari tiga
bersaudara; semuanya laki-laki, dan salah satu di antaranya sudah menikah.
Ia adalah putri dari seorang tokoh ternama. Bahkan bisa
dibilang, siapa yang tidak tahu ayah dari Ratu Azzahra ini? Ia adalah pendiri Pondok
Pesantren ternama dan Pondok pertama di daerah tersebut. Rumahnya yang sulit
dijangkau membuat Rara sangat dibatasi dalam pergaulan. Kehidupannya hampir 24
jam penuh dihabiskan di rumah.
“Ummi ... aku berangkat dulu, ya. Aku sudah menghabiskan
makanannya tadi.” Rara mencium tangan ibunya, sosok yang dicintainya. Ibunya
tersenyum melihat anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa. Tahun ini adalah
tahun Rara setelah menyelesaikan pendidikannya dari Pondok Pesantren. Ia
memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan memilih membantu ibunya menjadi
ustadzah di Pondoknya sendiri. Selain itu, ia juga membantu orang tuanya
berjualan makanan ringan dan mengirimkan pesanan keluar Pondok Pesantren.
Hari ini, Rara sangat kelelahan karena banyaknya pesanan yang
membeludak, hingga ia harus pulang larut malam. Ia pulang menggunakan mobil
mini cooper hadiah ulang tahunnya yang ke-17, berwarna biru muda. Dalam
perjalanan, rasa lapar tiba-tiba menyerangnya jadi ia memutuskan untuk membeli
martabak cokelat sebagai ganjalan perut.
Setelah mendapatkan martabaknya, Rara kembali ke mobil. Namun,
di tengah jalan ia mendengar suara tangisan samar seorang pria. Dengan
hati-hati dan sedikit takut, ia mendekati sumber suara itu, sesekali menengok
kanan dan kiri. Di depannya, ia melihat seorang pria terluka, dengan kaki
berlumuran darah dan kepala yang tergores.
“Tolong ... siapapun itu ... tolong aku ... ” pria itu
berteriak, sekuat tenaga. Rara kaget melihat pria tersebut dengan tubuh penuh
luka dan pakaian robek, serta rantai di lehernya. Dalam pikirannya, ada
perasaan iba dan takut. Pria itu kembali bersuara, “Apa yang kamu lihat? Apakah
membantu seseorang harus dilihat dari pakaiannya dahulu? Apakah berbuat baik
hanya untuk orang baik saja?”
Rara segera menepis pikirannya sendiri dan meyakinkan diri
bahwa ia harus menolong pria ini. Karena darah yang keluar dari kaki pria itu
sangat banyak, ia pun tidak bisa berjalan. Rara tidak punya pilihan lain selain
memikirkan cara menghentikan darah tersebut. Dengan cemas, Rara melihat sekelilingnya
dan merasa perlu kain bersih untuk menghentikan pendarahan. Akhirnya, ia
memutuskan melepas cadarnya sambil menangis. “Ya Allah, aku melakukan ini
karena-Mu, dan aku menolong orang ini karena-Mu, ya Rabb,” serunya.
Lalu, ia melepaskan cadarnya di hadapan pria yang bukan
mahramnya dan mengikatnya kuat pada bagian yang terluka untuk menghentikan
aliran darah. Setelah itu, ia segera menelepon rumah sakit.
Rara pulang larut malam. Keesokan harinya, kepalanya sedikit
pusing karena kejadian semalam. Setelah ia mengecek ruang makan dan tidak
menemukan seorang pun di rumah, ia melihat jam ternyata sudah pukul 10.00 pagi.
Seluruh keluarganya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Hembusan angin sepoi-sepoi membuatnya hanyut dalam suasana dan
memejamkan mata sejenak, hingga beberapa detik kemudian, teleponnya berbunyi,
menampilkan rangkaian nomor tanpa nama. Alisnya mengerut dan dengan ragu, ia
mengangkat telepon itu lalu berkata, “Assalamualaikum?” Ternyata panggilan itu
dari rumah sakit. Karena tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi, pihak
rumah sakit akhirnya meneleponnya.
Tok tok tok … Rara mengetuk pintu rumah sakit dengan tangan
halusnya. “Assalamualaikum,” serunya. Ia melihat pria yang kemarin ditolongnya
terbaring di sana, dan segera menundukkan pandangan. Rara bertanya, “Tidak
adakah keluarga yang bisa dihubungi?”
Pria itu tersenyum tipis dan berkata, “Haha, apa yang
dibicarakan, Ustadzah? Saya hanya ingin membalas budi dan mengucapkan terima
kasih. Kalau bukan karena bantuan Ustadzah, mungkin saya sudah tidak bernapas
pagi ini.” Sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, ia berkata,
“Ambillah, semoga ini bisa membalas apa yang telah Ustadzah lakukan untuk
saya.”
