Header Ads Widget

Darussalam Catering

Semudah itu Kamu Mengeluh?


Semudah itu Kamu Mengeluh?
Oleh : Si Waldar


Ketika malam datang semua orang beristirahat dari segala kegiatan, tak ada keramaian karena yang ada hanyalah kedamaian, tapi tidak bagi Rara seorang gadis SMA yang hidup di sebuah desa. Setiap malam pikirannya dipenuhi keramaian, berisi pernyataan yang selalu ia keluhkan. Sebelum tidur ia seringkali duduk termenung diatas kasur meratapi foto lama masa kecilnya bersama ayah dan ibu. Baginya dunia ini tidaklah adil, karena ia merasa hanya ia yang sejak kecil ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Tinggal dan dibesarkan oleh nenek adalah jalan hidupnya, tidak tinggal dengan keluarga yang lainnya karena mereka merantau dan tinggal di luar desa. Rara tak pernah menceritakan banyak hal kepada nenek karena takut menambah beban hidupnya, ia hanya menceritakan keluhannya kepada teman-temannya di sekolah.

Suatu hari di sekolah selepas isirahat bu guru masuk dengan seseorang yang asing, dari penampilannya ia seperti anak kota bukan anak dari desa, badannya standar -tidak tinggi juga tidak pendek- kulitnya bersih, penampilannya pun rapi berbeda dari teman-teman yang lain. Dan benar saja dugaan Rara dia adalah murid baru, Ia bernama Rahmi lahir dan besar di kota nan jauh dari desa. Katanya, ia pindah karena ingin sekali hidup di desa, hidup aman, tentram dan damai tanpa polusi udara.

Setelah memperkenalkan dirinya bu guru mempersilakannya untuk duduk di kursi kosong yang letaknya di depan dekat jendela tepat berada disamping Rara. Ia memiliki sifat yang pendiam kebalikannya dari Rara yang sangat suka bicara akan banyak hal. Sampai terkadang yang tidak penting ia bicarakan.

Hari-hari di sekolah berlalu begitu cepat, setelah beberapa bulan murid baru tersebut -yang bernama Rahmi- kini menjadi teman dekat Rara. Rara yang sudah merasa dekat dengan Rahmi tak merasa sungkan untuk menceritakan dan mengeluh akan banyak hal padanya. Semuanya ia ceritakan mulai dari pengalaman masa kecilnya sampai pengalaman yang ia lewati setiap harinya, tentu saja Rahmi sosok yang pendiam dapat mejadi pendengar yang baik baginya.

Jarak rumah yang hampir berdekatan menjadikan mereka selalu pulang bersamaan, walau berbeda arah ketika sudah di depan jalan pertigaan. Mereka melewati jalanan setapak yang dihimpit oleh hamparan sawah nan luas, berjalan di atas bebatuan dengan penuh kehati-hatian, sambil menikmati indahnya langit sore yang berwarna kejinggaan, dibalut angin sepoy yang menyejukkan. Pulang sekolah adalah moment yang paling mereka nikmati dan sukai, di sinilah waktu mereka bisa saling bencengkrama dan saling mendengarkan.

Sore itu Rara tidak menceritakan pengalamannya namun, ia menceritakan masa lalunya, ia bercerita tentang kedua orangtuanya. Rahmi pun sedikit kaget karena biasanya Rara hanya meceritakan berbagai pengalamannya yang menarik tanpa adanya topik keluarga,

“Mi, kamu tahu tidak alasan mengapa aku tinggal bersama nenek?! Jujur aku sayang sekali dengan kedua orang tuaku, namun, Allah SWT lebih sayang pada keduanya, orang tuaku mengalami kecelakaan setelah menghadiri acara di luar desa ketika aku berumur dua tahun, Itulah salah satu alasan yang mengharuskanku tinggal dengan nenek.

Setelah bercerita tanpa Rara sadari, ia mulai mengeluh dan membandingkan hidupnya dengan Rahmi, “Mi, kamu harus bersyukur sih, enak ya, Mi, kedua orangtuamu masih ada, apalah aku yang keduanya sudah tidak ada, serasa tidak ada tempat bercerita maupun bermanja, apalah aku yang sedari kecil hanya tinggal dengan nenek, saudara pun jauh karena tinggal di luar desa, hidup…hidup, ternyata seperti ini ya kehidupan, rasanya ingin sekali hidup dengan kedua orangtua yang lengkap seperti dirimu saat ini”,

“Iyaa, Ra, makasih sudah mengingatkanku, hehehe”.

Tak lama setelah Rahmi mengatakan hal tersebut, Rara melihat beberapa tetes air mata terjatuh di pipi Rahmi, ia mengusap kedua pipinya dengan cepat, seakan-akan tak ingin Rara mengetahui apa yang sedang Rahmi lakukan, padahal Rara melihatnya dengan jelas bahwa Rahmi  meneteskan air mata.

