Header Ads Widget

Diskredit

Oleh : Ihya'

    Sore ini adalah sore yang maha romantis. Aura romansa secara dahsyat terasa di tempat ini. Wahana di mana kisah kasih bergejolak saling berpadu. Memesona tiada tara. Lokasinya tidak jauh dari stasiun Kiaracondong. Taman yang tidak pernah gagal untuk memantik berbagai gejolak rasa dalam hati. Dari laki-laki, perempuan, tua, muda, kaya, miskin, bahkan yang biasa, sampai yang ‘luar biasa’ semuanya datang meramaikan. Salah satu yang terbaik di Jawa Barat. Dari luar, dari jauh, keindahannya sudah terasa. Matahari menorehkan tinta jingganya di kanvas langit. Angin cinta berhembus bak melodi indah yang membuai sayap kecil rama-rama. Beraneka warna bunga-bunga tidak bisa menahan diri untuk ikut berdansa mengikuti alunannya. Hijaunya rerumputan ikut menari, meriap terpelihara. Konon, di sinilah tempat yang tepat untuk menggali makna cinta dari beberapa sudut.



Sebuah motor gede  berhenti di area parkir. Suaranya yang ‘sangar’ menarik perhatian para pengunjung di parkiran. Mobil, motor, sepeda, sampai kursi roda pun ikut melirik. ‘Moge’ yang baru saja datang ini bukan sembarangan. Tipe idaman para pemuda. Sayang, hanya orang-orang berdompet tebal saja yang bisa memilikinya. Lampunya, rodanya, peleknya, knalpotnya, body-nya yang merah menyala, semua detailnya siap membuat siapapun yang melihatnya ngeces. Di atas kuda besi itu, seorang pangeran tampan nan nirmala berboncengan mesra dengan kekasihnya yang juwita. 

“Ayok turun, Ay,” pinta sang pangeran kepada kekasihnya. Ketika kedua kaki sudah sempurna turun, ia melepas helmnya. Mereka berdua turun dari tunggangan berkelas mereka. 

Rama namanya, mahasiswa di salah satu kampus ternama. Wajahnya rupawan laksana pangeran. Keturunan keluarga yang terpandang. Rambut klimis disemir coklat menjadikannya idola di kampus. Apalagi dompetnya tebal, Rama tiada tandingannya. Lihatlah betapa kerennya dia ketika melepaskan helm. Postur tinggi besar badannya dibalut jaket hitam berbahan kulit. Tas berkelas melekat di punggungnya. Celana jeans dan sepatu bermerk menambah citranya. Perlente sekali. 

Julia, kekasihnya. Ia turun dari motor. Sedikit kesulitan karena terlalu tinggi. Namun dengan pengalaman dua tahun berpacaran dengan Rama, kini dia sudah terbiasa. Julia ini parasnya cantik luar biasa. Khas Sunda. Sunda ‘kentel’. Selaras dengan kerupawanan kekasihnya. Rambut panjangnya lurus mengkilap. Bibirnya, matanya, pipinya, seluruh lekuk wajahnya adalah keindahan. Badannya ramping ideal. Tingginya sepundak Rama, tinggi yang pas untuk dirangkul oleh sang pangeran. Tampilannya modis sekali. Pakaian yang ia sandang dari merk ternama. Juga celana, sepatu, tas, bahkan sepasang kaos kakinya pun dari merk ternama. Serba mahal. Dapat dari mana? Dibelikan oleh sang pangeran, siapa lagi?

“Sini aku bantu lepasin, Ay.” Rama menjulurkan tangannya. Ia bantu melepaskan helm pacarnya. Rambut indah Julia terurai menawan.

    “Hatur nuhun, Aaa….” Senyuman manis terkembang dari pipi Julia. Suaranya halus.

    “Ayuk, langsung masuk.” Rama menggandeng tangan Julia. Seakan-akan dunia mereka yang punya. Memangnya siapa yang punya dunia?

    Sebenarnya Rama enggan untuk ke tempat ini. Kalau saja bukan karena permintaan sang putri, mana mungkin mau dia ke taman ini. Di hati, dia menggurutu, baginya mending ke mal-mal bergengsi di kota, dia siap membelikan barang apapun untuk Julia, berapapun harganya. Dia terobsesi untuk mengenalkan kesaktian isi dompetnya. Gerutuan itu menjelma senyum sinis ketika mereka berdua sampai di loket tiket masuk. Cuma sepuluh ribu? Heh, murahan. Rama menahan gengsinya demi seringai kekasihnya.