Rara terheran dan berkata, “Apakah semua bentuk terima kasih
harus dibalas dengan uang?” Pria itu terdiam sesaat, lalu mengeluarkan lebih
banyak uang dari sebelumnya dan berkata sinis, “Dasar wanita, kupikir pakaianmu
akan membuatmu berbeda dari yang lain, ternyata…”
Sontak Rara merasa tersinggung dan berkata tegas, “Saya
membantu kamu karena Allah. Jika kamu merasa keberatan dengan pakaian yang saya
pakai, itu bukan salah pakaiannya, tetapi saya yang terus berusaha menjadi
lebih baik. Jika karena ini kamu mengira saya buruk, lalu bagaimana dengan
pakaianmu sendiri?”
Pria itu marah dan berkata, “Cuih, wanita ini! Bicara seolah
paling benar, padahal kamu sendiri melepas cadar di depan laki-laki yang bukan
mahrammu!” Dengan menahan air mata dan penuh kesal, Rara tidak ingin berdebat
lagi dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Dalam perjalanan, hatinya terasa sesak seperti ada gumpalan
api. Secara refleks, ia menekan klakson mobilnya untuk meluapkan emosinya. Sore
itu, Rara bergumam dalam hati, merasa tak habis pikir bagaimana ada manusia
yang tidak memiliki hati seperti itu, dan berharap tidak akan bertemu dengannya
lagi di lain waktu.
“Assalamualaikum, Pah, Bun,” sapanya ketika tiba di rumah,
berusaha menampilkan senyum di wajah yang terlihat lelah.
“Astagfirullah, anakku…,” Bunda Alfin berbisik lirih.
“Biarlah, Bunda. Anak kita sudah remaja, ia tahu ke mana jati
dirinya akan dibentuk,” sahut Ayah sambil membawa secangkir teh dan sesekali
menyeruputnya.
“Bagaimana urusan kantor, Fin? Apakah kamu sudah menanganinya
hari ini?” Ayah bertanya.
Dengan tatapan malas, Rara hanya diam seribu bahasa dan pergi
begitu saja dari hadapan orang tuanya. Bunda Alfin pun menatap sinis ke arah
Ayah, berkata, “Ih, Ayah ini. Anaknya habis kecelakaan, masih saja ditanya
urusan kantor.”
Dengan santai, Ayah Alfin menjawab, “Lagipula dia masih bisa
jalan dan nyetir mobil sendiri, kan, Bun? Berarti dia baik-baik saja,” sambil
tersenyum simpul.
Di sisi lain, Rara sibuk dengan segala urusannya di Pondok
karena sebentar lagi ujian akan segera dimulai. Rara bertugas membuat soal
untuk ujian kali ini. Saat sedang fokus membuat soal, kakak kedua Rara yang
bernama Ulya datang dan berkata, “Dik, ada teman Mas di sana. Bisa tolong
belikan makanan ringan dan air lalu suguhkan, ya? Soalnya Mas mau masuk jam
pelajaran, dan ini sudah waktunya.”
Dengan sedikit kesal karena merasa terganggu, Rara pun
mengiyakan perintah kakaknya sambil berkata, “Siap, Kakak Gantengku.”
Mata Rara mencari-cari sosok yang disebutkan kakaknya sambil
membawa segelas minuman dan makanan ringan. Ketika mulai putus asa, ia berniat
untuk kembali ke tempatnya dan bertanya kepada kakaknya apakah temannya sudah
pulang atau masih di sana. Namun, ketika hendak berbalik badan, matanya bertemu
dengan sepasang mata cokelat pekat. Untungnya, ia membawa makanan dan minuman
sehingga ada jarak di antara mereka.
Namanya Ali. Ternyata, ia adalah orang yang sejak tadi
dicari-cari oleh Rara. Ali baru lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, dan
baru sebulan berada di Indonesia. Ia berencana melanjutkan S2 di Madinah,
tetapi memutuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Rara mengetahui sedikit
ceritanya dari kakaknya. Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan tugasnya
membuat soal.
Hari ini Rara libur dan memutuskan pergi ke perpustakaan. Ia
sangat suka membaca, sehingga perpustakaan menjadi tempat favoritnya. Ketika
sedang membaca salah satu buku, ia melihat dari kejauhan sosok yang pernah
dikenalnya. Dari gaya rambut, cara berpakaian, serta rantai di tangan dan
lehernya, ia mengenalinya. Benar, itu adalah pria yang pernah Rara bantu.