Keadaan menjadi hening dan sepi, kepala Rara mulai didatangi pertanyaan-pertanyaan mengenai Rahmi, ia pun membatin mengapa ia meneteskan air mata, apakah perkataanku sudah meyakiti hatinya?!, tapi setahuku orangtuanya masih lengkap kok, ah sudahlah, mungkin ia terharu dengan kisah yang aku ceritakan tadi.

Rara perempuan yang tidak menyukai keheningan dengan cepat ia memulai percakapannya kembali dan berusaha mengubah suasana seperti sebelumnya, “Mi, kok kamu nangis, sih? seperti ini saja kamu menangis, apalagi jika kamu berada diposisiku, jangan-jangan kamu terharu dengan kisahku, ya? Ada-ada saja kamu ini, Mi”.

Rahmi yang pendiam dan pendengar setia Rara, hanya tersenyum dan sedikit tertawa setelah mendengarnya sambil melanjutkan perjalanan, Hingga tak terasa mereka sudah berada di depan pertigaan jalan, yang mengharuskan mereka untuk berpisah dan berpamitan di sana, Rara pun berpamitan sambil bersalaman, kemudian melambaikan tanganya ketika sudah berjalan di jalan yang berbeda, “Sampai jumpa, Mi, kita ketemu nanti Maghrib di Masjid al-Iman, ya”,

“Iya, InsyaaAllah, Ra”


(Masjid Al-Iman adalah masjid umum di Desa, terletak di wilayah yang strategis tepat berada di pertengahan desa. Membuat banyak penduduk desa bersemangat menunaikan sholat berjamaah disana, termasuk Rara juga Rahmi yang biasanya ikut berjamaah Maghrib sepulang sekolah)

Setelah berpisah, mereka melanjutkan perjalanannya masing-masing di jalan yang berbeda, Rara yang berbelok ke jalan sebelah kiri terlihat senang dan bahagia menikmati perjalanan menuju rumahnya. Namun, Rahmi yang berbelok ke sebelah kanan terlihat menundukkan wajahnya, kebalikannya dari Rara. Seperti menahan amarah yang ingin dikerahkan namun ditahan dan berakhir menjadi tangisan.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Rahmi tak dapat membendung air matanya lagi, seakan bendungan itu pecah, membuat air mengalir dengan deras membasahi pipinya. Hatinya terisi dan dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan, perkataan Rara masih saja terngiang di kepala Rahmi, dirinya tenggelam dalam perkataan yang menyakitkan. Sesampainya di rumah ia segera masuk dan berlari menuju kamarnya di lantai dua. Tanpa memberi tahu bahwa ia sudah pulang, menutup pintu kamar dengan kencang dan mengunci dirinya di dalam. 

(Rahmi tinggal berdua dengan bibi, ia anak tunggal namun memiliki satu adik tiri. Kedua orangtuanya sibuk bekerja di luar desa)

Bibi yang sedang menyapu di ruang tengah heran melihat perbuatan Rahmi sepulang
sekolah sore itu. Dengan cepat bibi segera naik ke lantai dua dan mendekati pintu kamarnya, berdiam dan berdiri di balik pintu, berusaha ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan olehnya. Tak lama setelah berdiri di sana terdengar suara tangisan Rahmi dari dalam kamar, tangisan kecil dengan suara yang samar, seperti tangisan yang tertahan oleh bantal.

Tak lama dari itu adzan maghrib berkumandang bibi memberanikan diri mengetuk pintu
kamar untuk mengajak Rahmi sholat berjamaah seperti biasanya di masjid Al-Iman. Tok, tok, tok…

“Dek Rahmi, sudah adzan waktunya sholat maghrib, mau pergi jama’ah di masjid tidak?” tanya bibi dari balik pintu,

“Bi, hari ini aku libur dulu, ya, aku mau sholat di rumah” jawab Rahmi dari dalam kamarnya.

Akhirnya bibi pergi sendiri menuju masjid Al-Iman tanpa Rahmi, setelah usai sholat berjama’ah seperti biasanya para warga saling bersalaman satu sama lain, saling menyapa walau tak saling kenal, kecil maupun besar yang penting saling bermaafan, moment inilah yang memperkuat hubungan dan kerukunan antarwarga di desa.

Ketika hendak pulang dari Masjid, Rara menyapa bibi dan menanyakan Rahmi padanya, “Assalamu’alaikum, Bi, kok Rahmi tidak jama’ah bersama?”,

“Iya, Ra, Rahmi tidak jama’ah dulu hari ini, katanya ia ingin sholat di rumah, Oh iya Ra, tadi ketika di sekolah apakah kamu melihat ada yang membullying Rahmi?”,

“Tidak ada, kok, Bi, zaman SMA mana ada hal seperti itu setahuku di sekolah kami tidak ada, jarang sekali kasus seperti itu di desa, kebanyakan juga di kota, memangnya ada apa dengan Rahmi, Bi?”, tanyanya.

