Header Ads Widget

Antara Algoritma dan Jiwa: Teknologi Menggeser Arti Kemanusiaan

 

Oleh: Ilmi Hatta Dhiya’ulhaq

 

Bismillahirrahmanirrahim

Apa yang diharapkan pada teknologi masa depan? Teknologi yang digadang-gadang akan mengantarkan umat manusia menuju kehidupan serba praktis dan mudah tidak lebih hanyalah angan-angan utopis yang melenakan. Optimisme tentang masa depan yang cerah selalu disuarakan di mana-mana. Dengan membaca bagaimana umat manusia mempergunakan teknologi pada masa sekarang, dituangkanlah pikiran saya pada tulisan ini untuk mematahkan harapan indah di masa depan itu. Lantaran bila tanpa adanya persiapan, umat manusia akan menjumpai ‘madesu’ alias masa depan suram!

Ketika terucap kata teknologi, akan muncul di benak kita benda-benda canggih, seperti komputer, ponsel pintar, sampai robot. Semua tadi adalah alat, pelayan, dan hamba yang dibuat oleh manusia untuk mempermudah urusan-urusannya. Kata teknologi yang sering kita dengar itu secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, "techne" yang berarti keterampilan, seni, atau kerajinan, kemudian "logos" yang berarti ilmu atau studi. Teknologi awalnya merujuk pada pengetahuan praktis dalam menciptakan alat dan metode yang membantu manusia dalam berbagai aktivitas. Teknologi sekarang dipahami sebagat alat, metode, atau sistem yang diciptakan oleh umat manusia untuk mempermudah proses usaha mereka dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti benda-benda canggih tadi.

Sekarang di mana-mana kita menemukan jejak dari peran teknologi. Dengan proses yang terbantu oleh teknologi, hambatan-hambatan dan eror dalam proses bekerja terkurangi, serta hasil yang dihasilkan bisa semakin banyak; inilah yang menjadi tujuan awalnya. Dari roda hingga perangkat canggih seperti smartphone, semua itu membantu manusia menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan efisien. Semakin berkembangnya teknologi, manusia semakin tidak perlu lagi bersusah payah menempuh proses yang panjang, sulit, dan tidak menentu hasilnya.

Perkembangan teknologi telah berjalan berdampingan dengan sejarah panjang kehidupan umat manusia. Dimulai dari penemuan alat sederhana pada era prasejarah, sesederhana api, juga peralatan dari batu, yang membantu dalam memenuhi kebutuhan mengolah pangan. Revolusi pertanian datang dan mengubah cara hidup manusia, kehidupan menjadi teratur dan berperadaban dengan sebuah sistem sehingga semua menjadi jelas dan mudah. Pada era kuno dan klasik, teknologi berkembang lagi melalui inovasi dalam arsitektur dan irigasi, hal ini mempermudah tatanan hidup sosial. Revolusi Industri datang, dari abad ke-17 membawa mesin uap dan pabrik, produksi barang-barang menjadi massal dan tidak lagi banyak melibatkan tangan manusia. Abad ke-20 memperkenalkan komputer dan internet yang telah memotong jarak antarmanusia, dan melipat waktu antarzaman. Semakin tahun, perkembangan teknologi semakin cepat dan pesat.

Sementara pada abad ke-21 ini lonjakan teknologi digital telah gamblang di mata kita, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT), yang menjadikan hampir semua proses dalam kehidupan manusia kini dijalankan oleh teknologi. Pesatnya perkembangan teknologi pada abad ini mengisyaratkan bahwa apa yang kelak terjadi di masa atau abad yang akan datang niscaya lebih pesat lagi. Betapa pesatnya perkembangan teknologi mudah saja ditengarai dengan geliat perusahan-perusahan seperti Neuralink, Meta, dan OpenAI. Proyek-proyek yang sedang digarap perusahaan-perusahaan tersebut memberi rambu bahwa di masa depan kehidupan manusia akan didampingi oleh superintelligent AI, virtual reality, sampai implan otak. Dengan melihat jalan panjang perkembangan teknologi dari zaman prasejarah, hal-hal yang sekarang belum terbayang tadi bukan mustahil akan terwujud di masa depan. Lalu apa dampaknya bagi manusia?