Rara berusaha mengabaikan kehadirannya, tetapi ketika selesai
membaca buku tersebut, pria itu melihatnya dan langsung mengejar Rara dengan
tergesa-gesa. Kini, Rara sudah berhadapan dengan pria itu, dan ia pun
mengulurkan tangannya.
“Assalamualaikum, Ustadzah. Salam kenal, aku Reza Alfian. Hm,
saya juga mau minta maaf atas perbuatan saya kemarin. Tidak sepantasnya saya
berkata seperti itu kepada orang yang telah menolong saya,” ucapnya dengan
wajah tulus.
Rara menyatukan tangannya di depan dada dan menundukkan
pandangannya. “Waalaikumussalam. Jangan panggil saya ustadzah. Saya sudah
melupakan hal itu, dan saya berharap kita tidak akan bertemu lagi,” katanya,
lalu pergi meninggalkan Reza sendirian di depan perpustakaan.
Dengan wajah kebingungan, Alfin tidak percaya dengan jawaban
yang diterimanya. Kata-kata "Jangan panggil saya ustadzah" terngiang
di otaknya dan tanpa sadar membuatnya tertawa kecil. Setelah kesadaran penuh
kembali, Alfin langsung menuju tempat parkir dan berniat untuk bertemu dengan
teman dekatnya, Arya. Kedua orang tua mereka bersahabat dan membangun bisnis
bersama dari nol hingga sekarang.
Meskipun kehilangan orang tua, Arya tidak merasa haus akan
kasih sayang, karena ia selalu dianggap seperti anak sendiri oleh keluarga
Alfin. Jadi, wajar saja banyak yang mengira mereka berdua adalah adik-kakak,
bahkan wajah mereka yang hampir mirip bisa disebut sebagai anak kembar.
“Lu di mana, ya? Hampir setengah abad ini gua nungguin lu!
Sampai Upin Ipin udah pada kuliah ini!” ucap Alfin dengan nada candanya.
Dari kejauhan, Arya datang dengan santai, gaya casual, dan
senyum simpul di wajahnya, seperti sudah paham dengan watak saudaranya. Ia
menjawab, “Kenapa, Pin? Emosinya selalu diluapin ke gua terus? Kayaknya cerita
yang sekarang bisa dijadikan bahan skripsi nih buat gua.”
Keduanya kini sedang menikmati kopi kesukaan masing-masing.
Alfin tidak suka pahit, sedangkan Arya sangat mencintai rasa pahit. Meskipun
keduanya memiliki kebiasaan yang sama, tidak demikian halnya dengan urusan
kopi, karena Arya sangat pemilih dalam hal makanan.
Dengan tatapan Alfin yang sudah menjadi teduh, ia memulai
percakapan. “Akhir-akhir ini, gua selalu dibuat pusing sama ayah. Ia selalu
mengurusi kehidupannya sendiri, selalu mementingkan bisnisnya dibanding
anaknya,” ujarnya dengan wajah sedih.
Dibalas dengan senyuman Arya, ia melirik dan melihat Alfin
dengan dalam. Jika dilihat dari luar, mereka seperti sedang berkomunikasi tanpa
kata.
Setelah mengobrol panjang, hampir semua percakapan mereka
berisi tentang keluarga Alfin. Tiba-tiba, lewat di depan mereka seorang wanita
berpakaian seperti ustadzah dan memakai cadar, juga makan di tempat yang tidak
jauh dari mereka berdua.
Dengan kesadaran penuh, Arya mengetok kepala Alfin. “Heh! Jangan
berlebihan. Nanti lu dapat jodoh yang bercadar, anak pimpinan pondok. Beuh,
masya Allah banget, saudara gua!” ucapnya dengan sangat santai. Alfin pun tidak
membalas perkataan Arya, dan mereka berdua pergi meninggalkan tempat tersebut.
Sesampainya di rumah, Alfin langsung ingin beristirahat.
Namun, ayahnya memanggilnya dari ruang TV dan membuka percakapan, “Bagaimana
harimu? Apakah kamu ke kantor hari ini? Besok ada rapat besar dengan klien ayah
di luar kota. Apa sudah dipersiapkan?”
Belum selesai ayahnya berbicara, dengan nada sedikit meninggi,
Alfin pun menjawab, “Kantor, kantor, kantor lagi. Selalu itu yang ditanyakan!
Semuanya sudah diurus oleh Arya, Pah. Lagi pula, itu kan bisnis ayah. Kenapa
nggak ayah saja yang mengatur semuanya? Atau suruh anak buah ayah?”
Alfin pun langsung menaiki anak tangga dengan cepat dan
membantingkan badannya di atas kasur sambil membuang napas.
