Header Ads Widget

Panggung Pentas Surgawi

Oleh: Ihya

Gontor, Darussalam, kampung damai, surga satu menara, atau apapun itu sebutannya. Betapa aku sangat beruntung bisa menjadi bagian darinya. Dari zaman ke zaman aku selalu ada. Menyaksikan dinamika yang gempita di dalamnya. Indah tiada tara. Mari sejenak tenggelam dalam khayal untuk menghadirkan kembali butiran-butiran kenangan.

***

Waktu sebentar lagi senja, lamunan-lamunan anak baru menghiasi. Lihatlah tangan-tangan mungil mereka. Pisang goreng, pukis, onde-onde dari dalam plastik kresek dicomot satu persatu. Nyam nyam nyam… Bincang sana, bincang sini. Suka dan duka berpentas di atas panggung ini.

“Ana gak betah di rayon nih, Rif.” Seorang anak berseru kesal kepada teman di sampingnya.

Naf’an namanya. Badannya kecil sesuai umurnya. Mungil badannya sangat kentara karena baju kedodoran yang dipakainya. Juga songkoknya yang kebesaran serta agak miring ke sisi kanan. Siku kanannya hitam. Konon itu adalah cap resmi sebagai bukti bahwa dia sudah sah disebut santri. Sarung yang sangat ‘rapi’ dengan ekor sabuk yang belum dipotong membuat orang lain hanya butuh melihat sekilas saja untuk yakin bahwa anak ini adalah anak baru, anak kelas satu. Di sore yang memesona, anak kelas satu itu menumpahkan semua keluh kesahnya. 

“Anta kenapa, An? Coba cerita deh sama ana.” Teman di sampingnya bergeser mendekat. Ia mengulurkan tangannya lalu merangkul pundak Naf’an. Bak karib sejati, telinganya siap mendengar semua keluhan dari hatinya. Arif nama anak itu.

“Masa kemarin ana udah masuk mahkamah, tapi tadi ana lupa ngumpulin kertas jasus. Terus, kata Al-Akhnya ba’din ana otomatis masuk mahkamah lagi. Padahal ana kan mau ngambil tabsis. Fulus ana udah habis soalnya. Harus bayar ini-itu. Terus, mana tadi ana dimarahin sama Al-Akh gara-gara haris. Katanya kurang bersih. Terus kan ya, sapu hujroh ana itu rusak, jadi ya gimana lagi susah. Terus, ana telat lagi tadi. Terus, temen-temen hujroh ana pada ngomel sama ana….” Matanya mulai berkaca-kaca merenungi nasib sialnya masuk mahkamah, tapi mulutnya masih – nyam nyam nyam – mengunyah makanan dari kresek hijau. Pisang gorengnya habis sudah oleh Naf’an. Arif di sisinya menyimak takzim semua keresahan temannya yang isinya “terus, terus, dan terus” sambil mengunyah onde-onde yang dibelinya di Walapa. Nyam, nyam, nyam!

“Kalau begini terus ana gak betah nih, Rif,” lanjut Naf’an. “Ana mau pulang aja deh!”

“Eh jangan!” Ucap Arif reflek. Sudah waktunya dia mengerem gerutuan temannya. “Jangan begitu, An, ishbir! Kalau anta pulang, nanti orang tua anta pasti kecewa. Anta mau membanggakan orang tua kan? Man Shabara Dzafira!” Terucap sudah kalimat magis itu. Naf’an termenung. Tidak ada lagi sendu di obrolan selanjutnya. Sisanya adalah gurauan yang menerbitkan senyum di pipi mereka.

Obrolan khas anak kelas satu. Tentang betah tidak betah. Hukuman dari Al-Akh mudabbir. Perbincangan tentang kapan terakhir menyuci pakaian. Bahkan, tentang harga teraktual jasa cuci pakaian di Bagian Penatu. Siapa sangka percakapan sepolos ini ternyata sangat indah. Semakin indah lagi ketika semua obrolan itu dilakukan sambil menyantap jajanan Walapa – nyam nyam nyam. 

