Ketika
malam datang semua orang beristirahat dari segala kegiatan, tak ada keramaian karena yang ada hanyalah kedamaian, tapi
tidak bagi Rara seorang gadis SMA yang hidup di sebuah desa. Setiap malam pikirannya dipenuhi keramaian, berisi
pernyataan yang selalu ia keluhkan.
Sebelum tidur ia seringkali duduk termenung diatas kasur meratapi foto lama
masa kecilnya bersama ayah dan ibu.
Baginya dunia ini tidaklah adil, karena ia merasa hanya ia yang sejak kecil
ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Tinggal
dan dibesarkan oleh nenek adalah jalan hidupnya, tidak tinggal dengan keluarga yang lainnya karena mereka merantau dan
tinggal di luar desa. Rara tak pernah menceritakan banyak hal kepada nenek karena takut menambah
beban hidupnya, ia hanya menceritakan keluhannya kepada teman-temannya di sekolah.
Suatu
hari di sekolah selepas isirahat bu guru masuk dengan seseorang yang asing,
dari penampilannya ia seperti anak
kota bukan anak dari desa, badannya standar -tidak tinggi juga tidak pendek- kulitnya bersih,
penampilannya pun rapi berbeda dari teman-teman yang lain. Dan benar
saja dugaan Rara dia adalah murid baru, Ia bernama
Rahmi lahir dan besar di kota nan jauh dari desa. Katanya, ia pindah karena
ingin sekali hidup di desa, hidup aman, tentram dan damai tanpa polusi
udara.
Setelah memperkenalkan dirinya bu guru mempersilakannya untuk duduk di kursi kosong yang letaknya di depan dekat jendela tepat berada disamping Rara. Ia memiliki sifat yang pendiam kebalikannya dari Rara yang sangat suka bicara akan banyak hal. Sampai terkadang yang tidak penting ia bicarakan.
Hari-hari di sekolah berlalu
begitu cepat, setelah
beberapa bulan murid baru tersebut
-yang bernama Rahmi- kini
menjadi teman dekat Rara. Rara yang sudah merasa dekat dengan Rahmi tak merasa sungkan untuk menceritakan dan
mengeluh akan banyak hal padanya. Semuanya ia
ceritakan mulai dari pengalaman masa kecilnya sampai
pengalaman yang ia lewati setiap
harinya, tentu saja Rahmi sosok yang
pendiam dapat mejadi pendengar yang baik
baginya.
Jarak rumah yang hampir berdekatan menjadikan mereka selalu pulang bersamaan, walau berbeda arah ketika sudah di depan jalan pertigaan. Mereka melewati jalanan setapak yang dihimpit oleh hamparan sawah nan luas, berjalan di atas bebatuan dengan penuh kehati-hatian, sambil menikmati indahnya langit sore yang berwarna kejinggaan, dibalut angin sepoy yang menyejukkan. Pulang sekolah adalah moment yang paling mereka nikmati dan sukai, di sinilah waktu mereka bisa saling bencengkrama dan saling mendengarkan.
Sore
itu Rara tidak menceritakan pengalamannya namun, ia menceritakan masa lalunya, ia bercerita tentang kedua orangtuanya.
Rahmi pun sedikit kaget karena biasanya Rara hanya meceritakan berbagai
pengalamannya yang menarik tanpa adanya topik keluarga,
“Mi, kamu tahu tidak alasan mengapa aku tinggal bersama
nenek?! Jujur aku sayang sekali
dengan kedua orang tuaku,
namun, Allah SWT lebih sayang pada keduanya, orang tuaku mengalami kecelakaan setelah menghadiri acara di
luar desa ketika aku berumur dua tahun, Itulah salah satu alasan
yang mengharuskanku tinggal dengan nenek.
Setelah bercerita
tanpa Rara sadari, ia mulai mengeluh dan membandingkan hidupnya dengan Rahmi, “Mi, kamu harus bersyukur sih, enak ya, Mi, kedua
orangtuamu masih ada, apalah aku yang keduanya sudah tidak ada,
serasa tidak ada tempat bercerita maupun bermanja, apalah aku yang sedari kecil hanya tinggal dengan
nenek, saudara pun jauh karena tinggal di luar desa, hidup…hidup, ternyata seperti
ini ya kehidupan, rasanya ingin sekali hidup dengan kedua
orangtua yang lengkap seperti
dirimu saat ini”,
“Iyaa, Ra, makasih sudah mengingatkanku, hehehe”.
Tak
lama setelah Rahmi mengatakan hal tersebut, Rara melihat beberapa tetes air
mata terjatuh di pipi Rahmi, ia
mengusap kedua pipinya dengan cepat, seakan-akan tak ingin Rara mengetahui apa yang sedang
Rahmi lakukan, padahal
Rara melihatnya dengan
jelas bahwa Rahmi meneteskan air mata.