“Oke, Om. Aman saja. Nanti urusan itu biar Arya bicarakan lagi
ya sama Alfin. Sepertinya ia juga sedang memikirkan banyak hal akhir-akhir
ini.” Di waktu yang bersamaan, chat Alfin pun muncul di layar telepon milik
Arya. Saat itu juga, Arya memutuskan sambungan telepon dengan orang yang ada di
seberang sana.
Ketika terbangun dari tidurnya, ia menceritakan tentang
kegelisahannya akhir-akhir ini karena dihantui seorang gadis bercadar. Entah
kenapa, setelah bertemu dengan gadis itu, banyak masalah yang ia dapatkan.
Dalam pikirannya yang kacau, ia beranggapan bahwa wanita ini mendoakannya
dengan hal-hal tidak baik, sehingga membuat harinya terasa lebih sulit dari
sebelumnya.
Dengan senyum yang merekah di bibirnya, wajah itu semakin
manis dibuatnya. Sambil menyirami tanaman di sekitar rumahnya, sesekali ia
bernyanyi kecil agar bisa lebih bersemangat. “Adik, bisa bantu Umi sebentar,
Sayang?” serunya dari dalam rumah, sehingga membuat Rara berhenti melakukan
aktivitasnya. Rara pun langsung menuju dalam rumah dan mencari sumber suara
yang ia dengar.
Ketika ia telah mendapatkan perintah dari Uminya, ia segera
menuju tempat yang selalu ia kunjungi, yaitu parkiran. Hari ini, Umi sedang
tidak enak badan, membuat Rara mengambil alih semua pekerjaan rumah dan juga
pekerjaan yang bisa ia lakukan. Setelah mengantarkan pesanan makanan, ia
langsung berbelanja bulanan untuk sehari-hari dan juga untuk jualan Uminya.
Hari ini, lalu lintas tidak bersahabat dengannya, membuatnya
pulang di malam hari. Saat berada di pertengahan jalan, ia melintasi jalan
pintas yang bisa dibilang sangat sepi, membuat dirinya sedikit ketakutan.
Ketika ia memikirkan hal buruk, hal itu pun terjadi. Mobil yang ia gunakan
mogok tiba-tiba, sehingga ia harus berhenti, dan secara bersamaan, teleponnya
juga lowbat. Jalan pada saat itu benar-benar sepi.
Malam ini, ia mengecek kembali bisnis yang ia buat, yaitu clubing.
Ia mendirikan ini semata-mata untuk teman-temannya yang masih suka berkumpul. Karena
klub ini lebih diperuntukkan untuk pertemuan bisnis atau pertemuan antar klien
yang berasal dari luar negeri. Namun, malam itu sangat berbeda, ia merasa
dirinya tidak ada di sana. Lalu, Alfin pun memutuskan untuk pergi dan mencari
angin. Tapi sialnya, ia malah terjebak macet yang membuatnya harus mengambil
jalur pintas lainnya.
Dari kejauhan, ia melihat mobil berwarna baby blue yang tak
asing dilihatnya. Ketika itu pula, ia merasa bahwa mobil itu mogok dan
membutuhkan bantuan. Akhirnya, ketika ia memutuskan untuk membantunya, ia tidak
melihat orang di dalamnya. Ternyata, ia melihat sosok hitam dari belakang mobil,
ia adalah sang pemilik mobil tersebut. Yang lebih mengejutkannya lagi, sosok
itu adalah Rara Azzahra, yang ia panggil Ratu.
“Ada apa dengan mobilmu? Apakah kamu membutuhkan bantuan?”
tanya Alfin.
Sedikit tercekang dengan apa yang dilihatnya, Rara pun
menjawab, “Eh... iya, ini mobilku tiba-tiba mogok, dan aku tidak tahu apa yang
salah dengan mobilku.” Mata Rara membulat karena memelas.
Dengan santai, Alfin menjawab, “Sepertinya ini hal yang sangat
sulit, tapi sayangnya aku punya kesibukan yang lebih penting dari ini. Jadi,
maaf ya, Ratu.” Dengan wajah yang tak kalah melas darinya.
Dengan rasa khawatir yang menyelimutinya, ditambah telepon
Rara yang sudah mati, mendorong keberaniannya untuk bicara kepada Alfin. “Hmmm ...
baiklah, tapi sebelum kamu pergi, bolehkah pinjam teleponmu sebentar untuk
menghubungi keluargaku? Karena HP-ku mati dan aku tidak ...”