Ketika perkembangan teknologi berupa software (perangkat lunak) dan hardware (perangkat keras) berlari sebegitu cepatnya pada hari ini, mayoritas umat manusia yang seharusnya menuggangi kemajuan ini malah tertatih-tatih dan tertinggal di belakangnya. Karena ketika teknologi semakin berkembang, hidup manusia semakin mudah. Ketika hidup manusia semakin mudah, manusia menjadi semakin lemah. Tidak ada dorongan untuk berpikir memecahkan masalah, karena hampir semua masalah diselesaikan oleh teknologi. Tidak ada lagi tuntutan untuk bekerja keras demi bertahan hidup dari tantangan-tantangan yang berat. Berkembangnya software dan hardware mengurangi alasan manusia untuk mengembangkan brainware-nya.

Zaman sekarang, cukup dengan smartphone seseorang bisa mengakses banyak hal, dari jual-beli, mencari informasi, sampai hiburan tontonan. Kemudahan ini mendorong manusia untuk lalai karena semakin punya alasan untuk menghabiskan keseharian cukup dengan scrolling sambil rebahan. Merujuk kepada data yang dipaparkan oleh Bussiness 2 Community dan House of Marketers, durasi scrolling video pendek seperti Instagram Reels, TikTok FYP, dan YouTube Shorts di seluruh dunia, termasuk Indonesia, meningkat secara signifikan. Pengguna global TikTok, Instagram, dan YouTube menghabiskan waktu rata-rata antara 52 hingga 95 menit per hari di masing-masing platform, terutama pada konten short-form video tadi. Warga TikTok Indonesia bahkan dikenal sebagai salah satu pengguna yang membuang-buang waktu paling banyak, sekitar 23,7 jam per bulan hanya untuk scrolling. Kecendurungan ini banyak menjerumuskan pada adiksi ber-gadget yang disebut doomscrolling. Sebuah penelitian juga mencatat bahwa 43% pengguna media sosial mengaku melakukan doomscrolling secara teratur. Adiksi ini membuat hidup tidak sehat dan kurangnya produktivitas.

Hal yang lebih disayangkan lagi, dengan tingginya pengunaan teknologi di atas, apabila smartphone yang dipegang itu diretas, apa yang terjadi? Berapa banyak dari pengguna smartphone yang sanggup menangani bahaya peretasan? Sekarang, berapa banyak orang yang paham dan bisa menghalau bahaya itu? Indonesia sendiri, menurut katadata.co.id menghadapi kekurangan yang memprihatinkan dalam kebutuhan terhadap tenaga ahli teknologi informasi (IT). Pada 2023, data menunjukkan bahwa negara membutuhkan sekitar 9 juta tenaga ahli di bidang IT hingga 2030. Artinya ada kebutuhan sekitar 600 ribu tenaga kerja digital per tahun, tetapi terdapat gap sekitar 400 ribu hingga 500 ribu talenta yang belum terpenuhi tiap tahunnya. Sedangkan hanya ada 16% lulusan ilmu komputer yang berhasil menjadi developer atau pengembang perangkat lunak​ (software). Ternyata, teknologi yang ingar-bingar ada di tangan manusia tidak sepenuhnya semua terkuasai oleh penggunanya. Inilah bukti bahwa brainware manusia tertinggal oleh perkembangan teknologi, dan ini membahayakan.

Selain sebagian kecil orang yang ‘menjadi tuan atas teknologi’ di atas, pengguna teknologi lainnya yang masih seperti hanya bermain-main dan dipermainkan karena tidak tahu menahu secara komprehensif seperti apa teknologi yang sedang meliputi kehidupan mereka dari manfaatnya, bahayanya, dan cara menggunakannya dengan bijak. Manfaat teknologi untuk membuahkan hasil pekerjaan lebih banyak sebagaimana yang diharapkan malah tersingkirkan oleh mudarat yang bersumber dari ketidaksanggupan manusia untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Dari kenyataan memprihatinkan barusan, tidakkah terbayangkan bagaimana ketimpangan kemajuan teknologi dan kecakapan manusia akan semakin membahayakan untuk menciptakan masa depan suram. Maka, perlu adanya kesadaran yang dibangun dari sekarang untuk mencegah ini.