    Mereka masuk ke area taman. Dua sejoli ini merasakan betapa lembutnya angin yang bertiup yang semakin geulis dihiasi kilasan cahaya core. Nama taman itu dipajang, gayanya khas dengan warna kuning keemasan. Melintas di depan mereka trem hijau yang disediakan murah untuk pengunjung yang hendak mengelilingi taman. Mobil kayuh, skuter dan sepeda-sepeda ikut meramaikan jalanan taman. Disewakan dengan harga yang terjangkau. Harga yang hanya secuil bagi Pangeran Rama. 

    “Wah, seru, kita naik itu yuk, Aaa.” Demi melihat warna-warni kendaraan yang melintas, Julia sangat antusias. 

    “Bolehhh,” jawab Rama singkat. Tidak ingin menolak. Palingan berapa sih?

    Tangan Rama ditarik, mereka berlarian kecil menuju satu sudut. Tempat penyewaan mobil kayuh. Rama mengeluarkan dompet maha tebalnya. Lembaran merah diserahkan. Wajah akang-akang mobil kayuh sekejap bingung. Tidak ada kembalian. Dibilang apa? Murahan. 

    Mereka kini mengendarai mobil kayuh berwarna kuning. Empat kursi yang tersedia di dalamnya hanya terisi dua. Tidak masalah. Kayuhan demi kayuhan mereka nikmati hingga letih datang. Lapar menyusul setelahnya. Belum usai waktu sewa, mereka sudah undur diri. Sayang uang, buang uang? Palingan berapa sih. Rama dan Julia berhenti di tempat penyewaan yang tadi untuk mengembalikan mobil kayuh. Wajah akang-akang mobil kayuh terlihat bingung – lagi.

    Sepeda listrik dan skuter melintas lagi di depan mereka. Wajah-wajah ceria penunggangnya menarik Julia untuk mencoba. Demi melihat raut kekasihnya yang tertuju ke kendaraan sewaan ‘murahan’ lainnya Rama langsung menggandeng Julia ke arah restoran yang ada di sana, mengalihkan fokus. Di antara hal-hal yang ‘murahan’ bagi Rama, makanan di restoran itu lumayan sesuai dengan standarnya. Yang satu ini memang mentereng. Logo kuning dengan bingkai merah, semuanya pasti kenal. 

    “Mau pesan apa, Ay?” Rama menawarkan.

    “Aku mau yang biasa aja,” jawabnya kurang yakin. Julia menunjuk salah satu pilihan menu yang biasa.

    “Yakin mau yang itu...?” Rama memastikan.

    “Eh, jangan, gak jadi.” Kurang yakin.

    “Kalau yang itu gimana?” Rama menunjuk salah satu pilihan, itulah yang paling hedon.

    “Hmmm… Terserah deh.” Kalimat legendaris itu akhirnya terucap. Raut wajah Julia menyiratkan dia sebenarnya ingin, tapi mahal sekali. Dia paham, kalaupun dia bilang iya, sang pangeran pasti tidak keberatan. Tapi, basa-basi saja. Terserah.

    Tidak perlu lama-lama. Paket burger paling mahal sudah di tangan mereka. Rama tersenyum, ini baru sekelas. Selembar daging tebal di tumpukan burger itu enak sekali. Juga Mc Flurry yang menggoda. Julia senyam-senyum sambil menikmati traktiran pacarnya. Beruntung sekali bisa bersama Rama. Berapapun harganya pasti dibelikan. Mereka melenggang ke arah jalanan. Hijaunya trem melintas lagi ke depan mereka.

    “Makan sambil naik itu, yuk!” pinta tuan putri.

    “Ayuk.” Rama tidak lagi risih. Barusan, dia sudah menunjukkan kesaktiannya. 

    Sambil menenteng makanan, mereka naik ke atas trem itu. Duduk di antara penumpang lainnya. Momen yang tepat untuk mengobrol sambil duduk tenang, mengikuti roda yang menggelinding mengitari area taman. Matahari sejengkal demi sejengkal beranjak ke ufuk barat cakrawala. Dedaunan melambai-lambai seakan menyapa. Di tengah, para pengunjung lain mulai ramai berkerumun. Di sana terdapat kolam dengan air mancur. Di atas keandaraan hijau terbuka itu, Rama dan Julia hanyut dalam obrolan ala muda-mudi.

    “Seneng gak?” Rama memulai.

     “Seneng apa, atuh?” Julia hampir tersedak, ia sedang mengunyah makanan.

    “Kamu seneng gak pacaran sama aku?” tanya sang pangeran, genit.

    “Ihh, kenapa nanya kayak gitu…” Sang putri tersipu malu. Senyumnya indah, sebelas dua belas dengan langit sore. Rama menatap pacarnya. Rautnya tenang. Sorot matanya menyiratkan dia menunggu jawaban darinya. 

    Julia paham. Dia menjawab anggun. Sejenak dia tinggalkan jajanan. “Hmmm... Lia seneng pasti.”

    Rama menyengir. “Kenapa emang kamu cinta sama aku?"