Tapi pentas tidak berhenti di situ. Di sekeliling Naf’an dan Arif banyak santri lain yang berkutat dengan urusannya masing-masing. Sebagian menghafal pelajaran dengan syahdu. Sebagian lain melantunkan tilawah dengan merdu. Tidak luput ada anak-anak baru yang berlari-larian mengusili satu sama lain. Ada juga yang hanya melamun saja memandangi lalu lalang santri yang diselimuti sinar jingga mentari. Sukar dicari mahal harganya.

Masih di sore yang sama. Ketika kebanyakan santri sedang menongkrong di panggung ini dengan pakaian shalat. Dua anak ini tidak. Kaos rayon dan celana training nan bersahaja. Papan nama tak ketinggalan tersemat di dada, merah dan hijau. Anak-anak lama bekerja di bawah langit yang putih. Menyapu tangga tugasnya. 

“Ente dari sana, ana dari sini ya!” Syauqi berseru ke temannya dari sudut ke sudut lainnya.

“Oke!!!” Sahut Farhan dari jauh.

Tidak banyak percakapan. Fokus bersih-bersih. Tidak ada upah, tanpa ada bayaran. Tapi jika kalian melihat sepasang sandal jepit yang talinya dicantolkan di batang sapu mereka. Atau jika kalian memandangi ayunan-ayunan sapu mereka ketika menghempaskan debu. Atau jika kalian menatap betapa tulusnya senyum Syauqi dan Farhan ketika berpacu dari pojok ke pojok lalu turun selangkah demi selangkah ke bawah. Niscaya kalian akan percaya bahwa uang sungguh tidak bernilai apa-apa. Sungguh, mereka mendapatkan sesuatu yang terlampau jauh lebih berharga. 

Nuansa di pagi hari tidak kalah bergengsi. Dari ufuk timur sang surya menyapa hangat. Cahayanya membuai genteng-genteng pergedungan juga ranting-ranting pepohonan. Hangatnya menyapa embun-embun pagi yang bersembunyi di balik dedaunan. Miniatur majelis-majelis ilmu mempercantik nuansa. Tiga anak itu berjejer belajar.

Al-Ilmu shaydun, wal kitabatu…,” ucap anak pertama menghafalkan Mahfuzhat, lupa-lupa ingat. Namanya Ferdi, asal Medan. Siapa saja yang mendengar intonasi suaranya pasti bisa mengenal itu.

Di sebelah kanannya Yadi sibuk dengan pena dan buku tulisnya. Mencatat, mencorat-coret, sampai menggambar-gambar. Dia sedang membuat khulashah alias rangkuman. Anak asal Lombok itu berusaha menerjemahkan setumpuk materi di buku biologi tebal di pangkuannya dengan cara-cara sederhana.

Lain halnya dengan Andhika. Di sudut, dia tenggelam dalam hening. Punggungnya bersandar ke pagar. Buku Tarikh Islam di tangan kirinya, pena merah di tangan kanannya. Dari tadi wajahnya serius berusaha mencerna kata demi kata pelajaran dari bukunya. Setiap kali mendapati poin yang penting, tangan anak Kalimantan ini sigap menggarisbawahi dengan tinta merah. Sesekali jemarinya mengelus dagu polosnya laksana filsuf yang sedang mengelus jenggotnya, merumuskan teori.

Bermacam suku, bermacam daerah, bermacam latar belakang berpadu di sini. Tempat ini diselimuti harmoni, tidak ada satu celah pun untuk kata ‘perpecahan’. Sekitar mereka riuh ramai. Satu dua belajar sambil bergurau. Atau mungkin lebih cocok disebut bergurau sambil bercanda. Sebagian mengantuk, kepalanya mengangguk-angguk. Kegiatan makan tak terelakkan, molen pisang dan susu hangat menemani sebagian lain. Lagu-lagu Bahasa Arab atau Inggris dari instalasi-instalasi menggemakan dendangannya.