Bibi menceritakan semua kejadian yang terjadi pada Rahmi sepulang sekolah dengan Rara, usai mendengarkan bibi bercerita, pikiran Rara kembali dipenuhi pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada bibi,

“Bi, maaf nih, sebelumnya kalau boleh tau, kedua orang tua Rahmi masih lengkap, kan?, bahagia sekali sepertinya masih hidup bersama kedua orang tua yang lengkap”,

“Eh, kamu kalau bicara seenaknya saja, kedua orang tua dek Rahmi memang lengkap, Ra, tapi
sebenarnya ibu yang pernah kamu lihat itu adalah ibu tiri, keduanya sangat sibuk bekerja kamu tidak tahu bagaimana masa lalu yang sudah dihadapinya, saya tinggal bersama keluarganya semenjak Rahmi di kandungan hingga saat ini. Ibu kandungnya meninggal setelah melahirkan Rahmi”,

“Akhirnya ayah Rahmi menikah lagi dengan ibu tiri yang sudah mempunyai anak, dan ibu tirinya sangat tidak menyukai Rahmi, ia selalu dibanding-bandingkan sejak kecil dengan anaknya, selalu mencari kesalahan Rahmi untuk dilaporkan pada ayah. Ayah Rahmi sosok yang sabar mungkin, beliau tahu apa yang terjadi pada Rahmi, akhirnya dengan alasan ingin mempunyai rumah di desa, karena udaranya sejuk tidak sepeti di kota, ibu tirinya menyetujui alasan tersebut”,

“Ayah membeli rumah disini tak lain, supaya ia terlepas dari ibu tirinya. Ayah sangat sibuk bekerja di kantornya, terpaksa untuk tinggal di kota. Tapi setiap bulan ayah bersama ibu tirinya selalu menjenguk Rahmi dan menginap beberapa hari di desa. Nah, dulu yang kamu lihat ketika kamu ke rumah Rahmi, adalah ibu tirinya. Hari yang bertepatan dengan dijenguknya Rahmi oleh kedua orangtuanya”, kata bibi

Rara yang mendengarnya sangat terkejut, ia merasa sangat bersalah sudah melontarkan kata-kata seolah-olah hidupnya lebih menderita, padahal ketika itu yang mendengarkannya jauh lebih menderita darinya. Sudah ditinggalkan ibu kandung sedari lahir, hidup di lingkungan yang tidak mendukung, karena selalu dibanding-bandingkan, sedangkan Rara walau tumbuh dan dibesarkan oleh nenek, Rara tak pernah nenek bandingkan dengan orang lain, nenek selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh Rara.

Akhirnya Rara memutuskan untuk bertemu dan meminta maaf pada Rahmi, “Bi, boleh tidak aku ke rumah sekarang? Aku ingin berbicara pada Rahmi”,

"Iya, tentu saja boleh, Ra", jawab bibi dengan senang hati.

Mereka pun pulang bersama dari masjid menuju rumah Rahmi. 

Sesampainya di rumah Rara dipersilahkan duduk di ruang tamu untuk menunggu Rahmi. Bibi pun segera naik ke lantai dua untuk memanggil Rahmi. Tak lama setelah menunggu, Rara mendengar langkah kaki menuruni tangga, dengan cepat ia pun menoleh ke belakang tempat di mana tangga itu berada, memastikan bahwa Rahmi yang sedang menuruni tangga. Dengan cepat Rara berlari menuju Rahmi dan segera memeluknya,

“Ya
Allah, maafkan aku rahmi, aku merasa bersalah kemarin sudah bicara seenaknya saja, mengeluh dengan keadaanku tanpa tahu bagaimana keadaan dirimu yang sebenarnya, bibi sudah menceritakan semuanya kepadaku, mengapa kamu tidak menceritakan perihal kedua orangtuamu? Kita sudah menjadi teman yang dekat, bukan?!”,

“Ceritakan saja semuanya jangan kau tahan dirimu sendiri untuk menanggung semua
beban yang ada, aku siap untuk mendengarkan seluruh keluh kesahmu, kedepannya aku harap kau harus terbuka dan jangan tertutup lagi di depanku, aku baru tersadar harusnya aku lebih banyak bersyukur karena aku sempat hidup bersama keduanya”,

“Maafkan
aku yang selalu saja mengeluh kepadamu, terimakasih sudah menjadi perantara diriku untuk tidak mengeluh, menyadarkanku untuk lebih banyak bersyukur dan mengajarkanku untuk belajar menerima kenyataan yang ada dalam kehidupan”, ucap Rara dengan penuh penyesalan.


Posting Komentar

0 Komentar