    “Ihh, kenapa sih pertanyaannya kayak gitu, atuh…” Julia bingung mengikuti alur cerita yang disusun Rama. Suaranya lembut khas sunda.

    Rama menyendok es krim dari cup di tangannya. “Masih cinta kan sama aku?” Ia mengarahkan es krim ke mulut, tapi matanya tidak bergeser dari Julia.

    “Iya dong,” jawabnya singkat. 

    “Kenapa cinta aku?” 

    “Ini harus dijawab gitu?” Julia gemas dengan pacarnya yang pertanyaannya ada-ada saja.

    “Kamu itu baik, ganteng....” Julia memberi jeda, keduanya salah tingkah. “Ganteng, terus selalu beliin apa yang Lia mau. Tas, sepatu, hp.”

    “Kamu juga cantik,” ucap Rama.

    Julia terbang. “Ihh….”

    “Suka kan sama hadiah-hadiahku?”

    “Iya, makasih.” 

    “Dijaga ya, jangan dihilangkan. Kalau hilang nanti...”

    Julia melirik, “nanti apa?”

    “Gak kok.” 

    “Kalau Aa cinta gak sama aku?” Julia bertanya balik.

    Rama memasang raut menyebalkan, meledek. “Iya gak yaa....” Julia mencubit pacarnya. Rama mengaduh. “Eh, iya dong iya.”

    Sudah cukup untuk yang satu ini. Bagaimana kisah barusan? Keren, menggugah, atau...? Biarlah, silakan nilai sendiri. Silakan refleksikan sendiri. Sekarang lupakan saja. Sungguh. Anggap saja angin lewat. Mari kita menilik kisah cinta yang lain. Di lokasi yang sama, di sudut yang tak terliput. Pemandangan yang acap kali dihiraukan. 

***

    Sore tadi memang sore yang maha romantis. Tapi ketika malam sudah datang, tempat ini jauh lebih romantis, bahkan terlampau indah untuk disebut romantis. Apakah ada istilahnya? Romantisme yang wujudnya terkadang tidak dianggap. 

    Seorang lelaki paruh baya bermuka kusam sedang ada di tengah taman. Baju sederhana, juga celana. Kusam, keringat di kulit menjelma daki. Pak Ujang namanya. Pria ini bukan priyayi, bukan orang berkecukupan, dia hanya tukang semir sepatu. Dia duduk di atas undakan yang ada di sekitar kolam. Air mancur yang bisa menari membuatnya rela hati. Angin malam lembut hilir mudik menambah kesan syahdu.

    Di sampingnya duduk pujaan hatinya. Tuan putrinya. Bukan di atas undakan kecil di sekitar kolam, bukan di kursi taman yang bagus, tapi di atas kursi roda lapuk yang peleknya mulai berkarat. Sang putri duduk tenang di atas singgasananya. Anak kecil lima belas tahun itu adalah anaknya, Tyas. Tidak berisik, tidak banyak keinginan. Bukan tanpa sebab. Kalau bisa, sebenarnya dia ingin ini, itu, semuanya. Kalau bisa. Tapi apalah daya, dari lahir dia sudah seperti ini, fisiknya ‘luar biasa’. Saraf-sarafnya sebagian besar lumpuh. Berbicara susah, makan dan minum susah, apalagi berjalan bahkan bersepeda, mustahil. 

    Garis tuhan ini menjadikannya kerap kali menjadi tontonan lirikan-lirikan melas. Tidak jarang juga yang berusaha menghindar untuk melihat wujudnya. Ibunya wafat ketika melahirkannya. Tinggalah ia sendiri dengan ayahnya. Pak Ujang tidak peduli dengan keramaian sekitar. Ia tidak peduli dengan mata-mata sinis, iba, atau yang berpaling sekalipun. Bisa jadi di mata orang lain anaknya adalah cacat, tapi bagaimanapun keadaan fisik Tyas, bagi Pak Ujang dia adalah hadiah teristimewa yang diberikan tuhan. Dialah tuan putri yang cantik jelita. Tidak peduli anggapan orang lain, merdeka dengan keadaan sendiri. Seakan-akan dunia milik mereka berdua. 

    Di dunia sendiri, keadaan hening, tidak ada percakapan. Gemercik air dan riuh pengunjung lain tidak terasa. Beberapa menit yang lalu, pikiran Pak Ujang kalut. Sebenarnya setiap hari pun sama. Besok akankah banyak pelanggan yang datang? Besok dapat uang berapa? Besok makan apa? Kapan bisa membayar hutang? Masihkah bisa ada uang tabungan untuk pengobatan Tyas? Keadaan membelenggunya untuk berkutat pada pekerjaan yang itu-itu saja. Dia tidak bisa meninggalkan putrinya. Pemasukan yang sesedikit itu apakah bisa membuat mereka terus hidup? Pertanyaan-pertanyaan yang setiap hari menghantui kepala Pak Ujang. Namun kini, di bawah sinar rembulan, di samping pujaan hatinya ketenangan datang. Semua beban itu hilang.