Muwajjah. Kegiatan belajar bersama anggota kelas dengan bimbingan wali kelas. Dari berbagai tempat yang ada, di sinilah tempat paling favorit. Bagaimana tidak? Kemegahan matahari terbit terpampang bak sinema dengan larikan-larikan sinar yang terpancar. Jalanan lurus di depan dipenuhi oleh kaki-kaki yang bersantai dalam jalan dan yang terburu dalam lari. Ada yang memegang buku, ada yang mencangking sepatu, ada yang menenteng kresek jajanan, ada juga yang menggenggam erat piring melamin dengan corat-coret cat minyak di atasnya. Lebih mengesankan dari jutaan film? Bisa jadi. Percayalah, siapa saja yang menyaksikan semua kejadian ini langsung dengan mata kepalanya, satu pertanyaan yang akan keluar dari benaknya: Apakah ini surga?

Hei! Siapa bilang pagi hari libur tidak ada apa-apa? Justru ia lebih istimewa. Keistimewaan itu ada pada keringat di baju yang belum sepenuhnya mengering. Kaos rayon setengah wangi setengah buluk. Ustadz Pengasuhan berdiri tegak, jari telunjuknya mengacung-acung dari bawah memberi instruksi. Dari kejauhan beberapa ‘tuyul’ membopong karpet merah berdebu, papan namanya oren. Satu ‘tuyul’ lain berpapan nama coklat menyiapkan slang yang siap memuntahkan air bersih.

“Kenapa botak, akhi?” Sambil mengelus-elus kepala salah seorang santri yang gundul, ustadz pengasuhan bertanya.

“Hehehe… gara-gara terlambat ke kelas, Ustadz.” Santri gundul berbadan tambun itu meringis tulus tanpa beban, tanpa susah, tanpa dendam. Lipatan karpet merah di pundaknya menegaskan betapa tulusnya ia.

“Gara-gara terlambat ke kelas terus digundul?” Ustadz pengasuhan masih penasaran.

“Terlambatnya lima kali, ustadz, hehehe” Jawaban yang polos dan lugu. Tapi hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak sedikitpun menciutkan hatinya. Malahan dia tersimpul tenang. Paham dan rela dengan segala ketentuan.

Demi melihat wajah lugunya, ustadz pengasuhan turut tertawa sambil terus mengelus licin kepalanya. “Ya sudah, yang penting jangan diulangi ya.” Si tambun naik, melanjutkan tugasnya.

Jum’at pagi, waktunya mencuci karpet. Karpet merah dibentangkan  from the corner until the corner – dari ujung sampai ujung. Lebar, luas, dan berdebu. Sepuluh pasukan loyal siap berjuang dengan senjata mereka: sapu lidi, slang, kaki, dan tangan. Al-Akh Ta’mir dan Keamanan tidak absen dari kerja bakti ini. Semprotan air slang diarahkan oleh seorang santri ke setiap jengkal karpet. Tangannya cermat dan telaten. Satu-dua menit masih serius. Menit ketiga sudah mulai bosan. Ide muncul. Ia tersenyum. Slang diarahkan ke arah teman-temannya, iseng. Air mengguyur mengincar teman-temannya. Mereka yang takut basah berhamburan sambil mengaduh-aduh. Marah tapi senang. Setengah senang, setengah marah. Keisengan ini berhasil membuat pagi itu diwarnai tawa. Sekaligus berhasil membuat kaos rayon dan celana basah. 

Ustadz pengasuhan yang dari tadi memperhatikan menegur mereka. Wajahnya ‘dipaksa’ tegas. Di balik itu sebenarnya dia juga ingin terpingkal-pingkal melihat keisengan ‘tuyul-tuyul’ di depannya. Kerja bakti kembali serius. Bagian-bagian karpet yang sudah basah ditaburi detergen. Dari atas sampai bawah. Kerja bakti dalam mode serius hanya untuk beberapa saat. Sampai santri tambun yang mengangkat karpet tadi terpeleset karena licin. Sekejap semuanya berpaling dan diam. Satu, dua, tiga. Si tambun itu berdiri menggaruk-garuk kepala, sisi belakang bajunya basah semua. Bukannya kesakitan, ia malah tertawa polos. Badannya yang gempal melindunginya dari cedera, sekaligus membuat tawanya terlihat semakin jenaka. Teman-teman lain menyambut tawanya dengan terbahak-bahak. Kali ini Al-Akh Ta’mir dan Keamanan tidak bisa menahan wajah tegangnya, bahkan ustadz pengasuhan ikut terbahak-bahak. Lucu sekali anak itu. Semuanya tertawa dalam keseruan yang tak tergambarkan. Mungkin, orang-orang yang pernah merasakannya langsung akan bertanya: yang seperti ini adakah tandingannya?