Belum selesai bicara, Alfin langsung melihat mobil Rara yang
mogok itu. Ternyata, mobil itu tidak bisa dibetulkan sekarang, dan membuatnya
harus menumpang mobil milik Alfin.
Keadaan hening dan sepi di dalam mobil, kini hanya ada suara
mesin yang terdengar. Namun, berbeda dengan perasaan cemas yang dirasakan oleh
Rara. Entah dari awal, ia mengiyakan pertanyaan itu, ia merasa khawatir dan
takut dalam hatinya.
“Khm, tidak perlu takut. Penampilan saya tidak mencerminkan
sifat saya,” ucap Alfin santai sambil menyapu jalan sekitar.
Dengan rasa malu dan sedikit tersipu, Rara memalingkan
wajahnya ke luar jendela mobil sambil melihat pepohonan di jalan.
Di tengah perjalanan, mobil mendadak mengerem, membuat mereka
berhenti dan keluar. Orang yang hampir mereka tabrak adalah seorang santri dari
pondok Rara. Dia mengenakan sarung, topi hitam dan sandal jepit hijau, membuat
mereka terkejut. Mereka tidak percaya bahwa Ning, kebanggaan mereka telah
melakukan zina di luar pondoknya. Tanpa betanya, mereka bertiga pun pergi.
Keesokan harinya, ketika Rara sudah siap mengajar, pergi ke
dapur untuk secangkir susu hangat. Di sana, terlihat sosok yang teduh dengan
tatapan tenang, tetapi seperti ada setitik kesedihan di wajahnya.
“Kamu sudah bangun, cantik. Jangan lupa habiskan susunya, lalu
segera pergi mengajar dan jangan lupa baca bismillah,” kata umi.
Saat menghabiskan susu, Uminya berbisik, “Jika ada masalah,
ceritakan saja, dek.” Sontak kalimat itu membuat Rara berhenti meminum susu dan
menoleh ke umi, yang sudah pergi meninggalkannya sendiri di dapur.
“Ringgg!” Suara bel membuat santri hilir mudik meninggalkan
kelas, mengguncang halaman. Sama halnya dengan Rara, di luar terlihat santai
dan tenang, tetapi hati dan otaknya sedang bertarung hebat dengan pikirannya
sendiri. Rara bingung dengan maksud Uminya dan mengapa tidak ada sarapan.
Perjalanan Rara pun sampai di tempat yang sangat indah, rapi,
tersusun, serta terdapat bunga-bunga cantik di sekitarnya. Satu langkah kakinya
memasuki ruangan yang tak asing, dan semua mata tertuju pada Rara. Rasanya
seperti sedang menjadi mangsa untuk singa-singa yang kelaparan. Ketika itu
pula, orang yang tidak pernah berbicara dan selalu tersenyum ramah kepadanya
berubah drastis dengan tatapan menusuk.
“Alhamdulillah kamu sudah sampai. Letakkan tasmu, lalu
kemarilah duduk bersama kita di sini,” tagas Abi.
Ulya, sebagai kakak pertama dalam keluarga, langsung angkat
suara. “Siapa laki-laki itu, mari kita nikahkan segera!” Dengan mengerutkan
kedua alisnya, Rara pun merasa heran. “Apa? Siapa? Bukannya mas tahu kalau adek
selalu di rumah dan tidak pernah punya laki-laki atau bahkan teman laki-laki
sekalipun?” jawab Rara tegas dengan penuh keyakinan.
Kakak keduanya
menyindir, “kamu masih membela diri padahal bukti sudah jelas!.”
Umi merasa hatinya tergerak, melihat anak bungsunya terluka.
“Jangan langsung mengakimi semata. Kita dengarkan juga cerita dari adik.
Namanya manusia, pasti pernah berbuat salah,” sahutnya dengan nada lembut.
“Adik, coba ceritakan kepada kami sebenarnya apa yang terjadi
ketika umi menyuruh adik mengirim makanan dan juga belanja bulanan,” ucap Ulya
dengan sangat tenang.
“Apa yang kakak maksud! Aku tidak melakukan apapun! Ketika
itu, mobil Rara mogok dan HP Rara lowbat. Kebetulan ada seorang laki-laki yang
ingin membantu Rara, dan tidak ada pilihan lain selain Rara ikut bersama
laki-laki itu,” ucapnya dengan mata yang sudah sangat buram karena gundahan air
di depan matanya.
“Lalu, apa lagi yang adik lakukan selama di dalam mobil?”
sahut Ikhsan dengan sangat marah.
Rara menangis tanpa suara, banyak yang ingin diucapkannya,
tapi ta ada satu kata pun yang keluar.”