Keadaan menjadi hening dan sepi, kepala Rara mulai
didatangi pertanyaan-pertanyaan mengenai Rahmi,
ia pun membatin mengapa ia meneteskan air mata, apakah
perkataanku sudah meyakiti hatinya?!, tapi setahuku
orangtuanya masih lengkap kok, ah sudahlah, mungkin ia terharu dengan kisah
yang aku ceritakan tadi.
Rara perempuan yang tidak menyukai keheningan dengan cepat ia memulai percakapannya kembali dan berusaha mengubah suasana seperti sebelumnya, “Mi, kok kamu nangis, sih? seperti ini saja kamu menangis, apalagi jika kamu berada diposisiku, jangan-jangan kamu terharu dengan kisahku, ya? Ada-ada saja kamu ini, Mi”.
Rahmi yang pendiam dan pendengar setia Rara, hanya tersenyum dan sedikit tertawa setelah mendengarnya sambil melanjutkan perjalanan, Hingga tak terasa mereka sudah berada di depan pertigaan jalan, yang mengharuskan mereka untuk berpisah dan berpamitan di sana, Rara pun berpamitan sambil bersalaman, kemudian melambaikan tanganya ketika sudah berjalan di jalan yang berbeda, “Sampai jumpa, Mi, kita ketemu nanti Maghrib di Masjid al-Iman, ya”,
“Iya, InsyaaAllah, Ra”
(Masjid Al-Iman adalah masjid umum di Desa, terletak di wilayah yang
strategis tepat berada di pertengahan
desa. Membuat banyak penduduk desa bersemangat menunaikan sholat berjamaah disana,
termasuk Rara juga Rahmi yang biasanya
ikut berjamaah Maghrib sepulang
sekolah)
Setelah berpisah,
mereka melanjutkan perjalanannya masing-masing di jalan yang berbeda,
Rara yang berbelok
ke jalan sebelah
kiri terlihat senang dan bahagia
menikmati perjalanan menuju rumahnya. Namun, Rahmi yang berbelok ke sebelah kanan terlihat menundukkan wajahnya, kebalikannya dari Rara. Seperti
menahan amarah yang ingin dikerahkan namun ditahan dan
berakhir menjadi tangisan.
Di sepanjang
perjalanan menuju rumah Rahmi tak dapat membendung air matanya lagi, seakan bendungan itu pecah, membuat air
mengalir dengan deras membasahi pipinya. Hatinya terisi dan dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan, perkataan Rara
masih saja terngiang di kepala Rahmi,
dirinya tenggelam dalam perkataan yang menyakitkan. Sesampainya di rumah ia
segera masuk dan berlari menuju
kamarnya di lantai dua. Tanpa memberi tahu bahwa ia sudah pulang, menutup
pintu kamar dengan kencang dan
mengunci dirinya di dalam.
(Rahmi tinggal berdua dengan bibi, ia anak tunggal
namun memiliki satu adik tiri. Kedua orangtuanya sibuk bekerja di luar desa)
Bibi
yang sedang menyapu di ruang tengah heran melihat perbuatan Rahmi sepulang sekolah sore itu. Dengan cepat bibi segera
naik ke lantai dua dan mendekati pintu kamarnya, berdiam dan berdiri
di balik pintu,
berusaha ingin mengetahui apa yang sedang
dilakukan olehnya. Tak lama setelah
berdiri di sana terdengar
suara tangisan Rahmi
dari dalam kamar, tangisan
kecil dengan suara
yang samar, seperti tangisan yang
tertahan oleh bantal.
Tak
lama dari itu adzan maghrib berkumandang bibi memberanikan diri mengetuk pintu kamar untuk mengajak Rahmi sholat
berjamaah seperti biasanya di masjid Al-Iman. Tok, tok, tok…
“Dek Rahmi, sudah adzan waktunya sholat maghrib, mau pergi
jama’ah di masjid tidak?” tanya bibi dari balik pintu,
“Bi, hari ini aku libur dulu, ya, aku mau sholat di rumah” jawab Rahmi dari dalam kamarnya.
Akhirnya
bibi pergi sendiri menuju masjid Al-Iman tanpa Rahmi, setelah usai sholat berjama’ah seperti biasanya para warga
saling bersalaman satu sama lain, saling menyapa walau tak saling kenal, kecil maupun besar yang penting saling bermaafan, moment inilah yang memperkuat hubungan dan kerukunan antarwarga di desa.
Ketika hendak pulang dari Masjid,
Rara menyapa bibi dan menanyakan Rahmi padanya, “Assalamu’alaikum, Bi, kok Rahmi tidak jama’ah bersama?”,
“Iya, Ra, Rahmi tidak jama’ah dulu hari ini, katanya ia
ingin sholat di rumah, Oh iya Ra, tadi ketika di sekolah
apakah kamu melihat ada yang membullying
Rahmi?”,
“Tidak ada, kok, Bi, zaman SMA mana ada hal seperti itu setahuku di
sekolah kami tidak ada, jarang sekali
kasus seperti itu di desa, kebanyakan juga di kota, memangnya ada apa dengan Rahmi,
Bi?”, tanyanya.