Lain waktu, lain cerita. Pentas tidak selalu menyajikan kesenangan. Memang keindahan tidak selalu berwujud tawa dalam senang. Terik yang menyengat di siang hari paham betul akan hal itu. Anak-anak kelas lima berjejer dengan pakaian shalat yang rapi. Tidak ada senyum, apalagi tawa. Raut penyesalan dan lelah gamblang terpajang di wajah mereka. Di bagian belakang, keringat sudah menggenang di pakaian. Keringat mengucur deras. Menetes-netes sampai mengenai papan nama kuning mereka. Di hadapan ustadz pengasuhan berwajah galak mereka dijemur sambil melantunkan kidung pengakuan.

“Ilaahi lastu lil firdausi ahla, wa la aqwa ‘ala naaril jahimi…” Serempak dengan nada dan irama yang sama. Juga yang terpenting dengan perasaan yang sama. 

Fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghaafiru dzanbil azhimi.” Meskipun perasaan tak karuan, harus tetap bertahan. Meskipun tidak disukai, tapi harus tetap dijalani.

Dzunubi mitslu a’dadi rimaali, fahabli taubatan ya dzal jalali.” 

Mana mungkin ada orang yang suka dihukum. Dihukum pasti tidaklah menyenangkan. Tapi justru karena rasa tidak menyenangkan itulah lantas ia disebut hukuman. 

“Wa ‘umri naaqishun fi kulli yaumin, wa dzanbi zaaidun kaifa ihtimaali.” 

Mana mungkin ada orang yang suka dihukum. Namun bagaimanapun hukuman adalah obat bagi pelanggaran dan pembangkangan. 

Ilaahi ‘abdukal ‘aashi ataaka, muqirran bi dzunubi wa qad da’aka.”

Mana mungkin ada orang yang suka dihukum. Bahkan, si penghukum pun sejatinya tidak suka untuk menghukum. Kalau saja bukan demi perbaikan, urusan ini pasti sudah dari awal ditinggalkan.

Fa in taghfir fa anta lidzaka ahlu, wa in tathrud faman narju siwaka.” Hukuman usai. Kaki anak-anak kelas lima itu menghembuskan nafas lega.

Sebenarnya apa yang mereka langgar? Anak-anak ini absen tidak ke masjid. Seharusnya hukuman mereka digundul, tapi nasib baik ustadz pengasuhan masih sedikit berbelas kasih, mereka diberi keringanan dengan hukuman dijemur. Waktu terbuang, kepanasan, keringat mengotori pakaian, setiap dari anak kelas lima itu menerimanya sebagai lelaki sejati. Sudah biasa. Mereka tahu betul konsekuensi yang harus dipikul dari perbuatan mereka. Di akhir ustadz pengasuhan memberikan sepatah dua patah kalimat pamungkas untuk menyadarkan para pelanggar ini. Walau sudah ratusan kali, tapi harus terus disampaikan lagi dan lagi. Tidak masalah kalau memang perlu ping sewu – seribu kali. Prosesi hukum-menghukum tunai. Para pelanggar bubar.

Tidak butuh satu menit, wajah masam nan kusam di kepala mereka sirna. Perut lapar menuntun mereka ke arah casefo dan kiwako, dua kantin terbaik setanah air. Kantong saku yang kering menuntun sebagian lain untuk mengambil piring dan melangkah ke dapur umum, restoran terbaik sebima sakti. Beberapa masih beraut kecut hingga temannya merangkul, menghibur. Saling menguatkan. Sang ustadz menetap sesaat, mengusap keringat dengan sorban putih sepeninggal mereka. Seolah-olah dia tidak hanya menghukum, tapi dia juga turut dihukum. Keringat tidak kalah deras mengucur dari kulitnya. Sambil menonton langkah kaki mereka menari-nari, ia turut bersenyum. Hanya satu yang dipikirkannya: In Uriidu Illal Ishlah.