Kini, Abinya angkat suara lagi, “Langsung saja kamu sebut, Ra,
siapa dia? Dan di mana keluarganya? Dan apa yang telah kamu lakukan di dalam
mobil selama itu!” Seperti ada gumpalan batu yang dilempar ke dadanya, sangat
sesak sekali mendengar sosok yang selalu ia percaya dan menjadi contoh dalam
hidupnya, tetapi kini ia pun tidak berpihak padanya. Rara pun tidak menjawab
pertanyaan abinya dan segera pergi meninggalkan keluarganya, langsung menuju
kamarnya.
Sampai waktu asar, Rara terus-terusan menangis, sampai seperti
habis rasanya stok air mata yang ia miliki. Ia pun melihat sekitar kamarnya
yang masih berantakan. Ia berniat bangun dan membenahi semua barangnya, namun
ia merasa kamarnya seperti ada cahaya gelap yang menghitam, dan semuanya
terlihat gelap.
Ketika ia bangun, ia merasa aneh dengan tempat yang ia
tempati. Ia tidak berada di kamar tidurnya, melainkan di rumah sakit. Ia sadar
bahwa dirinya pingsan ketika sedang membereskan barang. Abi dan Uminya yang
berada di luar ruangan langsung masuk ketika mengetahui putri kesayangannya
telah sadar.
“Bagaimana keadaanmu, sayang?” suara lembut yang keluar dari
umi.
Ketika itu, bukannya menjawab, Rara langsung meneteskan air
mata karena ia merasa bersalah dengan caranya ngambek kepada kedua orang
tuanya. Bukan seperti itu caranya. Bagaimana pun, mendiamkan orang tua itu
tidak baik, dan ia langsung memeluk kedua orang tuanya.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Rara yang belum
bisa mengajar, hari ini berniat membantu jualan uminya. Dengan pakaian gamis
longgar dan kerudung yang menjuntai sampai lutut, tidak lupa cadar yang ia
kenakan selalu senada dengan kerudung labuhnya. Sambil menikmati udara yang
segar, ia membuka jendela mobil baby blue-nya. Seperti sudah lama ia tidak
menggunakan mobil tersebut semenjak kejadian itu.
Ia langsung teringat, andai saja ia tidak bertemu laki-laki
itu, mungkin ia tidak akan durhaka kepada orang tua dan keluarganya.
Di pondok, Alfin tengah sibuk menyiapkan barang-barang untuk
disalurkan ke salah satu pondok terbesar di tempatnya. Perusahaan ayahnya
memang sangat terkenal dengan kedermawanannya, sehingga setiap bulan selalu
memberikan santunan, entah itu dalam bentuk uang, makanan, atau bisa juga
seperti Al-Qur'an atau mainan sesekali. Kali ini, ayahnya sudah menyerahkan
perusahaannya kepada salah satu putra kesayangannya, karena ia merasa sudah
tidak sanggup lagi mengurus semua urusan kantor. Namun, anaknya ini sangat kekeh
untuk membuka bisnis sendiri dan berusaha berbeda dari orang tuanya. Hal itu
membuat Alfin tidak terlalu all-out dalam menjalankan tugas perusahaan ayahnya.
Meskipun demikian, ia tidak pernah membuat malu atau mengecewakan ayahnya
ketika diberikan tugas.
Kali ini, ia bersama Ali sudah menyiapkan semua barang yang
akan dikirim kepada pondok tersebut. Ketika ia akan menaiki mobil, Ali pun
teriak sambil setengah lari, “Eh, lu mau kemana?” Dengan sangat santai, ia
menjawab, “Ya nganterin barang ini ke pondok, lah! Apalagi?”.
Ali pun langsung melotot kepada Alfin dan melirik tajam dari
atas sampai bawah kaki, karena pakaian yang ia kenakan adalah kaos hitam dengan
celana denim levis dan ada gelang rantai di tangan serta di lehernya.
“Bisa-bisa lu diusir sama penjaga pondok! Gara-gara pakaian lu, bukan kaya
orang mau ngasih bantuan, tapi lebih ke mau RAMPOK!” Dengan wajah tanpa
bersalah, Alfin tertawa kecil mendengar omelan temannya. Jika tidak ada dia,
mungkin benar keberadaannya akan diusir karena penampilannya.
Alfin memutuskan untuk berhenti sebentar di mall untuk membeli
pakaian muslim, karena ia tidak memilikinya dan mungkin ini adalah pakaian
pertama yang ia punya selama hidupnya.