Bibi menceritakan semua kejadian yang terjadi pada Rahmi sepulang sekolah
dengan Rara, usai mendengarkan bibi bercerita, pikiran
Rara kembali dipenuhi
pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada bibi,
“Bi, maaf nih, sebelumnya kalau
boleh tau, kedua orang tua Rahmi masih
lengkap, kan?, bahagia
sekali sepertinya masih hidup bersama kedua orang tua yang lengkap”,
“Eh, kamu kalau bicara seenaknya saja, kedua orang tua dek Rahmi memang
lengkap, Ra, tapi sebenarnya ibu yang
pernah kamu lihat itu adalah ibu tiri, keduanya sangat sibuk bekerja kamu tidak tahu bagaimana masa lalu yang sudah
dihadapinya, saya tinggal bersama keluarganya
semenjak Rahmi di kandungan hingga saat ini. Ibu kandungnya meninggal
setelah melahirkan Rahmi”,
“Akhirnya ayah Rahmi menikah lagi dengan ibu tiri yang sudah mempunyai
anak, dan ibu tirinya sangat
tidak menyukai Rahmi, ia selalu
dibanding-bandingkan sejak kecil dengan anaknya,
selalu mencari kesalahan
Rahmi untuk dilaporkan pada ayah. Ayah Rahmi sosok yang sabar mungkin, beliau tahu apa yang terjadi
pada Rahmi, akhirnya
dengan alasan ingin
mempunyai rumah di desa, karena
udaranya sejuk tidak sepeti di kota, ibu tirinya menyetujui
alasan tersebut”,
“Ayah membeli rumah disini tak lain, supaya ia terlepas dari ibu tirinya. Ayah sangat sibuk bekerja di kantornya, terpaksa untuk tinggal di kota. Tapi setiap bulan ayah bersama ibu tirinya selalu menjenguk Rahmi dan menginap beberapa hari di desa. Nah, dulu yang kamu lihat ketika kamu ke rumah Rahmi, adalah ibu tirinya. Hari yang bertepatan dengan dijenguknya Rahmi oleh kedua orangtuanya”, kata bibi
Rara
yang mendengarnya sangat terkejut, ia merasa sangat bersalah sudah melontarkan kata-kata seolah-olah hidupnya lebih
menderita, padahal ketika itu yang mendengarkannya jauh lebih menderita darinya. Sudah ditinggalkan ibu kandung sedari
lahir, hidup di lingkungan yang tidak mendukung, karena selalu dibanding-bandingkan, sedangkan
Rara walau tumbuh dan dibesarkan oleh nenek, Rara tak pernah
nenek bandingkan dengan orang lain, nenek selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh Rara.
Akhirnya Rara memutuskan untuk bertemu dan meminta maaf pada Rahmi, “Bi, boleh tidak aku ke rumah sekarang? Aku ingin berbicara pada Rahmi”,
"Iya, tentu saja boleh, Ra", jawab bibi dengan senang hati.
Mereka pun pulang bersama dari masjid menuju rumah Rahmi.
Sesampainya
di rumah Rara dipersilahkan duduk di ruang tamu untuk menunggu Rahmi. Bibi pun segera naik ke lantai dua untuk
memanggil Rahmi. Tak lama setelah menunggu, Rara mendengar langkah kaki menuruni tangga, dengan cepat ia pun
menoleh ke belakang tempat di mana
tangga itu berada, memastikan bahwa Rahmi yang sedang menuruni tangga. Dengan
cepat Rara berlari menuju Rahmi dan
segera memeluknya,
“Ya Allah,
maafkan aku rahmi, aku merasa
bersalah kemarin sudah bicara seenaknya saja, mengeluh dengan
keadaanku tanpa tahu bagaimana keadaan dirimu yang sebenarnya, bibi sudah menceritakan semuanya
kepadaku, mengapa kamu tidak menceritakan perihal kedua orangtuamu? Kita sudah menjadi
teman yang dekat, bukan?!”,
“Ceritakan
saja semuanya jangan kau tahan dirimu sendiri untuk menanggung semua beban yang ada, aku siap untuk mendengarkan seluruh keluh kesahmu,
kedepannya aku harap
kau harus terbuka dan jangan
tertutup lagi di depanku, aku baru tersadar harusnya aku lebih banyak bersyukur
karena aku sempat hidup
bersama keduanya”,
“Maafkan aku yang selalu
saja mengeluh kepadamu, terimakasih sudah menjadi
perantara diriku untuk tidak
mengeluh, menyadarkanku untuk lebih banyak bersyukur dan mengajarkanku untuk belajar menerima
kenyataan yang ada dalam kehidupan”, ucap Rara dengan penuh penyesalan.
0 Komentar