Purnama di malam hari menceritakan kisah yang lain lagi. Kisah tentang siswa akhir. Pemuda-pemuda yang sudah lama melewati siang-siang panas seperti tadi. Angin malam berdesau lembut menerpa wajah, sarung, dan sajadah. Di tengah, dua gelas kopi hangat terseduh di dalam gelas karton, menemani dua karib yang sedang mengobrol santai. Yang satu perawakannya besar gagah, yang satu lagi kecil tapi bersahaja.

“Gak kerasa, sebentar lagi alumni ya, Cil?” Yazid memulai obrolan dengan pertanyaan. Jas hitam, papan nama hitam, songkok hitam disandang rapi sambil duduk di atas tilam. 

“Iya nih.” Ucil menjawab singkat sambil menyeruput kopinya. Slurp. Berbeda dengan Yazid, Ucil menanggalkan songkok dan jasnya. Dia ingin menikmati setiap hembusan udara yang hilir mudik mengorbit tubuh mungilnya.

“Perasaan baru kemarin capel,” lanjut Yazid.

“Ya namanya juga waktu – Slurp – Intinya bersyukur aja sih, sudah bisa sampai titik ini,” seruputan dan kebijaksanaan dari Ucil.

“Ente udah kepikiran mau ngapain kalau udah lulus?” Yazid melontarkan pertanyaan yang amat berat untuk temannya.

“Wah, pertanyaan berat nih, coba deh ente dulu yang cerita,” balas ucil. Sekali lagi dia menyeruput kopinya. Slurp.

“Ana mau lanjut kuliah di luar negeri, Cil, Mesir. Iya, Mesir, ana mau lanjut ke Al-Azhar. Pak Kiai, Ustadz-ustadz sering sebut nama Al-Azhar, Kairo. Ana penasaran, memang seperti apa sih Al-Azhar itu. Ana harus bisa ke sana.” Yazid mengumbar citanya penuh keyakinan, ucapannya semangat berapi-api.

“Keren!” Ucil berkomentar sambil mengacungkan jempol.

“Gantian ente cerita,” pinta Yazid.

Ucil menunduk sebentar, menarik napas kemudian mendongak menatap langit. Ia tersenyum. “Kalau ana sederhana aja, Zid. Ana mau kembali ke kampung ana di Sulawesi, mengabdi ke masyarakat. Ana bakal mengajar. Entah mau mengajar Al-Qur’an, Bahasa Arab, atau ilmu-ilmu lainnya, apapun itu yang penting ana terus mengajar sampai akhir hayat ana.” Bagaikan air, ucapan Ucil mengalir menghanyutkan.

“Keren, Cil. Ente bakal jadi ‘orang besar.’”

“Orang besar? Ana gak mau jadi orang besar, ana mau jadi orang biasa aja.”

“Eh, bukan itu maksudnya, masa ente lupa. Kata Kiai Imam Zarkasyi: ‘Orang besar itu adalah mereka yang lulus dan keluar dari pesantren ini, kemudian dengan ikhlas mengajarkan ilmunya kepada orang-orang di pelosok-pelosok desa, sampai di kaki-kaki gunung, di manapun mereka berada, di bukit-bukit, atau di kolong jembatan sekalipun’. Itu orang besar, Cil.” Yazid menerangkan dengan baik. Intonasi suaranya, gestur tubuhnya, mimiknya yang meyakinkan membuat Ucil menyimak takzim.

“Kalau gitu, InsyaAllah, kita semua akan jadi ‘orang besar’, Zid.” Tangan Ucil menggapai pundak temannya. Kalimatnya singkat padat namun mengandung sejuta makna dan asa. 

Obrolan berlanjut, mereka membahas masa lalu dan masa depan. Masa lalu tentang hari-hari berat yang telah dilewati. Masa depan tentang hari-hari esok yang penuh kabut misteri. Perbincangan hangat itu diselingi diskusi-diskusi ilmiah. Fiqih, Aqidah, Bahasa Arab, sampai sejarah. Gelak tawa menjadikan percakapan tidak membosankan. 