Penampilannya berubah 90 derajat. Dengan instruksi jempol dari
temannya, kini ia siap menjalankan misi selanjutnya. Ketika sudah sampai di
pondok itu, ia melihat mobil baby blue yang tidak asing, tetapi ia tidak
mengubrisnya. Lalu, ia bertemu dengan salah satu anak pimpinan pondok tersebut
dan berkata, “Assalamualaikum. Kalau boleh tahu, anda siapa dan ada keperluan
apa datang ke pondok kami?”
Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Alfin pun
menjelaskan bahwa dirinya adalah putra dari salah satu perusahaan yang selalu
memberikan bantuan kepada pondok ini, dan kini ia yang mengambil alih
perusahaan ayahnya. Dengan sigap, Ulya pun langsung mempersilahkan Alfin untuk
ke rumahnya dan bertemu dengan Abinya di rumah.
Dalam perjalanan, ada santri yang bersalaman dengan Ulya dan
Alfin. Dengan samar-samar, Alfin merasa pernah bertemu dengan orang ini. Dan
benar, santri itu pun merasa pernah bertemu dengannya. “Kakak ini bukannya yang
pernah jalan sama Ning Rara ya?” tanyanya penasaran. Namun, santri itu segera
sadar bahwa ada kakaknya Rara di sana, sehingga ia langsung menutup mulutnya
dan pergi meninggalkan keduanya dengan terburu-buru. Ali pun mengikuti dari
belakang dengan wajah heran.
Kini mereka sedang berkumpul di ruang tamu, sambil sesekali
berbincang tentang bantuan dan kerja sama yang akan dilakukan oleh keduanya.
Ketika Alfin sedang membicarakan rencana ke depannya, tiba-tiba suara wanita
masuk mengambil alih semua suara dan tatapan di dalam ruangan tersebut. Yap,
itu Rara yang baru saja selesai mengantarkan makanan umi dan baru saja
menunaikan shalat di masjid pondoknya. Dengan sangat manis, Rara pun tersenyum
di balik cadar pinknya, ia menunduk dan menyambut hangat tamu yang berada di
ruangan tersebut.
Alfin pun tidak asing dengan suara tersebut dan langsung
berbalik. Ternyata, benar, ia adalah wanita yang selalu terlibat dengannya
akhir-akhir ini. “Waalaikum salam, Ratu...” Ketika itu pula semua mata tertuju
kepada Rara dan Alfin, lantas ada hubungan apa di antara mereka, serta apa
maksud dari pernyataan salah satu santrinya yang bersalaman dengan Ulya tadi.
Di dalam kamarnya, Rara berpikir keras, dan semua pertanyaan
negatif muncul di pikirannya. Namun, ada satu harapan besar yang terlintas di
benaknya, ia berharap keluarganya tidak ada yang mengetahui hubungan mereka.
Tetapi ia berpikir kembali, ah, lagi pula aku tidak ada hubungan apa-apa dengan
Alfin. Kini pikirannya sedang bertarung hebat sampai ia tertidur dengan tasbih
yang ada di tangannya.
Alfin dan Ali pun berniat untuk berpamitan dan memutuskan
untuk pergi, namun tangannya ditahan oleh Ulya, kakak pertama dari keluarga
Rara. Ia mengajak Alfin seorang diri ke taman dan meminta waktunya untuk
bicara. Ali pun pergi bersama Ikhsan untuk mengangkat barang-barang yang masih
tertinggal di mobil.
“Langsung saja, ada hubungan apa kamu dengan Rara? Lalu, apa
maksud dari pernyataan santri tadi? Benarkah kamu pernah jalan bersama adik
saya?” Dengan bertubi-tubi, Ulya bertanya kepada Alfin. Dengan wajah yang
tenang, Alfin menjawab semua pertanyaan Ulya.
“Aku tidak pernah tahu bahwa ia adalah salah satu putri dari
pondok ini, dan saya tidak memiliki hubungan spesial dengan Ratu. Mengenai
pernyataan santri itu, aku pernah hampir menabraknya ketika aku membantu Ratu,
karena mobilnya mogok dan itu sudah larut malam. Selebihnya, Ratu pernah
membantu saya ketika saya nyaris mati dan tidak ada siapa pun yang membantu
saya.”
Dengan wajah serius, Ulya pun membuat pernyataan sendiri tanpa
dibicarakan lagi terlebih dahulu. “Karena kamu telah jalan dengan adik saya,
dan semua santri di sini sudah mengetahui keberadaannya, sudah siapkah kamu
untuk menghalalkan adik saya dengan segala kekurangan yang ia miliki?”
Mendengar pernyataan yang sangat mendadak itu, Alfin pun sangat terkejut dengan
apa yang dinyatakan Ulya.