Contoh lainnya yang jauh lebih sederhana, ketika ada kejadian listrik mati di sebuah tempat. Berapa banyak orang yang akan mengeluh dan kebingungan? Seketika manusia seperti kehilangan kemampuannya untuk produktif. Padahal listrik diciptakan untuk mempermudah pekerjaan manusia, bukan mengambil alih kemampuan manusia untuk produktif bekerja. Seharusnya, ketika seseorang benar-benar menjadi manusia, maka daya produktif tidak terhalangi oleh hilangnya akses teknologi. Yang kini terjadi adalah manusia kehilangan kesanggupannya untuk menjadi tuan atas teknologi, sekarang berbalik menjelma hamba pada teknologinya. Tanpa disadari, ketimpangan ini menunjukkan bahwa manusia dengan keadaan ini kehilangan sisi kemanusiannya.

Kemanusiaan secara bahasa artinya sikap universal yang harus dimiliki setiap umat manusia di dunia yang dapat melindungi dan memperlakukan manusia sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat manusiawi. Secara sederhana, kemanusiaan artinya menjadi manusia seutuhnya dengan sebagaimana seharusnya. Menjadi manusia dengan sifat-sifat esensialnya, artinya bukan bersifat Tuhan, hewan, benda, atau yang lainnya.

Pada era sebelum abad ke-21 ini, saat di mana muka bumi dipenuhi dengan pertumpahan darah, kemanusiaan digaungkan menjadi instrumen untuk melawan rasisme, perbudakan, penjajahan, sampai genosida. Pada konteks ini, makna kemanusiaan yang dimaksud menjadi instrumen untuk menyeru manusia agar tidak bersifat seperti hewan yang tidak memiliki belas kasihan. Seruan kemanusiaan mengajak umat manusia untuk memandang manusia sebagai manusia dengan cara yang manusiawi. Ini adalah salah satu makna yang dapat diambil secara etimologis dari kata kemanusiaan. Makna yang perlu digaungkan pada zaman sebelumnya untuk mengajak umat manusia dari sifat-sifat hewani.

Dengan berkembangnya teknologi, pada era baru ini – dan untuk era yang akan datang, manusia kehilangan sisi kemanusiaannya, tapi dari sisi yang berbeda dari era sebelumnya. Menjadi manusia memang artinya bukan menjadi seperti hewan, dan menjadi manusia artinya juga tidak menjadi robot (produk teknologi). Hakikat robot adalah alat, adalah pelayan, adalah hamba bagi manusia. Manusia hakikatnya adalah tuan bagi robot dan teknologi. Bilamana hakikat ini kini terbalik, itu artinya manusia merobotisasi diri mereka, dan ketika itu terjadi maka dengan sendirinya pupus sisi kemanusiaan. Inilah sebuah pengertiaan baru dari kemanusiaan yang perlu dibangun untuk menyiapkan diri menghadapi perkembangan teknologi.

Ombak perkembangan teknologi tidak bisa dibendung oleh dinding apapun. Teknologi berkembang dengan segala konskuensi yang telah dijelaskan. Memaknai kemanusiaan dengan pengertian baru untuk menghadapi arus perkembangan zaman bukan berarti menumbuhkan sikap antiteknologi atau technophobia. Sikap anti itu justru sama sekali tidak sejalan dengan tabiat manusia sendiri yang terus berkeinginan juga berpikir. Sikap yang seharusnya dibangun adalah senantiasa membekali manusia terlebih dengan karakter kemandirian dan merdeka dari ketergantungan terhadap teknologi. Kalau pembangunan teknologi digencarkan, maka pembangunan manusia harus lebih gencar.

Kemanusiaan pada pengertian baru adalah tentang menggunakan smartphone (hardware) untuk meningkatkan produktivitas tanpa terlena dan meninggalkan kehidupan sosial, atau tentang tetap menggunakan artificial intelligence (software) untuk mempermudah pekerjaan tanpa lupa untuk mengembangkan kemampuan otak sendiri (brainware). Apabila kesadaran ini tidak dibangun, maka dampak buruk perkembangan teknologi yang sama-sama dirasakan pada zaman ini akan bertambah besar di zaman yang akan datang. Masa depan suram akan menjadi kenyataan. Kemanusiaan dengan pengertian baru akan menjadi seruan pamungkas bagi umat manusia untuk supaya tumbuh untuk membekali diri dengan pengetahuan lebih maksimal dengan upaya yang lebih besar juga. Dengan demikian, manusia menjadi mampu berposisi secara bijak sebagai tuan bagi teknologi dan bukan sebaliknya. Selaras dengan kutipan dari Stephen Covey, seorang penulis asal Amerika Serikat: Technology is great servant, but a bad master.”


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Semangat terus Ilmi Hatta, semangat, semangat, pantang menyerah

    BalasHapus