Header Ads Widget

Penggusuran Berkedok Relokasi

 

 oleh: Amru Balda


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau di mana mencakup pulau besar dan kecil yang merupakan satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial budaya, dan historis yang batas-batas wilayahnya ditarik dari garis pangkal kepulauan.

Berbicara tentang pulau, dilansir dari detikfinance pada 5 desember 2022 terdapat 100 pulau RI yang dilelang, belum puas dengan 100 pulau RI yang dilelang sekarang kita dihadapkan dengan Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Indonesia, yang katanya digadang-gadang akan menjadi lahan megaproyek eco city yang merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.

Awal mula masalah

Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Kala itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha. Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang. Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.

Mengutip Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002. “Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud MD. Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain. “Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.

Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. “Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD. Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002. “Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan," beber Mahfud.

Amru Balda: "Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” ucapnya lagi.(sumber compass.com)

Warga yang tak memiliki sertifikat.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). "Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, masih dikutip dari Antara. Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan HPL dari BP Batam. Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.

Bentrok warga dengan gabungan TNI dan Polri, belasan siswa terkena gas air mata.

Dilansir dari Antara, bentrok itu terjadi saat proses pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi.

akhirnya kericuhan terjadi bentrok antara sipil dengan aparat gabungan TNI dan Polri tak terelakkan. Warga sipil dengan bermodal badan maju membela tanah kelahiran mereka tanah warisan kakek buyut mereka dengan berani menghadang aparat gabungan TNI & Polri yang bersenjata lengkap perisai dan juga tongkat di sertai dengan gas air mata.

Keributan dipicu karena warga masih belum setuju dengan pengembangan kawasan tersebut yang merupakan kampung adat masyarakat Melayu. Akibat keributan tersebut, petugas terpaksa menembakkan gas air mata karena situasi yang tidak kondusif.

            Antara melaporkan beberapa siswa sekolah dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin. Lokasi anak-anak itu tidak jauh dari titik keributan.

             "Ada belasan siswa yang saya tahu dibawa oleh ambulans ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu tadi terbawa angin, karena ribut dekat dari sekolah kami," ujar Kepala Sekolah SMP Negeri 22 Muhammad Nazib.

        Saat ini, petugas gabungan masih berjaga di lokasi sampai situasi kondusif dan proses pengerjaan pengukuran lahan untuk proyek strategis nasional tersebut bisa diselesaikan pada hari ini.

        Sementara itu, BP Batam mengimbau agar masyarakat Kota Batam tidak terprovokasi dengan isu miring terkait pengukuran yang akan dilakukan di Kawasan Rempang.

        Beredar informasi terkait tindakan represif tim gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Ditpam BP Batam, dan Satpol PP terhadap masyarakat yang menghalangi jalannya tugas personel(CNN Indonesia)

Penyelesaian

Solusi di Pulau Rempang, dalam konferensi pers usai ratas, Bahlil mengungkapkan bahwa presiden meminta agar penyelesaian konflik Pulau Rempang diselesaikan secara kekeluargaan dengan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat sekitar di mana lokasi pembangunan diadakan.

Dia menjelaskan, dari 17 ribu hektare area Pulau Rempang, hanya sekitar 8.000 hektare lahan yang bisa dikelola. Sementara, pembangunan industri di Pulau Rempang hanya akan menggunakan 2.300 hektare lahan yang ada.

“Dari 17.000 hektare areal Pulau Rempang, yang bisa dikelola hanya 7.000 (hektare) lebih hingga 8.000 (hektare), selebihnya hutan lindung. Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel,” ujar Bahlil.

Kita sebagai sesama warga RI pastinya tak mau hal ini terjadi di daerah kita, tanah kelahiran kita, karena bagaimanapun tanah kelahiran adalah yang terbaik mekipun banyak hal yang kurang baik terjadi, yang bisa kita lakukan jika hal seperti di Pulau Rempang terjadi yaitu dengan menunjukkan sikap antusias kita sebagai sesama warga RI, bukan acuh tak acuh, masa bodo, atau bahkan merasa tak perlu ikut campur, bukan, RI ini negara demokrasi bukan otoriter yang mana salah satu dari 3 prinsip demokrasi Pancasila adalah kedulatan rakyat, yang berarti kekuasan tertinggi dalam suatu negra di tangan rakyat, maka bila ada keputusan pemerintah yang di nilai merugikan suatu golongan, kita selaku warga negara RI memiliki hak untuk memprotes, di era modern ini memprotes kebijakan pemerintah bukan hanya dalam bentuk demo, dengan menyebarkan opini-opini atau hal-hal terkait melaui internet, itu sudah masuk ke dalam bentuk kepedulian terhadap sesama warga RI.

 

Posting Komentar

0 Komentar