Dari ujung jendela yang menghadap taman, Rara terbangun dengan
mukena yang masih ia kenakan. Ia sedang melihat kakaknya berbincang dengan
Alfin di taman. Melihat ekspresi Alfin, Rara merasa penasaran dengan apa yang
sedang dikatakan kakaknya.
Sementara itu, Alfin kini berada di kantornya, menatap kosong
layar hitam di depannya. Lalu, Ali pun datang dengan niat mengajaknya makan
siang di luar. Dengan tatapan malas, Alfin menolak tawaran Ali. Namun, karena
Ali sudah seperti saudaranya, ia pun tahu apa yang sedang dirasakan Alfin.
Akhirnya, Ali berinisiatif untuk makan siang di kantor bersama Alfin.
Di tengah-tengah mereka makan, Alfin membuka percakapan.
“Bagaimana pendapatmu, kalau aku menikahi orang yang belum aku kenal?” Sontak,
pertanyaan itu membuat Ali hampir tersedak dengan makanannya.
“Astagfirullah, Pin! Lu hamilin anak orang? Gila ya! Nakal
boleh, tapi jangan segitunya, Pin!” Dengan wajah marah, Alfin pun mengeplak
kepala Ali.
“Siapa yang hamilin anak orang? Gua cuma tanya, kalau gua
nikah sama orang yang belum kenal, itu gimana?” Ali meneguk air di depannya,
lalu menjawab, “Apalagi alasan lu, Pin. Kalau lu nikahin orang dan belum kenal,
berarti dia ... ” Belum selesai, Alfin menutup mulut Ali, yang entah sudah ke
mana pembahasannya.
Setelah Alfin menjelaskan semuanya kepada Ali, kini Ali pun
mengerti dan percaya bahwa sahabatnya tidak akan melakukan hal-hal aneh. Ali
setuju saja dengan pernikahan itu, sebab yang dilakukannya bisa saja membantu
keluarga Rara dan mengembalikan fitrah Rara sebagai wanita solehah. Lalu, Alfin
pun memikirkan hal tersebut dan berniat membicarakannya lebih lanjut kepada
orang tuanya.
Rara tahu apa yang telah dilakukan kakaknya, tetapi ia tidak
menyadari bahwa kakaknya sudah menceritakan hal ini kepada Umi dan Abinya.
Dengan wajah lelah, Rara yang baru pulang mengajar membersihkan diri dan makan
siang bersama keluarganya. Saat ia menikmati makanan buatan Umi, Abinya membuka
percakapan.
“Bulan depan, jangan pergi ke mana-mana, Keluarga Alfin akan
datang!”
Semua kenikmatan makanan yang sedang dilahapnya hilang
seketika. Kini, matanya berkaca-kaca saat melihat sekitar; seolah tidak ada
penolakan, dan semua keluarganya sudah setuju, sementara dirinya merasa tidak
mengetahui apa yang sebenarnya direncanakan.
Sambil mengambil lauk di depannya, Umi berkata, “Semuanya
sudah dibicarakan dengan baik. Ikuti saja, semuanya sudah direncanakan.”
Ucapannya tidak memberi ruang untuk penolakan. Rara pun tidak ingin mengulangi
kesalahan yang sama, ia pun mengikuti kemauan orang tuanya.
Sementara itu, keluarga Alfin sangat senang dengan keputusan
yang diambil Alfin. Keluarga Alfin sudah mengenal keluarga Rara jauh lebih dulu
dibanding Alfin, dan niat baik Alfin untuk menikahi Rara malah mendapat
dukungan hebat dari keluarganya. Sebenarnya, Alfin sudah jatuh cinta dengan
tatapan Rara yang ceria dan manis, meski itu tertutup cadar yang dikenakannya.
Namun, semua itu ditutupi oleh gengsi Alfin yang tinggi.
Hari ini, Rara tidak mau melawan kedua orang tuanya, meskipun
ia merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang dipikirkan keluarganya. Begitu
pula dengan Alfin yang merasa sangat gugup, karena ia masih tidak menyangka
akan menikahi seorang wanita yang menurutnya sangat sempurna. Ia berjanji untuk
memperbaiki dirinya.
Namun, dari sudut pandang yang berbeda, ada seseorang yang
tidak diketahui keberadaannya. Ia adalah teman dari kakak kandung Rara. Ali,
yang diam sambil tersenyum, melihat para tamu undangan berlalu-lalang dan
menikmati makanan yang disediakan. Dalam hatinya, ada gumpalan yang tidak bisa
diungkapkan, yaitu rasa sukanya terhadap Rara. Ia sudah berniat untuk
menyampaikan perasaannya, tetapi sayangnya belum sempat ia mengungkapkan
semuanya telah terjadi.
0 Komentar