    Meskipun sebagian besar tubuh anaknya lumpuh, dia tahu Tyas bisa melihat keindahan dunia dengan mata jernihnya. Dia tahu Tyas akan bahagia dengan melihat keindahan taman ini. Tyas tertatih-tatih dalam tawa. Ia pasti sedang bahagia, pun Ayahnya terbahagiakan. Masa bodoh dunia dan penghuninya. Tyas bagi Pak Ujang adalah segalanya.

Tiket dua puluh ribu tidaklah murah bagi seorang tukang semir sepatu. Tapi dia berusaha untuk mengumpulkan uang agar bisa membawa tuan putrinya ke taman ini walau sekali saja. Walau sekali saja. Berada di samping Tyas tidak membuat Pak Ujang ‘senang’, tidak pula ‘gembira’. Tapi Pak Ujang sedetik pun tidak pernah kehilangan alasan untuk ‘bahagia’ setiap kali ada di dekat buah hatinya. Satu-satunya harapan hidupnya, satu-satunya pemantik semangatnya. Sesosok bidadari yang menjadi alasan untuk tidak pernah berputus asa dalam hidup. Sinaran rembulan mengguyur taman. 

Harta, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan jiwa siap untuk sang ayah korbankan. Ketika terik matahari membakarnya di masa-masa bekerja, Pak Ujang kerap berpikir untuk apa dia melakukan semua ini? Untuk apa keringatnya menetes? Linang air matanya, bahkan kalau perlu darahnya? Untuk apa? Kalau berhitung dengan jari, untung berapa yang akan ia dapat? Tidak ada sepeser pun. Tapi untuk apa semua lelah ini ia kerahkan? Sungguh malang lah Pak Ujang, karena kelak sampai nafas tidak lagi berhembus dari dadanya, dia tidak akan pernah menemukan alasan yang logis dan masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan itu. Karena nyatanya kepala terlalu sempit untuk membahasakan isi hati yang teramat luas. Lantas memang apa yang ada di hati Pak Ujang? Adalah Cinta. Cinta!

    Luar biasa bukan? Pastinya, tentunya, seharusnya. Tapi itu bagi kalian. Bagi Pak Ujang tidak. Ini hal yang biasa saja. Ia sendiri tidak pernah yakin apakah semua yang ia kerjakan sudah layak untuk membalas kebaikan Tuhan. Ia selalu merasa kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk membayar kehadiran Tyas, hadiah teristimewa sejagad raya. Karena itulah, kalimat ‘cinta’ tidak pernah terucap dari mulutnya, belum layak. Sang ayah tidak sanggup mengutarakan cintanya dengan kata-kata. Tidak. Tidak akan pernah bisa. Selamanya. 

    Waktu mengalir cepat. Dua puluh ribu dari kantong Pak Ujang habis cuma untuk duduk bersama pujaan hati di samping kolam ini. Hanya itu. Tidak ada yang lain.

    Bagaimana kisah barusan? Keren, menggugah, atau...? Yang manakah kisah cinta sejati? Silakan nilai sendiri. Kisah pertama hanya satu contoh dari jutaan kisah serupa yang ada di muka bumi. Begitu pun yang kedua. Sekali lagi, yang manakah kisah cinta sejati?

***

    Ayolah, mau sampai kapan kepala kita reflek menggambarkan kisah asmara muda-mudi ketika kata ‘cinta’ terdengar oleh telinga. Romansa tidak hanya kisah yang semacam Romeo dan Juliet saja. Lupakah kita dengan cinta dari seorang ibu yang siap menempuh ribuan – tidak – jutaan kilometer jarak demi anak-anak yang dicintainya. Atau kisah sosok para ayah di luar sana yang lebih menakjubkan dari cerita Pak Ujang. Atau guru-guru yang tidak pernah mengenal letih untuk mendidik para muridnya. Dan masih banyak yang lebih tinggi dan luar biasa. 

    Ayolah, sudah seberapa besar cinta kita kepada orang tua kita? Sudah cintakah kita kepada sahabat-sahabat kita? Bangsa kita? Islam kita? Kepada Rasul yang mencintai kita? Sudahkah kita mencintai Dzat Yang Maha Mencintai? Sudah atau belum? Jadi marilah, runtuhkan makna cinta yang terlalu sempit. Mari kembali muliakan makna cinta sebagaimana seharusnya. Mau sampai kapan kita akan terus mendiskreditkan harkat cinta? (diskredit: menjelekkan atau memperlemah kewibawaan sesuatu)


Posting Komentar

0 Komentar