Mereka tidak hanya berdua. Teman-teman seangkatan ada di kanan dan kiri mereka. Berkumpul dengan karib masing-masing. Membuat lingkaran-lingkaran yang berisi obrolan hangat. Tak luput membawa gelas-gelas kopi yang juga hangat. Mereka bertahan hingga tengah malam. Ketika kantuk sudah tak lagi bisa dikompromi. Satu per satu kelas enam yang sahirul layal ini bertumbangan. Tidak butuh kasur mewah. Cukup kasur sederhana, atau hanya dengan sajadah saja tidak masalah. Tidak terasa, ketika purnama bersinar terang dikelilingi bintang, Ucil dan Yazid sudah tertidur pulas. Pulas sekali, sampai mendengkur. Malam ini, dalam tidur, cita-cita tinggi mereka mungkin masih hadir dalam proyeksi mimpi, tidak nyata. Tapi lusa, ketika mereka sudah terbangun, mereka akan berdiri tegak menjadi sesosok yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara – orang besar

***

Gontor, Darussalam, kampung damai, surga satu menara, atau apapun itu sebutannya. Betapa aku sangat beruntung bisa menjadi bagian darinya. Dari zaman ke zaman aku selalu ada. Menyaksikan dinamika yang gempita di dalamnya. Indah tiada tara.

Aku adalah tempat jutaan citra dipetik dari kamera. Tidak ada perfotoan yang tidak diadakan di atasku. Perfotoan kelas, rayon, klub, kursus, instansi, asisten OPPM, angkatan, OPPM, Koordinator, proletar, Asatidz, sampai tamu-tamu besar nasional dan internasional. Aku menyaksikannya.

Aku adalah saksi tangisan haru para wali calon pelajar yang pecah ketika deretan angka-angka itu disebutkan. Aku adalah sosok yang menyambut kalian ketika ledakan kebahagiaan di hati dileburkan dalam sujud di kelas lima. Aku adalah undakan yang mengantarkan kalian untuk bersujud di hadapan-Nya ketika gelar alumni akhirnya disematkan pada diri kalian. 

Aku tidak akan pernah bisa kalian lupakan. Kaki-kaki kalian pasti pernah naik empat puluh anak tanggaku. Akulah tempat favorit kalian untuk duduk dalam tinggi maupun rendah. Akulah wahana kesukaan kalian, ruang kalian untuk berkumpul dengan para sahabat dari kecil sehingga dewasa. Sambangilah kembali aku. Duduklah kembali di atas ubin-ubin hijauku. Rasakanlah lagi hembusan angin dari atasku. Nikmatilah kembali sentuhan-sentuhan itu. Bawalah kembali jajanan itu, secangkir kopi hangat itu. Juga bawa semuanya yang pernah kalian hadirkan ketika duduk di sini. Bersimpuhlah kembali dengan semua perasaan itu. Pulanglah, lalu mainkanlah kembali adegan-adegan indah itu. Akulah panggung pentas surgawi. Akulah tangga masjid jami’. Masihkah di hati kecil kalian ada tersimpan rasa rindu kepada diriku? Ketahuilah, sungguh aku teramat rindu kepada kalian.

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Bagus Kak Cerita Nya Jadi Ternostalgia Sama Masa-masa Indah Waktu Di Pondok Ada Senang Ada Kalangan Susah Itulah Lika-liku Indah Nya Di Pondok Banyak Hal Yg Mewarnai Masa Lalu itu, Ibarat Masakan Yg Enak Nan Mewah Pasti Di Dalamnya Terdapat Banyak Sekali Rasa Dari Asin,Manis,Asam,Bahkan Pedas Rasa-rasa itulah Yg Membuat Makanan Tersebut Menjadi Lezat Dan Menggiurkan Banyak Orang. Seperti Itulah Kenangan Waktu Di Pondok Dulu Yg Membuat Orang Ingin Bernostalgia Lagi Di zaman Tersebut.

    BalasHapus
  2. Ya rabbb 🥹🥹🥹🥹

    BalasHapus
  3. Keren....saya serasa ikut dlm cerita...

    BalasHapus
  4. I'm proud of you

    BalasHapus